Wednesday 13 June 2018

Sejarah dan pemikiran Kalam Imam Hanafi dan Imam Maliki


   


PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan madzhab dan sekte-sekte di Indonesia menunjukkan perkembangan yang dinamis. Dinamika madzhab dansekte ini ditunjukkan bukan hanya dalam wacana diskusi, seminar, ataupun kuliah-kuliah semata, melainkan telah pada tataran praksis berupapenerapan dalam realitas kehidupan baik secara individu maupunkelompok (organisasi). Secara sosial-religius, berkembangnya wacanadan praktek madzhab dan sekte-sekte di Indonesia ini berkorelasi dengan perkembangan pengetahuan dan dinamika sosial keagamaanmasyarakat itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa sejak Islam masuk dan menyebardi Indonesia, corak aliran yang berkembang adalah sunni, khususnyadari kalangan madzhab Syafii. Setidaknya penganut madzhab Syafi’i ini terlihat di sebagian besar wilayah di Indonesia.
Hukum Islam merupakan hukum yang begitu dinamis, fleksibel dan lentur menyesuaikan dengan tempat dan waktu (shalih likulli makan wa likulli zaman). Interaksi Rasulullah dengan sahabat dalam mengatasi realitas sosiologis tidak mengalami problematika metodologis. Hal ini disebabkan dinamika perkembangan hukum Islam langsung bisa bertanya jawab dengan Rasulullah. Kemudian ini berubah setelah Rasulullah wafat, sahabat banyak dihadapkan persoalan baru yang perlu mendapatkan legalitas syari’ah. Selanjutnya perkembangan ini lebih meluas pada masa-masa periode berikutnya yang mana akan memunculkan mazhab dengan latar belakang dan sosio-kultur serta politik yang berbeda. Pada masa periode ijtihad dan keemasan fikih Islam telah muncul mujtahid seperti: Imam Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali, al-Auzai, dan Al-Zahiri. Masa tersebut hanya berlangsung dua setengah abad, kemudian perkembangan hukum Islam mengalami kemunduran; ditandai secara kualitas dan kuantitas semangat mujtahid menurun. Di antara mereka ada yang kembali kepada al-Qur’an dan al Sunah, namun kecenderungan yang terjadi mereka mencari dan menerapkan produk-produk ijtihad para pendahulunya. Secara detil penulis akan membahas tentang Madzhab Hanafi Madzhab Maliki, dengan corak pemikiran fiqih dan ushul fiqihnya yang Rasional.

B.     Rumusan Masalah
1.      Sejarah Ilmu Kalam
2.      Sejarah Hidup Imam Hanafi
3.      Pemikiran Ilmu Kalam Imam Hanafi
4.      Sejarah Hidup Imam Maliki
5.      Pemikiran Imam Maliki Tentang Ilmu Kalam
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui sejarah ilmu kalam, Imam Hanafi, dan Imam Maliki
2.      Dapat Memahami Ilmu Kalam
BAB II
PEMBAHASAN
A.     Sejarah Munculnya Ilmu Kalam
Adapun yang melatar belakangi sejarah munculnya persoalan-persoalan kalam adalah disebabkan faktor-faktor politik pada awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh kemudian digantikan oleh Ali menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Pada zaman khalifah Abu Bakar (632-634 M) dan Umar bin Khattab (634-644) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta (44-656) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh (656). Perselisihan di kalangan Umat Islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua, perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan tahkim (Arbritrase).
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy’ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional (‘aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, “salinan” atau “kutipan”), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum “liberal”, seperti golongan Mut’azilah,cenderung mendahulukan akal, dan kaum “konservatif” khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta’wil), sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy’ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan “bi la kayfa” (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) –menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy’ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy’ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam al-Asy’ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta’aqqul (intelektualisasi).

B.     Sejarah Hidup Imam Hanafi
Nama kecil Imam Abu Hanifah adalh Al-Nu’man bin Tsabit bin Nu'man Zuwatho (80-150 H). Beliau lahir di Kufah, Iraq, pada tahun 80 hijriyah, 70  tahun  setelah  wafatnya  Rasulullah  saw  atau  bertepatan dengan tahun 699 Masehi. Beliau berasal dari keturunan bangsa Persia dan mengalami dua masa khilafah, Daulah Umaiyah dan Daulah Abbasiyah. Ayahnya, Tsabit dilahirkan sebagai seorang muslim. Sempat bertemu Ali bin Thalib ra di masa kecilnya. Kelahiran Abu Hanifah bertepatan dengan permulaan perkembangan daulah Bani Umayyah, pada masa raja Abdul Malik bin Marwan. Di awal hidupnya, Abu Hanifah sempat mengalami hidup pada kekuasaan Al Hajjaj Al-Tsaqafi atas Iraq. Dia ikut menyaksikan kekejamannya atas setiap lawan politik dinasti Umayyah. Beliau termasuk ulama dalam kategori tabi’ al tabi’in, meskipun sebagian ahli sejarah menyebutkan bahwa beliau sebenarnya termasuk tabi’in karena dipercaya pernah bertemu dengan Anas bin Malik, seorang yang berkedudukan sebagai Sahabat Nabi saw. Beliau adalah ahli fiqih dari penduduk Irak. Meskipun demikian ulama sepakat bahwa dia hidup dalam satu masa dengan 4 sahabat Rasulullah. Mereka adalah Anas bin Basrah, Abdullah bin Abi Aufa di Kufah, Sahal bin Saat Al-Saidi di Madinah dan Abu Tufail ‘Amir bin Wailah di Makkah. Akan tetapi, dia tidak pernah bertemu dengan mereka.

Di samping sebagai ulama fiqih, Abu Hanifah berprofesi sebagai saudagar, pedagang kain di Kufah. Pada masa mudanya, Abu Hanifah dikenal sebagai seorang pedagang di Kota Kufah yang dihuni oleh banyak ulama dan ahli fiqih. Sehingga dia pun tertarik untuk belajar dari mereka khususnya dari Khammad bin Abi Sulaiman, seorang ulama besar terkemuka di Iraq. Ketika Khammad bin Abi Sulaiman wafat, Abu Hanifah menggantikannya sebagai pemimpin kaum muslimin di Iraq. Sebagaimana beliau pada masa mudanya menyaksikan pemerintahan Umar bin Abdul Aziz yang dikenal sebagai seorang penguasa yang adil lagi saleh, Abu Hanifah juga sempat menyaksikan masa-masa kemunduran kekuasaan dinasti Umayyah dan kehancurannya. Lalu muncullah dinasti Abasiyyah sebagai penggantinya hingga beliau wafat pada masa pemerintahan khalifah al-Mansur tahun 150 H.

Abu Hanifah, yang mendirikan mazhab ini, menyatakan, bahwa ia mendasarkan hukum-hukum yang ditetapkan, pertama-tama kepada Kitabullah, jika tidak diperolehnya disana, kepada Sunnah Rasul, terutama kepada Hadis-Hadis Nabi yang masyhur, kemudian barulah ia memilih mana yang ia suka dari pada ucapan-ucapan sahabat, pertamatama yang bersamaan antara beberapa orang mereka, dan kemudian juga meskipun kepada ucapan seorang sahabat saja. Ia berijtihad, jika ia sudah gagal mencari salah satu pendirian dari pada ucapan Ibrahim An-Nukhai, Asy-Syubi, Ibn Sirin, Al-Hasan dan Ibn Musayyad, barulah ia berasa dirinya berhak berijtihad memutuskan sesuatu hukum. Acapkali Abu Hanifah menerima Hadis yang masyhur, jika ia menganggap, bahwa yang demikian itu lebih baik, lalu dinamakan Istihsan.

Diantara imam-imam mujtahid mutlak, Abu Hanifahlah yang paling banyak mempergunakan qiyas dan istihsan. Bahkan konon sampai pernah terjadi perselisihan paham pada suatu kali antara Abu Hanifah dan gurunya Ja'far Shadiq, yang berkata: „Wahai Abu Hanifah tidaklah usah kita bertengkar didunia ini mengenai pendirianmu dalam menggunakan banyak qiyas dengan pendirianku yang langsung kuambil dari Kitabullah. Pada waktu Tuhan bertanya, siapa yang menetapkan hukum yang berdasarkan qiyas ini, engkau boleh menjawab: Abu Hanifah. Jika Tuhan menanyakannkepadaku, mengapa aku menetapkan hukum yang maksudnya berbedandengan Qur'an, aku akan menjawab: ,Ta' sampai akalku untuk memahaminwahyu itu, hanya sekedar inilah yang dapat kutetapkan" (baca  Syi'ah, karangan H. Aboebakar Atjeh, Jakarta 1965). Maka dengan demikian dasar pendirian mazhab Abu Hanifah ialah: 1. Kitabullah atau Qur'an, 2. As-Sunnah, 3. Al-Ijma', 4. Al-Qiyas, dan 5. Al-Istihsan. Apa artinya al-istihsan? Menurut Hasan Sya'ab: Mengambil yang lebih adil dari pada dua buah masalah yang sama pandangan hukumnya. Abu Hanifah adalah keturunan bangsa Persia, pekerjaannya mulamula menjadi saudagar sutera, dan oleh karena banyak waktunya yang terluang lalu ia belajar memperdalami ilmu agama Islam. Pelajarannya terutama memakai dasar ra'yi, pikiran, (ratio), dalam menerangkan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadis Kitab yang paling banyak dipergunakan oleh pemeluk Mazhab Hanafi ini ialah „Mukhtasar" dari Khuduri.

Dalam kehidupannya beliau pernah mengajar di Kufah tentang ilmu fiqh dan juga pernah menjadi Mufti. Jabatan-jabatan yang lain banyak ditolaknya. Ketika Khalifah Al-Mansur mendirikan Kota Bagdad (767 -771) ia turnt bekerja dalam usaha pembangunan kota itu. Kharbar tentang kematiannya bermacam-macam. Yang satu menerangkan, bahwa ia itu menolak jabatan qadhi yang ditawarkan kepadanya, lalu ia dimasukkan kedalam penjara dan dipukuli atas perintah Al-Mansur. Yang lain menerangkan, bahwa Al-Mahdi, putera Al-Mansurlah yang memerintahkan ia dimasukkan penjara, karena tidak mau bekerja bersama-sama memangku jabatan hakim agama.

Dan yang lain lagi menerangkan, bahwa alasan memasukkan Abu Hanifah kedalam penjara karena tidak mau menjadi qadhi itu, hanyalah sebagai camouflage saja, tetapi yang sesungguhnya karena beliau disangka menyebelah kepihak Ali dan membantu dengan kekayaan kepada Ibrahim ibn Abdullah, yang menimbulkan pemberontakan di Kufah dalam tahun 767. Sesudah tahun 786 mulai Mazhab Hanafi dikenal orang di Mesir, karena pada waktu itu telah diangkat oleh Khalifah Al-Mahdi seorang Qadhi Hanafi disana, yaitu Ismail bin Yasa' Al-Kufi. Dialah yang mula-mula mengembangkan mazhab Hanafi disana, terutama selama kerajaan Islam berada dalam kekuasaan Khalifah-Khalifah Abbasiyah, berangsur-angsur mazhab ini berkembang dikota Mesir. Tatkala Mesir dikuasai oleh raja-raja Fathimiyah, masuk pula kesana mazhab ini tersiar karenanya, tetapi juga kedudukan qadhi dipengaruhi oleh mazhab itu. Malah pernah mazhab Syi'ah itu menjadi mazhab kerajaan dengan resmi. Yang dijalankan oleh Pemerintah waktu itu hukum-hukum mazhab ini, kecuali dalam soal-soal ibadah, masih bebas menjalankannya menurut cara masing-masing. Sebaliknya sesudah pemerintah Mesir kembali kedalam tangan (Ayyubi), yang sulthan-sulthannya bermazhab Syafi'i, lalu mereka tindas mazhab Syi'ah itu dengan segala aliran-aliran yang berbau Syi'ah. Tidak hanya sekian saja, malah mereka mendirikan beberapa banyak sekolahan untuk ulama-ulama mazhab Syafi'i dan Maliki.

Salahuddin Al-Ayyubi mendirikan di Cairo sebuah sekolah untuk mazhab Hanafi, bernama Madrasah As-Salahiyah. Sejak ketika itu bertambah kuatlah kedudukan mazhab ini ditengah-tengah Kota Cairo. Pada tahun 1263 oleh Najamuddin Ayyub disusun pelajaran-pelajaran empat, yaitu Syafi'i, Hanafi, Maliki dan Hambali, sebagai tindakan untuk membasmi segala aliran-aliran mazhab yang lain. Rancangan pelajaran ini berjalan dengan baik dalam Madrasah Salahiyah di Cairo.

Setelah Mesir jatuh kedalam kekuasaan kerajaan Turki, maka kedudukan qadhi dan kehakiman tetap kembali dalam tangan pemeluk mazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi telah menjadi mazhab yang resmi dari kerajaan (Usmaniyah) Turki dan pembesar-pembesarnya, lalu timbullah keinginan kebanyakan penduduk hendak menjadi Hanafi, supaya mudah mendapat pangkat qadhi. Meskipun begitu mazhab ini tidaklah demikian tersebar kedesa-desa dan kehulu-hulu Mesir, tetapi terbatas didalam kota saja. Begitu corak daerahnya, penduduk desa hulu Mesir tetap bermazhab Syafi'i. Mazhab Hanafi ini terdapat juga di Algeria, Tunisia dan Trablus (Tripoli). Selanjutnya pemeluknya banyak terdapat di Syam, Iraq, India, Afganistan, Turkestan, Kaukasus, Turki, Balkan. Pengikutnya di India ditaksir kira-kira 48 milyun jiwa, di Brazilia (Amerika Selatan) terdapat kira-kira 25 ribu jiwa. Adapun Abu Hanifah An-Nu'man As-Tsabit, yang mendirikan Mazhab Hanafi itu lahir dalam tahun 699 M. di Kufah dan meninggal di Bagdad pada tahun 772 M.

C.     Pemikiran Imam Hanafi tentang Ilmu Kalam
Imam Abu Hanifah pada dasarnya tidak pernah menyusun dan atau mengarang suatu kitab apa-pun. Faktanya, pada masa itu pemikiran-pemikiran, wasiat-wasiat dan ijtihad para ulama belum terbukukan secara sistematis.  Aktivitas utama beliau dalam mensyi’arkan Islam banyak dituangkan melalui al-ta’allum wa al-ta’līm. Berbagai karangan dan tulisan yang dinisbatkan kepada beliau tidak lain hanyalah susunan dari para murid (aṣḥāb) beliau. Kecuali sebuah catatan singkat beliau yang berisi pokok-pokok aqidah dan ilmu kalam yang tertuang dalam karya al-Fiqh al-Akbar. Menurut Abu Hanifah, hukum Islam terbagi atas dua bagian. Pertama, fal-fiqh al-akbar, membahas keyakinan pokok atau pokok-pokok agama atau ilmu tauhid. Kedua, al-fiqh al-ashghar, membahas hal-hal yang berkaitan dengan masalah muamalah, bukan pokok-pokok agama, tetapi hanya cabang saja.


1.      Kalam Allah Berdiri Pada Dzat-Nya
Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Allah swt adalah Esa dilihat bukan dari jumlahnya yang tunggal melainkan karena tidak ada sekutu baginya. Dia selamanya ada dengan nama-nama dan sifat sifat-Nya yang zatiyyah dan fi’liyyah. Dia berfirman dengan segala firman-Nya dan firman-Nya itu bersifat azali. Allah melebihkan hamba-hamba-Nya satu sama lain dan Maha adil dengan terkadang memberikan pahala yang berlipat terhadap amal yang dilakukan oleh hamba-Nya sebagai anugerah dari-Nya dan terkadang memberikan siksa atas dosa sebagai suatu keadilan dari-Nya   serta   terkadang   pula   memaafkan   dosa-dosa   tersebut   sebagai anugerah dari sisi-Nya.

Pandangan Abu Ḥanifah tentang kalam Allah tidak terlepas dari pandangan-nya tentang sifat Tuhan. Menurutnya semua sifat Tuhan (baik sifat dzat atau sifat fi‘l) adalah qadim (terdahulu) yang mempunyai pengertian tidak diciptakan (ghayr mujid) dari suatu ketiadaan (‘adam).  Salah satu sifat Tuhan adalah berbicara (kalam) yang bersifat qadim seperti dzat Tuhan. Dengan gaya bahasa yang sangat filosofis ia menyebutkan bahwa kalam Allah berdiri pada dzat-Nya (kalam Allāh qa’im bi dzatihi) . Karena kalam Allah berdiri pada dzat-Nya yang qadam dan tidak terpisah (la yanfakku) dari-Nya maka hal ini menjadikan kalam Allah bersifat qadam seperti dzat-Nya.

Pendapat Abu Ḥanifah tentang kalam Allah yang berdiri pada dza-Nya yang bersifat qadim, tidak terlepas dari bantahannya kepada kelompok Mu‘tazilah yang berkembang pesat pada masa itu yang dimotori oleh Waṣil bin ‘Aṭa’. Menurut kelompok Mu‘tazilah kalam Allah bukanlah sifat-Nya, melainkan perbuatannya. Bagi mereka kalam Allah adalah baru (muḥdats) dan diciptakan (makhluq). Dengan disertai dengan argumentasi rasional, ‘Abd al-Jabbar menjelaskan tentang kebaruan kalam Allah bahwa kalam Allah (al Qur’ān) terdiri dari huruf, ayat dan surat. Huruf yang satu mendahului huruf yang lain, ayat yang satu mendahului ayat yang lain, surat  yang  satu  mendahului  surat  yang  lain,  dan  sebagainya.  Adanya sifat saling mendahului di antara huruf, ayat, dan surat mengindikasikan bahwa kalam Allah adalah baru (muḥdats).

2.      Problematika Kemakhlukan Al-Qur’an
Bagi Imam Abu Hanifah, Al-Qur’an adalah Kalamullah (firman Allah) yang ditulis dalam mushhaf, dihafal dalam hati, diucapkan oleh lisan, dan diturunkan kepada Muhammad saw. Pelafalan, pembacaan, dan penulisan yang kita lakukan terhadap Al-Qur’an adalah makhluk, sedangkan Al-Qur’an itu sendiri bukanlah makhluk tetapi khaliq bersama-sama dengan dzat Allah itu sendiri.
Aba Hilal al-‘Askari (w.395 H) mengatakan di dalam al-Awa’il bahwa perdebatan seputar kemakhlukan al-Qur’an mulai muncul pada masa Abu Ḥanifah. Adapun orang pertama yang mengatakan al-Qur’an makhluk adalah al-Ja‘d bin Dirham (w.124 H) yang kemudian diikuti oleh Jahm bin Ṣafwan (w.132 H). Ada satu riwayat yang dituduhkan kepada Abu Ḥanifah ketika ia ditanya apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan, Ia menjawab bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ia beralasan bahwa orang yang bersumpah dengan mengatakan, ‘Demi al-Qur’an, saya tidak melakukan (perbuatan) ini’, maka ia telah bersumpah dengan nama selain Allāh. Sedangkan sesuatu selain Allāh adalah makhluk.
Dalam hal ini al-Qur’an bukan termasuk Nama Allah, maka sumpah dengan Nama al-Qur’an (seperti wa al-Qur’an, demi al-Qur’an) tidak sah. Karena segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Al-Qur’an bukan Allah, maka ia makhluk

D.     Sejarah Hidup Imam Maliki
Imam Malik adalah imam yang kedua dari Imam-imam empat serangkai dalam Islam dari segi umur. Ia dilahirkan di kota Madinah, suatu daerah di negeri Hijaz tahun 93 H/713 M, dan wafat  pada hari ahad 10 Rabi’ul Awal 179 H/ 798 M di Madinah.12 Imam Malik wafat pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaaan Harun Ar-Rasyid.

Nama lengkap Imam Malik adalah Abu Abdillah Malik bin Anas As-Syabahi Al Arabi bin Malik bin Abu ‘Amir bin Harits. Beliau adalah keturunan bangsa Arab dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun di kota Himyar, jajahan Negeri Yaman. Ibunya bernama Sit al-‘Aliyah bint Syuraik bin Abdullah Rahman bin Suraik al Azdiyah. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Imam Malik berada dalam kandungan rahim selama dua tahun, ada pula yang mengatakan sampai tga tahun. Imam Malik terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari Bani Umayah VII. Pada waktu itu, di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam antara lain golongan sahabat Anshar dan Muhajirin serta para pendidik ahli hukum Islam. Imam Malik belajar ilmu agama pada ulama Madinah yaitu Imam Abdurrahman bin Hurmuz, dan juga belajar ilmu hadits pada Nafi Maulana bin Umar (wafat tahun 117 H) dan Ibnu Syihab az-Zuhri dalam ilmu fikih beliau belajar pada Rabiah bin Abdirrakhman yang terkenal dengan Rabiatur Ra’yi (wafat tahun 136 H).

Kitabnya yang terpenting ialah „Al-Muwattha". Pemeluknya sekarang terutama terdapat di Afrika Utara (kecuali Mesir) dan Afrika Tengah. Yang terutama dipelajari orang sebagai kitab Maliki ialah kitab-kitab „Mudawana", karangan Ibnul Qasim dan „Mukhtasar", karangan Khali Ibn Ishab. Jika kaum Oriëntalisten Belanda gemar mempelajari hukumhukum mazhab Syafi'i, maka sebaliknya Oriëntalisten Perancis dan Italia gemar menyelidiki hukum-hukum Islam menurut mazhab Maliki. Sebagaimana Mazhab Syafi'i begitu juga Mazhab Maliki berdasarkan empat pokok: „Qur'an, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Diantara orang-orang yang mula-mula  memperkenalkan kitabkitab fiqh mazhab Imam Malik di Mesir kita sebutkan Usman bin Hakam Al-Jazami, Abdurrahman bin Khalid bin Yazid bin Yahya, Ibn Wahab dan Rasyid bin Sa'ad, yang meninggal di Alexandria pada tahun 786. Diantara yang giat sekali menyiarkannya kita sebutkan Abdurrahman bin Qasim, Ashad bin Abdul Aziz, Ibnul Hakam dan Haris bin Miskin. Pengaruh Mazhab Maliki ini suram, tatkala ke Mesir masuk pula mazhab Syafi'i.

Sesudah Mazhab Maliki masuk ke Andalus, yang dibawa oleh Zaid bin Abdurrahman al-Qurtubi, yang acapkali digelar orang Syaibthun, maka Mazhab Auza'i yang sudah lebih dahulu disana mulai terdesak dan tidak diperhatikan lagi. Mazhab Maliki masuk Sepanyol, yaitu dalam masa pemerintahan Hisyam bin Abdurrahman. Sebagaimana di Mesir begitu juga di Andalus dalam zaman pemerintahan Hisyam ini Abdurrahman terutama yang mendapat pangkat yang baik dalam jabatan kehakiman, ialah ulama-ulama Maliki, sehingga dengan demikian aliran mazhab ini bertambah maju. Yang memasukkan Mazhab Maliki ke Afrika kita sebutkan saja nama Sahmun bin Sa'id Al-Tanukhi, yang menggantikan qadhi Asad bin Furad, dan lalu disiarkannya paham Mazhab Maliki. Sesudah Ma'az bin Badis menjadi Mufti di Afrika Utara, pada tahun 1029, maka tanah Maroko pun tunduk kepada Mazhab Maliki.

Kitab-kitab Maliki yang banyak terpakai di Andalus ialah umpamanya sesudah kitab Muwattha, yaitu kitab "Wadhihah", karangan Abdul Malik bin Habib, kitab "Atabiyah" yang dikarang oleh Atabi murid Ibnu Habib. Diantara kitab-kitab yang masyhur di Afrika ialah kitab "Asadiyah", karangan Asad bin Furad dan juga kitab karangan Sahnun, kemudian boleh kita sebutkan juga Kitab „Tanbih" karangan Abu Sa'id Al-Baradi'i.

Ditimurpun Mazhab Maliki itu mendapat tempat, umpamanya di Bagdhad, tetapi kemudian terdesak oleh Mazhab Abu Hanifah, di Basrah sampai abad ke-V untuk sementara waktu di Hejaz, Palestina, Yaman, Kuwait, Kotter dan Bahrain.


E.     Pemikiran Imam Maliki Tentang Ilmu Kalam
Mazhab Maliki, Imam Malik (717-801 M), merumuskan sumber hukum Islam diurutkan sesuai dengan tingkatannya: al-Qur’an, Sunah, praktek masyarakat Madinah, Ijma’ sahabat pendapat individu sahabat, qiyas, tradisi masyarakat madinah, istilah (kemaslahatan), dan urf (tradisi). Mazhab Maliki mensyaratkan bahwa Hadits tersebut tidak bertentangan dengan Ijma’ masyarakat Madinah. Sementara    sumber-sumber    hukum    Islam    yang diperdebatkan adalah:
1.      Istihsan dan Ijma’ para ulama, dipergunakan oleh mazhab Hanafi.
2.      Istislah, Ijma’ masyarakat Madinah beserta tradisinya, dipergunakan oleh mazhab Maliki.
3.      Urf, dipergunakan oleh mazhab Hanafi dan Maliki.
4.      Hadits dhaif, dipergunakan oleh mazhab Hanbali.
5.      Aqwal Ali (fatwa Ali bin Abi Thalib) dipergunakan oleh mazhab Zaidi.
Sebenarnya,   jurang   pemisah   antar   mazhab   bukan perselisihan. Hal itu hanya muncul dan meluas sebagai akibat dari dihentikannya gerakan ijtihad dan pertumbuhan fiqih, timbulnya   dorongan   untuk   untuk   bersikap   taklid   tanpa mengetahui dalil-dalil atau argumentasi-argumentasinya serta adanya upaya setiap kelompok untuk mencela kelompok lainnya. Hal ini tidak seperti sikap para imam mazhab yang saling menghargai. Pernyataan mereka seperti ini sudah umum diketahui. Di samping itu, perbedaan pendapat merupakan hal yang manusiawi.
Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW. Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah: Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az-Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan berdusta”. Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, saya mende-ngar Imam Malik berkata: “Berdebat dalam agama itu aib (cacat).”












BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Imam  Abu  Hanifah  memaknai  fiqh  secara  umum,  tidak  hanya bersentuhan  dengan permasalahan hukum, tetapi juga berhubungan dengan ketauhidan. Karenanya tidak mengherankan jika karya beliau, al-Fiqh al-Akbar, banyak memuat tentang materi ilmu kalam selain fiqh yang beliau simplifikasi sebagai perbuatan mukallaf. Menurut Abu Hanifah, ilmu kalam dan fiqh sesungguhnya mempunyai hubungan sangat erat. Bedanya, jika gagasan ilmu kalam mengacu pada hakikat Al-Qur’an selaku kitab pedoman tertinggi, maka fiqh tak lain merupakan perbuatan manusia sebagai objek terpenting dalam kajian hukum. Gagasan kalāmiyah Abu Hanifah, tak pelak, dapat mewarnai dan mempengaruhi pola ijtiḥād dan istinbāṭ-nya pada tataran hukum cabang. Suatu ketika, jika perkara umum yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak ditemukan penjelasannya dalam hadis maka Abu Hanifah memilih menggunakan kemampuan akal untuk menyelesaikannya.
Imam Malik bin Anas terkenal sebagai ahli hadits dalam pengambilan hukum. Hal ini menjadi ciri khusus pola pemikiran pengambilan hukum Imam Malik. Hal itu karena terkait dengan keadaan lingkungan di Madinah yang merupakan tempat dimana Rasulullah hidup selama beberapa tahun, permasalahan masyarakat yang ringan dan sederhana. Walaupun Imam Malik disebut sebagai ahlu Hadits namun dirinya juga tetap dipengaruhi penggunaan rasio dalam berijthad. Hal ini dibuktkan dengan penggunaan dalil dari amalan ahli Madinah (praktk masyarakat Madinah), fatwa sahabat, qiyas, al-maşlahah mursalah, Aż-żari’ah, al-‘urf (adat istadat) dalam pengambilan hukum Islam. Imam Malik pun juga sepert mazhab lain dengan al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama dalam hukum Islam. Hal ini tentu saja karena adanya pengaruh kompleksitas permasalahan-permasalahan tertentu yang tdak bisa ditemukan secara tekstual dalam kedua sumber utama hukum Islam. Permasalahan-permasalahan tersebut tentunya karena dipengaruhi perkembangan dan perubahan-perubahan kondisi sosial yang terjadi di masyarakat saat itu.






Daftar Pustaka
1.      Jurnal ilmu syari’ah dan hukum, al-Ahkam Vol. 1, Nomor 2, 2016, PEMIKIRAN HUKUM ISLAM IMAM MALIK BIN ANAS
2.      JURNAL LISAN AL-HAL, Volume 4 NO. 1, Juni 2012, AL-FIQH AL-AKBAR DAN PARADIGMA FIQH IMAM ABU HANIFAH
3.      Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 6 No. 19 | Edisi 42 Januari-Juni 2012, Fenomena Madzhab dan Sekte-sekte di Indonesia: Sebuah Studi Medan Dakwah
4.      NAZHARAT, VOL, XV, N0.1, APRIL 2014, MEMAHAMI TEOLOGI ISLAM (Sejarah dan Perkembangannya)
5.      YUDISIA, Vol. 6, No. 2,  Desember 2015, MAZHAB: KETERKUNGKUNGAN INTELEKTUAL ATAU KERANGKA METODOLOGIS (Dinamika Hukum Islam)
6.      YUDISIA, Vol. 5, No. 2, Desember 2014, METODE IJTIHAD DAN KARAKTERISTIK FIQIH ABU HANIFAH
7.      PROF. DR. H. ABOEBAKAR ATJEH, ILMU FIQH ISLAM DALAM LIMA MAZHAB (jakarta:  ISLAMIC RESEARCH INSTITUTE, 1977). h.40.

No comments:

Post a Comment