Wednesday 13 June 2018

RASIONALISME KRITIS



“RASIONALISME KRITIS
Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu:
Moch. Muwaffiqillah, S.IP, M.Fil. I 


JURUSAN USHULUDDIN
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
TAHUN AJARAN 2016/2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua berupa ilmu dan amal. Dan berkat Rahmat dan Hidayah-Nya pula, kami dapat menyelesaikan makalah Filsafat “Rasionalisme Kritis” yang insyaallah tepat pada waktunya.
Dalam penyusunannya kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Filsafat Bapak Moch. Muwaffiqillah, S.IP, M.FIL. I yang mana telah memberikan bimbingan, dukungan, dan kepercayaan yang begitu besar sehingga kami dapat menyelesaikan makala Filsafat ini dengan baik. Semoga makala Filsafat ini dapat memberikan manfaat dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Makala Filsafat ini dirasa tidak bebas dari kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran yang membangun agar tugas materi ini menjadi lebih baik lagi kedepannya.
Akhir kata kami mengucapkan terima kasih, semoga makala Filsafat ini dapat bermanfaat.


Penyusun








DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..................................................................................................................      i
KATA PENGANTAR................................................................................................................     ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................................    iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................................     1
B.  Rumusan Masalah......................................................................................................     2
C.  Tujuan Penulisan........................................................................................................     2
BAB II PEMBAHASAN
A. Rasionalisme Kritis....................................................................................................     3
B.  Dasar-Dasar Pemikiran..............................................................................................     5
C.  Ide-Ide Bawaan Rasionalisme...................................................................................     6
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................................   16
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................   18








BAB I
PEMBAHASAN
A.    Latar belakang
Zaman modern sangat di nanti-nantikan oleh banyak pemikir manakala mereka mengingat zaman kuno ketika peradaban begitu bebas, pemikiran tidak di kekang tekanan di luar dirinya kondidsi itulah yang hendak di hidupkan kembali pada zaman modern. Mereka selalu menanti zaman modern sebagai alternatif, sebagai zaman sesudah zaman yang tepat untuk menuangkan dengan bebas segala pemikirannya. Ciri-ciri pemikiran filsafat modern antara lain ingin menghidupkan kembali Rasionalisme. Keilmuan Subyektifisme (Indifidualisme), Humanisme dan lepas dari pengaruh dominasi agama. Selain itu kebebasan pemikiran sangat terbatas, perkembangan sains amat sulit perkembangan filsafat tersendat sendat.
Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai aliran pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme, Filsafat hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme.
Namun didalam pembahasan Makalah kali ini yang akan kami bahas adalah Aliran Resionalisme,

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Rasionalisme Kritis?
2.      Apa Dasar-dasar Pemikiran?
3.      Apa Ide-ide Bawaan Rasionalisme?

C.    Tujuan
1.      Supaya Mengetahui Rasionalisme Kritis.
2.      Supaya MengetahuiDasar-dasar Pemikiran.
3.      Supaya MengetahuiIde-ide Bawaan Rasionalisme.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Rasionalisme Kritis Karl R. Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya Dr. Simon Siegmund Carl Popper adalah seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Maka tidak mengherankan bila ia begitu tertarik dengan dunia filsafat, karena ayahnya telah mengkoleksi buku-buku karya filusuf-filusuf ternama.

Pada usia 16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan alasan Ia bosan dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa disana.

Setelah perang dunia I dimana begitu banyak penindasan dan pembunuhan maka Popper terdorong untuk menulis sebuah karangan tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun ia menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan “segala cara” dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana pada saat itu terjadi pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia menarik suatu kebijaksanaan yang diungkapkan oleh Socrates yaitu “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”, dan dari sini ia menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran dogmatis dan kritis.

Dimana Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori kesayangannya.

Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yangcrucial berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.
Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan terhadap kritik – kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri.[1]

Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.

v  Dasar-dasar Pemikiran Popper

1.      Asas Falsifiabilitas
Menurut Popper teori yang melatar belakangi fakta-fakta pengamatan adalah titik permulaan ilmu pengetahuan dan teori diciptakan manusia sebagai jawaban atas masalah pengetahuan tertentu berdasarkan rasionya sehingga teori tidak lain hanyalah pendugaan dan pengiraan dan tidak pernah benar secara mutlak sehingga perlu dilakukan pengujian yang secermat-cermatnya agar diketahuan ketidakbenarannya.
Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang apabila teori yang diciptakannya itu berhasil ditentukan ketidakbenarannya. Dan Popper mengganti istilah verifikasi dengan falsifikasi.
Keterbukaan untuk diuji atau falsifiabilitas sebagai tolok ukur mempunyai implikasi bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang dan selalu dapat diperbaiki, dan pengetahuan yang tidak terbuka untuk diuji tidak ada harapan untuk berkembang, dan sifatnya biasanya dogmatis serta tidak dapat digolongkan sebagai pengetahuan ilmiah.
2.      Kritik Popper terhadap Positivisme Logis

Popper, dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi dengan catatan. Rasionalisme Popper dikenal dengan rasionalisme kritis. Proyek Popper ini terutama ditujukkan untuk membantah kaum positivisme logis yang berbasis di Wina, Austria dikenal sebagai Lingkaran Wina. Salah satu proyek mereka adalah hendak memisahkan mana ungkapan yang bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna. Ungkapan ini bisa ditemukan dalam bahasa sebagai objektifikasi pikiran manusia. Menurut kaum postivisme logis, pemisahan itu ditentukan oleh sejauh mana ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi atau tidak.

Ungkapan yang tidak bisa ditangkap inderawi berarti tidak bermakna. Sebaliknya, ungkapan yang bisa ditangkap oleh inderawi adalah yang bermakna. Ungkapan yang bermakna inilah, yang hanya bisa diverifikasi secara empiris, yang dianggap oleh kaum positivisme logis sebagai pengetahuan.[2]

Popper menyangkal pandangan kaum positivisme logis tersebut. Dalam pemahamannya manusia tidak mungkin mengetahui semesta pengetahuan hanya dengan mengandalkan verifikasi empiris. Popper memberi contoh kasus angsa putih dan angsa hitam. Orang Eropa selama ratusan atau mungkin ribuan tahun percaya bahwa semua angsa adalah putih karena memang sejauh itu tidak ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan ini goyah dan kemudian runtuh ketika para pelancong Eropa menemukan angsa hitam di Sungai Victoria di Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan itu keyakinan orang Eropa terbukti salah. Contoh serupa bisa ditemukan dalam semua hal yang ada di ‘dunia objektif’. Oleh karena itu, bagi Popper, teori pengetahuan selalu bersifat hipotesis dan yang bisa di kritisi dan bahkan disalahkan.

B.     Rasionalisme Rene Descartes (1596-1650)
Aliran filsafat yang berasal dari Descartes biasanya disebut Rasionalisme, karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas diluar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua masalah utama yang keduanya diwarisi dari Descartes. Pertama, masalah substansi, kedua, masalah hubungan antar jiwa dan tubuh.[3]

Rene Descartes adalah tokoh filsafat abad modern, bahkan dialah pendiri dan pelopor utamanya. Ada perbedaan penting antara filsafat abad pertengahan sampai abad modern. Perbedaan tersebut bukanlah dilihat dari segi dikotomi mundur dan maju seperti halnya pada dunia ilmu pengetahuan. Perbedaan keduanya lebih sering dilihat dari sudut ciri khasnya masing-masing. Filsafat abad pertengahan bercirikan sinkretasi antara akal dan wahyu, antara rasio dengan agama, dengan kecenderungan untuk mencari pembenaran-pembenaran terhadap keyakinan yang kuat akan adanya Tuhan dengan melalui jalan tasawuf yang yang berpuncak pada ma’rifat yakni pengetahuan intuisif.

Corgito ergo sum inilah yang dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut sebagai filsafat kebenaran yang pertama (primum philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran dan untuk berada tidak memerlukan suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi. Prinsip bahwa kebenaran yang pasti ialah yang jelas dan terpilah-pilah, menurut B. Williams merupakan problem sentral dan sekaligus inti filsafat Descartes.

Untuk menjamin agar apa yang ditetapkan oleh akal itu, atau rasio, benar-benar tidak salah, maka ia lari kepada Tuhan. Lebih dari itu ia mengemukakan ide-ide bawaan.

C.    Ide-ide Bawaan Rasionalisme Descartes
Aliran memandang bahwa budi atau rasio adalah sumber dan pangkal segala pengertian dan  pengetahuan, dan budilah yang memegang pimpinan dalam bentuk “mengerti”. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya dengan sama sekali menyisihkan pengetahuan indra. Sebab, pengetahuan indra hanya menyesatkan saja. Dengan metoda “keragu-raguan” pemikiran Descartes (1596-1650) ingin mencapapai kepastian. Jika orang-orang ragu, tampaklah ia berpikir, sehingga akan tampak dengan segala adanya sebab dari proses berpikir tersebut. Oleh karena itu dari metoda keraguan ini, muncullah kepastian tentang eksistensi dirinya sendiri. Itulah yang kemudian dirumuskan dengan “cogito ergo sum” (karena saya berpikir, maka saya ada).

Selanjutnya, Rene Descartes mengajarkan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga “ide bawaan”. Ide bawaan ini sudah ada sejak lahir, yaitu pemikiran, Allah, dan keluasan.
a.       Pemikiran
Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran itu merupakan hakikat saya.
b.      Allah
Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide “sempurna”, pasti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide tersebut karena akibat tidak dapat melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain hanyalah Allah.
c.       Keluasan
Saya mengerti materi sebagai keluasan atau eksistensi, sebagaimana yang dilukiskan dan dipelajari oleh para ahli ilmu ukur.















BAB III
Kesimpulan
1.      Rasionalisme adalah paham yang mengangap bahwa pikiran dan akal merupakan dasar satu-satunya untuk memecahkan kebenaran lepas dari jangkauan indra.
2.      Aliran filsafat Descartes disebut Rasionalisme yang sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas diluar rasio.
3.      Rasio adalah sumber dan pangkal segala pengertian dan  pengetahuan, dan budilah yang memegang pimpinan dalam bentuk “mengerti”.
4.      Dari metode keraguan ini, munculah kepastian tentang eksistensi dirinya sendiri. Itulah yang kemudian dirumuskan dengan “cogito ergo sum” (karena saya berpikir, maka saya ada).














DAFTAR PUSTAKA
Karl R. Popper. Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto (Jakarta: LP3ES, 1985).
Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991),[1] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius 1983,)


[1]Karl R. Popper. Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto (Jakarta: LP3ES, 1985).
[2]Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm. 18.
[3]K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Yayasan Kanisius 1983, h. 45. Ef Yusuf Karam, Tarikh al-Falsafah al-Hadisah, Mesir, Dal al-Ma’arif , 1969, h.82.

No comments:

Post a Comment