PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan madzhab dan
sekte-sekte di Indonesia menunjukkan perkembangan yang dinamis. Dinamika madzhab
dansekte ini ditunjukkan bukan hanya dalam wacana diskusi, seminar, ataupun
kuliah-kuliah semata, melainkan telah pada tataran praksis berupapenerapan
dalam realitas kehidupan baik secara individu maupunkelompok (organisasi).
Secara sosial-religius, berkembangnya wacanadan praktek madzhab dan sekte-sekte
di Indonesia ini berkorelasi dengan perkembangan pengetahuan dan dinamika
sosial keagamaanmasyarakat itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa sejak Islam
masuk dan menyebardi Indonesia, corak aliran yang berkembang adalah sunni,
khususnyadari kalangan madzhab Syafii. Setidaknya penganut madzhab Syafi’i ini
terlihat di sebagian besar wilayah di Indonesia.
Hukum Islam merupakan hukum yang
begitu dinamis, fleksibel dan lentur menyesuaikan dengan tempat dan waktu
(shalih likulli makan wa likulli zaman). Interaksi Rasulullah dengan sahabat dalam
mengatasi realitas sosiologis tidak mengalami problematika metodologis. Hal ini
disebabkan dinamika perkembangan hukum Islam langsung bisa bertanya jawab
dengan Rasulullah. Kemudian ini berubah setelah Rasulullah wafat, sahabat
banyak dihadapkan persoalan baru yang perlu mendapatkan legalitas syari’ah.
Selanjutnya perkembangan ini lebih meluas pada masa-masa periode berikutnya
yang mana akan memunculkan mazhab dengan latar belakang dan sosio-kultur serta
politik yang berbeda. Pada masa periode ijtihad dan keemasan fikih Islam telah
muncul mujtahid seperti: Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali, al-Auzai, dan
Al-Zahiri. Masa tersebut hanya berlangsung dua setengah abad, kemudian
perkembangan hukum Islam mengalami kemunduran; ditandai secara kualitas dan
kuantitas semangat mujtahid menurun. Di antara mereka ada yang kembali kepada
al-Qur’an dan al Sunah, namun kecenderungan yang terjadi mereka mencari dan
menerapkan produk-produk ijtihad para pendahulunya. Secara detil penulis akan
membahas tentang Madzhab Hanafi Madzhab Maliki, dengan corak pemikiran fiqih
dan ushul fiqihnya yang Rasional.
B.
Rumusan Masalah
1.
Sejarah Ilmu Kalam
2.
Sejarah Hidup Imam Hanafi
3.
Pemikiran Ilmu Kalam Imam Hanafi
4.
Sejarah Hidup Imam Maliki
5.
Pemikiran Imam Maliki Tentang Ilmu
Kalam
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui sejarah ilmu kalam, Imam
Hanafi, dan Imam Maliki
2.
Dapat Memahami Ilmu Kalam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Munculnya Ilmu Kalam
Adapun yang melatar belakangi
sejarah munculnya persoalan-persoalan kalam adalah disebabkan faktor-faktor
politik pada awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh kemudian digantikan oleh
Ali menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering
dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas,
merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang,
khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam
sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir
secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Pada zaman khalifah Abu Bakar (632-634
M) dan Umar bin Khattab (634-644) problema keagamaan juga masih relative kecil
termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik
tahta (44-656) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman
yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan,
Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius
justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh (656).
Perselisihan di kalangan Umat Islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali
bin Abi Thalib (656-661) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali
dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua,
perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran
dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah
berakhir dengan tahkim (Arbritrase).
Ilmu Kalam, termasuk yang
dikembangkan oleh al-Asy’ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi
metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam
khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional (‘aql,
akal) terhadap keterangan tekstual (naql, “salinan” atau “kutipan”), baik dari
Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum “liberal”, seperti golongan Mut’azilah,cenderung
mendahulukan akal, dan kaum “konservatif” khususnya kaum Hanbali, cenderung
mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi
(ta’wil), sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini,
metode al-Asy’ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi
dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan
ungkapan “bi la kayfa” (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada
antropomorfis (tajsim) –menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya,
bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy’ari ini sangat dihargai, dan
merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi
al-Asy’ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata
mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam al-Asy’ari
pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq)
Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari
premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau
al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak
ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih
daripada hasil ta’aqqul (intelektualisasi).
B.
Sejarah Hidup
Imam Hanafi
Nama kecil Imam Abu Hanifah adalh
Al-Nu’man bin Tsabit bin Nu'man Zuwatho (80-150 H). Beliau lahir di Kufah,
Iraq, pada tahun 80 hijriyah, 70
tahun setelah wafatnya
Rasulullah saw atau
bertepatan dengan tahun 699 Masehi. Beliau berasal dari keturunan bangsa
Persia dan mengalami dua masa khilafah, Daulah Umaiyah dan Daulah Abbasiyah.
Ayahnya, Tsabit dilahirkan sebagai seorang muslim. Sempat bertemu Ali bin
Thalib ra di masa kecilnya. Kelahiran Abu Hanifah bertepatan dengan permulaan perkembangan
daulah Bani Umayyah, pada masa raja Abdul Malik bin Marwan. Di awal hidupnya,
Abu Hanifah sempat mengalami hidup pada kekuasaan Al Hajjaj Al-Tsaqafi atas
Iraq. Dia ikut menyaksikan kekejamannya atas setiap lawan politik dinasti
Umayyah. Beliau termasuk ulama dalam kategori tabi’ al tabi’in, meskipun
sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa beliau sebenarnya termasuk tabi’in karena
dipercaya pernah bertemu dengan Anas bin Malik, seorang yang berkedudukan
sebagai Sahabat Nabi saw. Beliau adalah ahli fiqih dari penduduk Irak. Meskipun
demikian ulama sepakat bahwa dia hidup dalam satu masa dengan 4 sahabat
Rasulullah. Mereka adalah Anas bin Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah,
Sahal bin Saat Al-Saidi di Madinah dan Abu Tufail ‘Amir bin Wailah di Makkah.
Akan tetapi, dia tidak pernah bertemu dengan mereka.
Di samping sebagai ulama fiqih, Abu
Hanifah berprofesi sebagai saudagar, pedagang kain di Kufah. Pada masa mudanya,
Abu Hanifah dikenal sebagai seorang pedagang di Kota Kufah yang dihuni oleh
banyak ulama dan ahli fiqih. Sehingga dia pun tertarik untuk belajar dari
mereka khususnya dari Khammad bin Abi Sulaiman, seorang ulama besar terkemuka
di Iraq. Ketika Khammad bin Abi Sulaiman wafat, Abu Hanifah menggantikannya
sebagai pemimpin kaum muslimin di Iraq. Sebagaimana beliau pada masa mudanya
menyaksikan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang dikenal sebagai seorang
penguasa yang adil lagi saleh, Abu Hanifah juga sempat menyaksikan masa-masa
kemunduran kekuasaan dinasti Umayyah dan kehancurannya. Lalu muncullah dinasti Abasiyyah
sebagai penggantinya hingga beliau wafat pada masa pemerintahan khalifah
al-Mansur tahun 150 H.
Abu Hanifah, yang mendirikan mazhab
ini, menyatakan, bahwa ia mendasarkan hukum-hukum yang ditetapkan, pertama-tama
kepada Kitabullah, jika tidak diperolehnya disana, kepada Sunnah Rasul,
terutama kepada Hadis-Hadis Nabi yang masyhur, kemudian barulah ia memilih mana
yang ia suka dari pada ucapan-ucapan sahabat, pertamatama yang bersamaan antara
beberapa orang mereka, dan kemudian juga meskipun kepada ucapan seorang sahabat
saja. Ia berijtihad, jika ia sudah gagal mencari salah satu pendirian dari pada
ucapan Ibrahim An-Nukhai, Asy-Syubi, Ibn Sirin, Al-Hasan dan Ibn Musayyad,
barulah ia berasa dirinya berhak berijtihad memutuskan sesuatu hukum. Acapkali
Abu Hanifah menerima Hadis yang masyhur, jika ia menganggap, bahwa yang
demikian itu lebih baik, lalu dinamakan Istihsan.
Diantara imam-imam mujtahid mutlak,
Abu Hanifahlah yang paling banyak mempergunakan qiyas dan istihsan. Bahkan
konon sampai pernah terjadi perselisihan paham pada suatu kali antara Abu
Hanifah dan gurunya Ja'far Shadiq, yang berkata: „Wahai Abu Hanifah tidaklah
usah kita bertengkar didunia ini mengenai pendirianmu dalam menggunakan banyak
qiyas dengan pendirianku yang langsung kuambil dari Kitabullah. Pada waktu
Tuhan bertanya, siapa yang menetapkan hukum yang berdasarkan qiyas ini, engkau
boleh menjawab: Abu Hanifah. Jika Tuhan menanyakannkepadaku, mengapa aku
menetapkan hukum yang maksudnya berbedandengan Qur'an, aku akan menjawab: ,Ta'
sampai akalku untuk memahaminwahyu itu, hanya sekedar inilah yang dapat
kutetapkan" (baca Syi'ah, karangan
H. Aboebakar Atjeh, Jakarta 1965). Maka dengan demikian dasar pendirian mazhab
Abu Hanifah ialah: 1. Kitabullah atau Qur'an, 2. As-Sunnah, 3. Al-Ijma', 4.
Al-Qiyas, dan 5. Al-Istihsan. Apa artinya al-istihsan? Menurut Hasan Sya'ab:
Mengambil yang lebih adil dari pada dua buah masalah yang sama pandangan
hukumnya. Abu Hanifah adalah keturunan bangsa Persia, pekerjaannya mulamula
menjadi saudagar sutera, dan oleh karena banyak waktunya yang terluang lalu ia
belajar memperdalami ilmu agama Islam. Pelajarannya terutama memakai dasar
ra'yi, pikiran, (ratio), dalam menerangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis Kitab
yang paling banyak dipergunakan oleh pemeluk Mazhab Hanafi ini ialah
„Mukhtasar" dari Khuduri.
Dalam kehidupannya beliau pernah
mengajar di Kufah tentang ilmu fiqh dan juga pernah menjadi Mufti.
Jabatan-jabatan yang lain banyak ditolaknya. Ketika Khalifah Al-Mansur
mendirikan Kota Bagdad (767 -771) ia turnt bekerja dalam usaha pembangunan kota
itu. Kharbar tentang kematiannya bermacam-macam. Yang satu menerangkan, bahwa ia
itu menolak jabatan qadhi yang ditawarkan kepadanya, lalu ia dimasukkan kedalam
penjara dan dipukuli atas perintah Al-Mansur. Yang lain menerangkan, bahwa
Al-Mahdi, putera Al-Mansurlah yang memerintahkan ia dimasukkan penjara, karena
tidak mau bekerja bersama-sama memangku jabatan hakim agama.
Dan yang lain lagi menerangkan,
bahwa alasan memasukkan Abu Hanifah kedalam penjara karena tidak mau menjadi
qadhi itu, hanyalah sebagai camouflage saja, tetapi yang sesungguhnya karena
beliau disangka menyebelah kepihak Ali dan membantu dengan kekayaan kepada
Ibrahim ibn Abdullah, yang menimbulkan pemberontakan di Kufah dalam tahun 767.
Sesudah tahun 786 mulai Mazhab Hanafi dikenal orang di Mesir, karena pada waktu
itu telah diangkat oleh Khalifah Al-Mahdi seorang Qadhi Hanafi disana, yaitu
Ismail bin Yasa' Al-Kufi. Dialah yang mula-mula mengembangkan mazhab Hanafi
disana, terutama selama kerajaan Islam berada dalam kekuasaan Khalifah-Khalifah
Abbasiyah, berangsur-angsur mazhab ini berkembang dikota Mesir. Tatkala Mesir
dikuasai oleh raja-raja Fathimiyah, masuk pula kesana mazhab ini tersiar
karenanya, tetapi juga kedudukan qadhi dipengaruhi oleh mazhab itu. Malah
pernah mazhab Syi'ah itu menjadi mazhab kerajaan dengan resmi. Yang dijalankan
oleh Pemerintah waktu itu hukum-hukum mazhab ini, kecuali dalam soal-soal
ibadah, masih bebas menjalankannya menurut cara masing-masing. Sebaliknya
sesudah pemerintah Mesir kembali kedalam tangan (Ayyubi), yang
sulthan-sulthannya bermazhab Syafi'i, lalu mereka tindas mazhab Syi'ah itu
dengan segala aliran-aliran yang berbau Syi'ah. Tidak hanya sekian saja, malah
mereka mendirikan beberapa banyak sekolahan untuk ulama-ulama mazhab Syafi'i
dan Maliki.
Salahuddin Al-Ayyubi mendirikan di
Cairo sebuah sekolah untuk mazhab Hanafi, bernama Madrasah As-Salahiyah. Sejak
ketika itu bertambah kuatlah kedudukan mazhab ini ditengah-tengah Kota Cairo.
Pada tahun 1263 oleh Najamuddin Ayyub disusun pelajaran-pelajaran empat, yaitu
Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hambali, sebagai tindakan untuk membasmi segala
aliran-aliran mazhab yang lain. Rancangan pelajaran ini berjalan dengan baik
dalam Madrasah Salahiyah di Cairo.
Setelah Mesir jatuh kedalam
kekuasaan kerajaan Turki, maka kedudukan qadhi dan kehakiman tetap kembali
dalam tangan pemeluk mazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi telah menjadi mazhab
yang resmi dari kerajaan (Usmaniyah) Turki dan pembesar-pembesarnya, lalu
timbullah keinginan kebanyakan penduduk hendak menjadi Hanafi, supaya mudah
mendapat pangkat qadhi. Meskipun begitu mazhab ini tidaklah demikian tersebar
kedesa-desa dan kehulu-hulu Mesir, tetapi terbatas didalam kota saja. Begitu
corak daerahnya, penduduk desa hulu Mesir tetap bermazhab Syafi'i. Mazhab
Hanafi ini terdapat juga di Algeria, Tunisia dan Trablus (Tripoli). Selanjutnya
pemeluknya banyak terdapat di Syam, Iraq, India, Afganistan, Turkestan,
Kaukasus, Turki, Balkan. Pengikutnya di India ditaksir kira-kira 48 milyun
jiwa, di Brazilia (Amerika Selatan) terdapat kira-kira 25 ribu jiwa. Adapun Abu
Hanifah An-Nu'man As-Tsabit, yang mendirikan Mazhab Hanafi itu lahir dalam
tahun 699 M. di Kufah dan meninggal di Bagdad pada tahun 772 M.
C.
Pemikiran Imam
Hanafi tentang Ilmu Kalam
Imam Abu Hanifah pada dasarnya tidak
pernah menyusun dan atau mengarang suatu kitab apa-pun. Faktanya, pada masa itu
pemikiran-pemikiran, wasiat-wasiat dan ijtihad para ulama belum terbukukan
secara sistematis. Aktivitas utama
beliau dalam mensyi’arkan Islam banyak dituangkan melalui al-ta’allum wa
al-ta’līm. Berbagai karangan dan tulisan yang dinisbatkan kepada beliau tidak
lain hanyalah susunan dari para murid (aṣḥāb) beliau. Kecuali sebuah catatan
singkat beliau yang berisi pokok-pokok aqidah dan ilmu kalam yang tertuang
dalam karya al-Fiqh al-Akbar. Menurut Abu Hanifah, hukum Islam terbagi atas dua
bagian. Pertama, fal-fiqh al-akbar, membahas keyakinan pokok atau pokok-pokok
agama atau ilmu tauhid. Kedua, al-fiqh al-ashghar, membahas hal-hal yang
berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang
saja.
1.
Kalam Allah Berdiri Pada Dzat-Nya
Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa
Allah swt adalah Esa dilihat bukan dari jumlahnya yang tunggal melainkan karena
tidak ada sekutu baginya. Dia selamanya ada dengan nama-nama dan sifat
sifat-Nya yang zatiyyah dan fi’liyyah. Dia berfirman dengan segala firman-Nya
dan firman-Nya itu bersifat azali. Allah melebihkan hamba-hamba-Nya satu sama
lain dan Maha adil dengan terkadang memberikan pahala yang berlipat terhadap
amal yang dilakukan oleh hamba-Nya sebagai anugerah dari-Nya dan terkadang memberikan
siksa atas dosa sebagai suatu keadilan dari-Nya serta
terkadang pula memaafkan
dosa-dosa tersebut sebagai anugerah dari sisi-Nya.
Pandangan Abu Ḥanifah tentang kalam
Allah tidak terlepas dari pandangan-nya tentang sifat Tuhan. Menurutnya semua
sifat Tuhan (baik sifat dzat atau sifat fi‘l) adalah qadim (terdahulu) yang
mempunyai pengertian tidak diciptakan (ghayr mujid) dari suatu ketiadaan
(‘adam). Salah satu sifat Tuhan adalah
berbicara (kalam) yang bersifat qadim seperti dzat Tuhan. Dengan gaya bahasa
yang sangat filosofis ia menyebutkan bahwa kalam Allah berdiri pada dzat-Nya
(kalam Allāh qa’im bi dzatihi) . Karena kalam Allah berdiri pada dzat-Nya yang
qadam dan tidak terpisah (la yanfakku) dari-Nya maka hal ini menjadikan kalam
Allah bersifat qadam seperti dzat-Nya.
Pendapat Abu Ḥanifah tentang kalam
Allah yang berdiri pada dza-Nya yang bersifat qadim, tidak terlepas dari
bantahannya kepada kelompok Mu‘tazilah yang berkembang pesat pada masa itu yang
dimotori oleh Waṣil bin ‘Aṭa’. Menurut kelompok Mu‘tazilah kalam Allah bukanlah
sifat-Nya, melainkan perbuatannya. Bagi mereka kalam Allah adalah baru (muḥdats)
dan diciptakan (makhluq). Dengan disertai dengan argumentasi rasional, ‘Abd
al-Jabbar menjelaskan tentang kebaruan kalam Allah bahwa kalam Allah (al
Qur’ān) terdiri dari huruf, ayat dan surat. Huruf yang satu mendahului huruf
yang lain, ayat yang satu mendahului ayat yang lain, surat yang
satu mendahului surat
yang lain, dan
sebagainya. Adanya sifat saling
mendahului di antara huruf, ayat, dan surat mengindikasikan bahwa kalam Allah
adalah baru (muḥdats).
2.
Problematika Kemakhlukan Al-Qur’an
Bagi Imam Abu Hanifah, Al-Qur’an
adalah Kalamullah (firman Allah) yang ditulis dalam mushhaf, dihafal dalam
hati, diucapkan oleh lisan, dan diturunkan kepada Muhammad saw. Pelafalan,
pembacaan, dan penulisan yang kita lakukan terhadap Al-Qur’an adalah makhluk,
sedangkan Al-Qur’an itu sendiri bukanlah makhluk tetapi khaliq bersama-sama
dengan dzat Allah itu sendiri.
Aba
Hilal al-‘Askari (w.395 H) mengatakan di dalam al-Awa’il bahwa perdebatan
seputar kemakhlukan al-Qur’an mulai muncul pada masa Abu Ḥanifah. Adapun orang
pertama yang mengatakan al-Qur’an makhluk adalah al-Ja‘d bin Dirham (w.124 H)
yang kemudian diikuti oleh Jahm bin Ṣafwan (w.132 H). Ada satu riwayat yang
dituduhkan kepada Abu Ḥanifah ketika ia ditanya apakah al-Qur’an itu makhluk
atau bukan, Ia menjawab bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ia beralasan bahwa
orang yang bersumpah dengan mengatakan, ‘Demi al-Qur’an, saya tidak melakukan
(perbuatan) ini’, maka ia telah bersumpah dengan nama selain Allāh. Sedangkan
sesuatu selain Allāh adalah makhluk.
Dalam
hal ini al-Qur’an bukan termasuk Nama Allah, maka sumpah dengan Nama al-Qur’an
(seperti wa al-Qur’an, demi al-Qur’an) tidak sah. Karena segala sesuatu selain
Allah adalah makhluk. Al-Qur’an bukan Allah, maka ia makhluk
D.
Sejarah Hidup
Imam Maliki
Imam Malik adalah imam yang kedua
dari Imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Ia dilahirkan di
kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H/713 M, dan wafat pada hari ahad 10 Rabi’ul Awal 179 H/ 798 M
di Madinah.12 Imam Malik wafat pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah
kekuasaaan Harun Ar-Rasyid.
Nama lengkap Imam Malik adalah Abu
Abdillah Malik bin Anas As-Syabahi Al
Arabi bin Malik bin Abu ‘Amir bin Harits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab
dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar, jajahan Negeri Yaman. Ibunya
bernama Sit al-‘Aliyah bint Syuraik bin Abdullah Rahman bin Suraik al Azdiyah.
Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan rahim
selama dua tahun, ada pula yang mengatakan sampai tga tahun. Imam Malik
terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman bin Abdul
Malik dari Bani Umayah VII. Pada waktu itu, di kota tersebut hidup beberapa
golongan pendukung Islam antara lain golongan sahabat Anshar dan Muhajirin
serta para pendidik ahli hukum Islam. Imam Malik belajar ilmu agama pada ulama
Madinah yaitu Imam Abdurrahman bin Hurmuz, dan juga belajar ilmu hadits pada
Nafi Maulana bin Umar (wafat tahun 117 H) dan Ibnu Syihab az-Zuhri dalam ilmu
fikih beliau belajar pada Rabiah bin Abdirrakhman yang terkenal dengan Rabiatur
Ra’yi (wafat tahun 136 H).
Kitabnya yang terpenting ialah
„Al-Muwattha". Pemeluknya sekarang terutama terdapat di Afrika Utara
(kecuali Mesir) dan Afrika Tengah. Yang terutama dipelajari orang sebagai kitab
Maliki ialah kitab-kitab „Mudawana", karangan Ibnul Qasim dan
„Mukhtasar", karangan Khali Ibn Ishab. Jika kaum Oriëntalisten Belanda
gemar mempelajari hukumhukum mazhab Syafi'i, maka sebaliknya Oriëntalisten
Perancis dan Italia gemar menyelidiki hukum-hukum Islam menurut mazhab Maliki.
Sebagaimana Mazhab Syafi'i begitu juga Mazhab Maliki berdasarkan empat pokok:
„Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Diantara orang-orang yang mula-mula memperkenalkan kitabkitab fiqh mazhab Imam
Malik di Mesir kita sebutkan Usman bin Hakam Al-Jazami, Abdurrahman bin Khalid
bin Yazid bin Yahya, Ibn Wahab dan Rasyid bin Sa'ad, yang meninggal di
Alexandria pada tahun 786. Diantara yang giat sekali menyiarkannya kita
sebutkan Abdurrahman bin Qasim, Ashad bin Abdul Aziz, Ibnul Hakam dan Haris bin
Miskin. Pengaruh Mazhab Maliki ini suram, tatkala ke Mesir masuk pula mazhab
Syafi'i.
Sesudah Mazhab Maliki masuk ke
Andalus, yang dibawa oleh Zaid bin Abdurrahman al-Qurtubi, yang acapkali
digelar orang Syaibthun, maka Mazhab Auza'i yang sudah lebih dahulu disana mulai terdesak dan tidak
diperhatikan lagi. Mazhab Maliki masuk Sepanyol, yaitu dalam masa pemerintahan
Hisyam bin Abdurrahman. Sebagaimana di Mesir begitu juga di Andalus dalam zaman
pemerintahan Hisyam ini Abdurrahman terutama yang mendapat pangkat yang baik
dalam jabatan kehakiman, ialah ulama-ulama Maliki, sehingga dengan demikian
aliran mazhab ini bertambah maju. Yang memasukkan Mazhab Maliki ke Afrika kita
sebutkan saja nama Sahmun
bin Sa'id Al-Tanukhi, yang menggantikan qadhi Asad bin Furad, dan lalu
disiarkannya paham Mazhab Maliki. Sesudah Ma'az bin Badis menjadi Mufti di
Afrika Utara, pada tahun 1029, maka tanah Maroko pun tunduk kepada Mazhab
Maliki.
Kitab-kitab Maliki yang banyak
terpakai di Andalus ialah umpamanya sesudah kitab Muwattha, yaitu kitab
"Wadhihah", karangan Abdul Malik bin Habib, kitab
"Atabiyah" yang dikarang oleh Atabi murid Ibnu Habib. Diantara
kitab-kitab yang masyhur di Afrika ialah kitab "Asadiyah", karangan
Asad bin Furad dan juga kitab karangan Sahnun, kemudian boleh kita sebutkan
juga Kitab „Tanbih" karangan Abu Sa'id Al-Baradi'i.
Ditimurpun Mazhab Maliki itu
mendapat tempat, umpamanya di Bagdhad, tetapi kemudian terdesak oleh Mazhab Abu
Hanifah, di Basrah sampai abad ke-V untuk sementara waktu di Hejaz, Palestina, Yaman,
Kuwait, Kotter dan Bahrain.
E.
Pemikiran Imam
Maliki Tentang Ilmu Kalam
Mazhab
Maliki, Imam Malik (717-801 M), merumuskan sumber hukum Islam diurutkan sesuai
dengan tingkatannya: al-Qur’an, Sunah, praktek masyarakat Madinah, Ijma’
sahabat pendapat individu sahabat, qiyas, tradisi masyarakat madinah, istilah
(kemaslahatan), dan urf (tradisi). Mazhab Maliki mensyaratkan bahwa Hadits
tersebut tidak bertentangan dengan Ijma’ masyarakat Madinah. Sementara sumber-sumber hukum
Islam yang diperdebatkan
adalah:
1.
Istihsan dan Ijma’ para ulama,
dipergunakan oleh mazhab Hanafi.
2.
Istislah, Ijma’ masyarakat Madinah beserta
tradisinya, dipergunakan oleh mazhab Maliki.
3.
Urf, dipergunakan oleh mazhab Hanafi
dan Maliki.
4.
Hadits dhaif, dipergunakan oleh
mazhab Hanbali.
5.
Aqwal Ali (fatwa Ali bin Abi Thalib)
dipergunakan oleh mazhab Zaidi.
Sebenarnya, jurang
pemisah antar mazhab
bukan perselisihan. Hal itu hanya muncul dan meluas sebagai akibat dari
dihentikannya gerakan ijtihad dan pertumbuhan fiqih, timbulnya dorongan
untuk untuk bersikap
taklid tanpa mengetahui
dalil-dalil atau argumentasi-argumentasinya serta adanya upaya setiap kelompok
untuk mencela kelompok lainnya. Hal ini tidak seperti sikap para imam mazhab
yang saling menghargai. Pernyataan mereka seperti ini sudah umum diketahui. Di
samping itu, perbedaan pendapat merupakan hal yang manusiawi.
Imam
Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW. Nama lengkap dari
pendiri mazhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M =
712 M di Madinah. Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi
guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’
Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az-Zuhri.
Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman.
Imam Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh
dan hadits.
Imam
al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik berkata,
“Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq,
siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari
bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan berdusta”.
Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, saya
mende-ngar Imam Malik berkata: “Berdebat dalam agama itu aib (cacat).”
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Imam Abu
Hanifah memaknai fiqh
secara umum, tidak
hanya bersentuhan dengan
permasalahan hukum, tetapi juga berhubungan dengan ketauhidan. Karenanya tidak
mengherankan jika karya beliau, al-Fiqh al-Akbar, banyak memuat tentang materi
ilmu kalam selain fiqh yang beliau simplifikasi sebagai perbuatan mukallaf.
Menurut Abu Hanifah, ilmu kalam dan fiqh sesungguhnya mempunyai hubungan sangat
erat. Bedanya, jika gagasan ilmu kalam mengacu pada hakikat Al-Qur’an selaku
kitab pedoman tertinggi, maka fiqh tak lain merupakan perbuatan manusia sebagai
objek terpenting dalam kajian hukum. Gagasan kalāmiyah Abu Hanifah, tak pelak,
dapat mewarnai dan mempengaruhi pola ijtiḥād dan istinbāṭ-nya pada tataran
hukum cabang. Suatu ketika, jika perkara umum yang terdapat dalam Al-Qur’an
tidak ditemukan penjelasannya dalam hadis maka Abu Hanifah memilih menggunakan
kemampuan akal untuk menyelesaikannya.
Imam Malik bin
Anas terkenal sebagai ahli hadits dalam pengambilan hukum. Hal ini menjadi ciri
khusus pola pemikiran pengambilan hukum Imam Malik. Hal itu karena terkait
dengan keadaan lingkungan di Madinah yang merupakan tempat dimana Rasulullah
hidup selama beberapa tahun, permasalahan masyarakat yang ringan dan sederhana.
Walaupun Imam Malik disebut sebagai ahlu Hadits namun dirinya juga tetap
dipengaruhi penggunaan rasio dalam berijthad. Hal ini dibuktkan dengan
penggunaan dalil dari amalan ahli Madinah (praktk masyarakat Madinah), fatwa
sahabat, qiyas, al-maşlahah mursalah, Aż-żari’ah, al-‘urf (adat istadat) dalam
pengambilan hukum Islam. Imam Malik pun juga sepert mazhab lain dengan al-Quran
dan Hadits sebagai sumber utama dalam hukum Islam. Hal ini tentu saja karena
adanya pengaruh kompleksitas permasalahan-permasalahan tertentu yang tdak bisa
ditemukan secara tekstual dalam kedua sumber utama hukum Islam.
Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya karena dipengaruhi perkembangan dan
perubahan-perubahan kondisi sosial yang terjadi di masyarakat saat itu.
Daftar Pustaka
1.
Jurnal ilmu syari’ah dan hukum,
al-Ahkam Vol. 1, Nomor 2, 2016, PEMIKIRAN HUKUM ISLAM IMAM MALIK BIN ANAS
2.
JURNAL LISAN AL-HAL, Volume 4 NO. 1,
Juni 2012, AL-FIQH AL-AKBAR DAN PARADIGMA FIQH IMAM ABU HANIFAH
3.
Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 6 No. 19 |
Edisi 42 Januari-Juni 2012, Fenomena Madzhab dan Sekte-sekte di Indonesia:
Sebuah Studi Medan Dakwah
4.
NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014,
MEMAHAMI TEOLOGI ISLAM (Sejarah dan Perkembangannya)
5.
YUDISIA, Vol. 6, No. 2, Desember 2015, MAZHAB: KETERKUNGKUNGAN
INTELEKTUAL ATAU KERANGKA METODOLOGIS (Dinamika Hukum Islam)
6.
YUDISIA, Vol. 5, No. 2, Desember
2014, METODE IJTIHAD DAN KARAKTERISTIK FIQIH ABU HANIFAH
7.
PROF. DR. H. ABOEBAKAR ATJEH, ILMU
FIQH ISLAM DALAM LIMA MAZHAB (jakarta:
ISLAMIC RESEARCH INSTITUTE, 1977). h.40.
No comments:
Post a Comment