“RASIONALISME
KRITIS
Makalah
ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah
Filsafat
Ilmu
Dosen
Pengampu:
Moch.
Muwaffiqillah, S.IP, M.Fil. I
JURUSAN
USHULUDDIN
PROGRAM
STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
TAHUN
AJARAN 2016/2017
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
Rahmat dan Hidayah-Nya kepada kita semua berupa ilmu dan amal. Dan berkat
Rahmat dan Hidayah-Nya pula, kami dapat menyelesaikan makalah Filsafat
“Rasionalisme Kritis” yang insyaallah tepat pada waktunya.
Dalam
penyusunannya kami mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen pembimbing mata
kuliah Filsafat Bapak Moch. Muwaffiqillah, S.IP, M.FIL. I yang mana telah
memberikan bimbingan, dukungan, dan kepercayaan yang begitu besar sehingga kami
dapat menyelesaikan makala Filsafat ini dengan baik. Semoga makala Filsafat ini
dapat memberikan manfaat dan menuntun pada langkah yang lebih baik lagi.
Makala
Filsafat ini dirasa tidak bebas dari kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu
kami mengharap kritik dan saran yang membangun agar tugas materi ini menjadi
lebih baik lagi kedepannya.
Akhir
kata kami mengucapkan terima kasih, semoga makala Filsafat ini dapat
bermanfaat.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.................................................................................................................. i
KATA
PENGANTAR................................................................................................................ ii
DAFTAR
ISI............................................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan........................................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Rasionalisme Kritis.................................................................................................... 3
B. Dasar-Dasar Pemikiran.............................................................................................. 5
C. Ide-Ide Bawaan Rasionalisme................................................................................... 6
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................................ 16
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................................. 18
BAB I
PEMBAHASAN
A.
Latar belakang
Zaman modern
sangat di nanti-nantikan oleh banyak pemikir manakala mereka mengingat zaman
kuno ketika peradaban begitu bebas, pemikiran tidak di kekang tekanan di luar
dirinya kondidsi itulah yang hendak di hidupkan kembali pada zaman modern.
Mereka selalu menanti zaman modern sebagai alternatif, sebagai zaman sesudah
zaman yang tepat untuk menuangkan dengan bebas segala pemikirannya. Ciri-ciri
pemikiran filsafat modern antara lain ingin menghidupkan kembali Rasionalisme.
Keilmuan Subyektifisme (Indifidualisme), Humanisme dan lepas dari pengaruh
dominasi agama. Selain itu kebebasan pemikiran sangat terbatas, perkembangan
sains amat sulit perkembangan filsafat tersendat sendat.
Tak dapat
dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam era filsafat modern, dan
kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20, munculnya berbagai aliran
pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme, Kritisisme, Idealisme, Positivisme,
Evolusionisme, Materalisme, Neo-Kantianisme, Pragmatisme, Filsafat hidup,
Fenomenologi, Eksistensialisme, dan Neo-Thomisme.
Namun
didalam pembahasan Makalah kali ini yang akan kami bahas adalah Aliran
Resionalisme,
B.
Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Rasionalisme Kritis?
2. Apa Dasar-dasar Pemikiran?
3. Apa Ide-ide Bawaan Rasionalisme?
C.
Tujuan
1. Supaya Mengetahui Rasionalisme Kritis.
2. Supaya MengetahuiDasar-dasar Pemikiran.
3. Supaya MengetahuiIde-ide Bawaan
Rasionalisme.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Rasionalisme Kritis Karl R. Popper
Karl
Raimund Popper lahir di Wina tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya Dr. Simon Siegmund
Carl Popper adalah seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Maka
tidak mengherankan bila ia begitu tertarik dengan dunia filsafat, karena
ayahnya telah mengkoleksi buku-buku karya filusuf-filusuf ternama.
Pada
usia 16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan alasan Ia bosan
dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan
baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa disana.
Setelah
perang dunia I dimana begitu banyak penindasan dan pembunuhan maka Popper
terdorong untuk menulis sebuah karangan tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun
ia menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan
“segala cara” dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana pada
saat itu terjadi pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan
banyak dari teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia menarik suatu
kebijaksanaan yang diungkapkan oleh Socrates yaitu “Saya tahu bahwa saya tidak
tahu”, dan dari sini ia menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara
pemikiran dogmatis dan kritis.
Dimana
Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak
dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan
sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi
terhadap teori-teori kesayangannya.
Dari
peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang
tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yangcrucial berupa pengujian
yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat
meneguhkannya.
Dalam
perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul Logik der
Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan
pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The
Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa
arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan terhadap kritik –
kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri.[1]
Dari sini
Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang
dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara yang tepat untuk
mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa
berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori
tentang ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia
memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah sekelumit
kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.
v
Dasar-dasar Pemikiran Popper
1.
Asas
Falsifiabilitas
Menurut Popper teori yang melatar belakangi
fakta-fakta pengamatan adalah titik permulaan ilmu pengetahuan dan teori
diciptakan manusia sebagai jawaban atas masalah pengetahuan tertentu
berdasarkan rasionya sehingga teori tidak lain hanyalah pendugaan dan pengiraan
dan tidak pernah benar secara mutlak sehingga perlu dilakukan pengujian yang
secermat-cermatnya agar diketahuan ketidakbenarannya.
Ilmu pengetahuan hanya dapat berkembang apabila teori
yang diciptakannya itu berhasil ditentukan ketidakbenarannya. Dan Popper
mengganti istilah verifikasi dengan falsifikasi.
Keterbukaan untuk diuji atau falsifiabilitas sebagai
tolok ukur mempunyai implikasi bahwa ilmu pengetahuan dapat berkembang dan
selalu dapat diperbaiki, dan pengetahuan yang tidak terbuka untuk diuji tidak
ada harapan untuk berkembang, dan sifatnya biasanya dogmatis serta tidak dapat
digolongkan sebagai pengetahuan ilmiah.
2. Kritik Popper terhadap Positivisme Logis
Popper,
dengan demikian, ingin menyelamatkan rasionalisme tetapi dengan catatan.
Rasionalisme Popper dikenal dengan rasionalisme kritis. Proyek Popper ini terutama
ditujukkan untuk membantah kaum positivisme logis yang berbasis di Wina,
Austria dikenal sebagai Lingkaran Wina. Salah satu proyek mereka adalah hendak
memisahkan mana ungkapan yang bermakna dan ungkapan yang tidak bermakna.
Ungkapan ini bisa ditemukan dalam bahasa sebagai objektifikasi pikiran manusia.
Menurut kaum postivisme logis, pemisahan itu ditentukan oleh sejauh mana
ungkapan-ungkapan itu bisa ditangkap oleh inderawi atau tidak.
Ungkapan yang tidak bisa ditangkap inderawi berarti
tidak bermakna. Sebaliknya, ungkapan yang bisa ditangkap oleh inderawi adalah
yang bermakna. Ungkapan yang bermakna inilah, yang hanya bisa diverifikasi
secara empiris, yang dianggap oleh kaum positivisme logis sebagai pengetahuan.[2]
Popper menyangkal pandangan kaum positivisme logis
tersebut. Dalam pemahamannya manusia tidak mungkin mengetahui semesta
pengetahuan hanya dengan mengandalkan verifikasi empiris. Popper memberi contoh
kasus angsa putih dan angsa hitam. Orang Eropa selama ratusan atau mungkin
ribuan tahun percaya bahwa semua angsa adalah putih karena memang sejauh itu
tidak ditemukan angsa selain angsa putih. Keyakinan ini goyah dan kemudian
runtuh ketika para pelancong Eropa menemukan angsa hitam di Sungai Victoria di
Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan itu keyakinan orang
Eropa terbukti salah. Contoh serupa bisa ditemukan dalam semua hal yang ada di
‘dunia objektif’. Oleh karena itu, bagi Popper, teori pengetahuan selalu
bersifat hipotesis dan yang bisa di kritisi dan bahkan disalahkan.
B.
Rasionalisme Rene Descartes (1596-1650)
Aliran
filsafat yang berasal dari Descartes biasanya disebut Rasionalisme, karena
aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan
itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas
diluar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua
masalah utama yang keduanya diwarisi dari Descartes. Pertama, masalah substansi, kedua, masalah hubungan antar jiwa dan tubuh.[3]
Rene
Descartes adalah tokoh filsafat abad modern, bahkan dialah pendiri dan pelopor
utamanya. Ada perbedaan penting antara filsafat abad pertengahan sampai abad
modern. Perbedaan tersebut bukanlah dilihat dari segi dikotomi mundur dan maju
seperti halnya pada dunia ilmu pengetahuan. Perbedaan keduanya lebih sering
dilihat dari sudut ciri khasnya masing-masing. Filsafat abad pertengahan
bercirikan sinkretasi antara akal dan wahyu, antara rasio dengan agama, dengan
kecenderungan untuk mencari pembenaran-pembenaran terhadap keyakinan yang kuat
akan adanya Tuhan dengan melalui jalan tasawuf yang yang berpuncak pada
ma’rifat yakni pengetahuan intuisif.
Corgito ergo sum
inilah yang dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes
yang disebut sebagai filsafat kebenaran yang pertama (primum philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah
suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran dan
untuk berada tidak memerlukan suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi.
Prinsip bahwa kebenaran yang pasti ialah yang jelas dan terpilah-pilah, menurut
B. Williams merupakan problem sentral dan sekaligus inti filsafat Descartes.
Untuk
menjamin agar apa yang ditetapkan oleh akal itu, atau rasio, benar-benar tidak
salah, maka ia lari kepada Tuhan. Lebih dari itu ia mengemukakan ide-ide
bawaan.
C.
Ide-ide Bawaan Rasionalisme Descartes
Aliran
memandang bahwa budi atau rasio adalah sumber dan pangkal segala pengertian
dan pengetahuan, dan budilah yang
memegang pimpinan dalam bentuk “mengerti”. Kedaulatan rasio diakui sepenuhnya
dengan sama sekali menyisihkan pengetahuan indra. Sebab, pengetahuan indra
hanya menyesatkan saja. Dengan metoda “keragu-raguan” pemikiran Descartes
(1596-1650) ingin mencapapai kepastian. Jika orang-orang ragu, tampaklah ia
berpikir, sehingga akan tampak dengan segala adanya sebab dari proses berpikir
tersebut. Oleh karena itu dari metoda keraguan ini, muncullah kepastian tentang
eksistensi dirinya sendiri. Itulah yang kemudian dirumuskan dengan “cogito ergo
sum” (karena saya berpikir, maka saya ada).
Selanjutnya,
Rene Descartes mengajarkan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga “ide bawaan”.
Ide bawaan ini sudah ada sejak lahir, yaitu pemikiran, Allah, dan keluasan.
a. Pemikiran
Sebab saya memahami
diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa
pemikiran itu merupakan hakikat saya.
b. Allah
Allah sebagai wujud
yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide “sempurna”, pasti ada
sesuatu penyebab sempurna untuk ide tersebut karena akibat tidak dapat melebihi
penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain hanyalah Allah.
c. Keluasan
Saya mengerti materi
sebagai keluasan atau eksistensi, sebagaimana yang dilukiskan dan dipelajari
oleh para ahli ilmu ukur.
BAB III
Kesimpulan
1.
Rasionalisme
adalah paham yang mengangap bahwa pikiran dan akal merupakan dasar satu-satunya
untuk memecahkan kebenaran lepas dari jangkauan indra.
2. Aliran filsafat Descartes disebut
Rasionalisme yang sangat mementingkan
rasio. Dalam rasio terdapat
ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa
menghiraukan realitas diluar rasio.
3. Rasio adalah sumber dan
pangkal segala pengertian dan
pengetahuan, dan budilah yang memegang pimpinan dalam bentuk “mengerti”.
4. Dari metode keraguan ini, munculah
kepastian tentang eksistensi dirinya sendiri. Itulah yang kemudian dirumuskan
dengan “cogito ergo sum” (karena saya berpikir, maka saya ada).
DAFTAR
PUSTAKA
Karl
R. Popper. Gagalnya Historisisme, terj. Nena Suprapto (Jakarta: LP3ES, 1985).
Alfons Taryadi,
Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991),[1] K.
Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius 1983,)
[1]Karl R. Popper. Gagalnya
Historisisme, terj. Nena Suprapto (Jakarta: LP3ES, 1985).
[2]Alfons Taryadi,
Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta: Gramedia, 1991),
hlm. 18.
[3]K. Bertens, Ringkasan
Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Yayasan Kanisius 1983, h. 45. Ef Yusuf Karam,
Tarikh al-Falsafah al-Hadisah, Mesir, Dal al-Ma’arif , 1969, h.82.
No comments:
Post a Comment