Wednesday 13 June 2018

Filsafat Ilmu Ontologi berserta Aliranya


A.        ONTOLOGI
OntOntologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Sedangkan dalam kamus Oxford, ontologi merupakan sebuah cabang filsafat yang berhubungan dengan inti keberadaan. Jadi sebenarnya, ontologi merupakan sebuah studi yang mempelajari hakikat keberadaan sesuatu, dari yang berbentuk konkret sampai yang berbentuk abstrak, tentang sesuatu yang tampak sampai sesuatu yang tidak tampak, mengenai eksistensi dunia nyata maupun eksistensi dunia kasat mata atau eksistensi gaib.
Aliran-aliran Ontologi :
1.         Monoisme, Istilah monisme berasal dari bahasa Yunani monos yang berarti tunggal atau sendiri. Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua.
2.         Dualisme, Istilah dualisme berasal dari bahasa Latin, dualis yang berarti bersifat dua. Jika monisme berpandangan bahwa hanya ada satu substansi yang tidak tersentuh perubahan dan bersifat abadi, maka dualisme justru berpandangan bahwa ada dua substansi dalam kehidupan ini.
3.         Pluralisme, Istilah pluralisme berakar pada kata dalam bahasa Latin pluralis yang berarti jamak atau plural. Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan.
4.         Materialisme, Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani.
5.         Idealisme, Istilah idealisme berasal dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa.
6.         Nihilisme, Istilah nihilisme berasal dari bahasa Latin yang secara harfiah berarti tidak ada atau ketiadaan.
7.         Agnotisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda baik materi maupun ruhani.


B.        EPISTIMOLOGI
Epistimologi berasal dari kata Yunani episteme = pengetahuan dan logos = perkataan, pikiran, ilmu. Kata “episteme” dalam Bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai, artinya mendudukkan, menempatkan, atau meletakkan. Maka, harfiah epiteme berarti pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk “menempatkan sesuatu dalam kedudukan setepatnya”. Selain kata “episteme”, untuk kata “pengetahuan” dalam Bahasa Yunani juga dipakai kata “gnosis”, maka istilah “epistimologi” dalam sejarah pernah juga dosebut gnoseologi. Sebagai kajian filosofis yang membuat telaah kritis dan analitis tentang dasar-dasar teoritis pengetahuan, epistemology kadang juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge; erkentnistheorie). Metode memperoleh pengetahuan:
1.         Empirisme merupakan suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal.
2.         Rasionalisme adalah pandangan bahwa kita mengetahui apa yang kita pikirkan dan bahwa akal mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran dengan diri sendiri. kritisisme, dalam diri setiap manusia sudah ada kondisi-kondisi tertentu dalam pikiran yang mengatur cara kerja pikiran dan memengaruhi cara mereka dalam memandang dunia.
3.         Intuisionisme merupakan pham yang menekankan tidak tidak terperantarannya pengetahuan atau bukti-bukti dari karakter ide-ide tertentu.
4.         Metode ilmiah lazimnya digunakan dalam bidang pengetahuan alam atau sains.

C.        AKSIOLOGI
Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah “teori tentang nilai”. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat di dalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.

II
A. Empiris
Empirisme berasal dari kata Yunani, yaitu; empeirisko, artinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengalaman melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata Yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman indrawi. Pengetahuan inderawi bersifat persial. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lainnya, berhubungan dengan sifat khas fisiologis indera dan objek yang dapat ditangkap sesuai dengannya. Masing-masing indera menangkap aspek yang berbeda mengenai barang atau makhluk yang menjadi objeknya. Jadi pengetahuan inderawi berada menurut perbedaan indera dan terbatas pada sensibilitas organ-organ tertentu.
B. Pengertian Penalaran Induksi
Filusuf pada  zaman keemasan yunani, Aristoteles menyatakan bahwa proses peningkatan dari hal hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal, disebut sebagai pola penalaran induksi. Disitu premisnya berupa proposisi propososisi singular, sedangkankan konklusinya sebuah proposisi universal, yang berlaku secara umum.
Menurut Jhon Stuart Mill (1806-1873), induksi induksi sebagai ketiadaan budi, dimana kita menyimpulkan bahwa apa yang kita ketahui benar untuk kasus atau kasus kasus khusus, juga akan benar untuk semua  kasus yang serupa  dengan yang tersebut  tadi dalam hal-hal tertentu.
C. Prinsip prinsip penalaran induksi
Misalnya, terdapat penalaran sebagai berikut:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau.
Apel 4 adalah masam.
Premis premis dari induksi ialah proposisi empiris yang langsung kembali kepada suatu obsersvasi indra atau proposisi dasar (Bassic Statement), proposisi dasar menunjuk kepada fakta, yaitu observasi yang dapat diuji kecocokanya dengan tangkapan indra. Pikiran tidak dapat mempersoalkan benar tidaknya fakta, akan tetapi hanya dapat menerimanya. Bahwa apel itu keras, hijau dan masam, hanyalah indra yang dapat menangkapnya. Sekali indra mengatakan demikian, pikiran tinggal menerimanya.
D. Generalisasi Induksi
            Telah dapat diketahui bahwa, penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi yang bersift umum dari premis premis yang berupa proposisi empirik itu disebutgenerilisasi. Prinsip yang menjadi dasar penalaran generalisasi itu dapat dirumuskan demikian “apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama terpenuhi”. Hasil penalaran Generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalisasi. Generalisasi dalam arti ini berupa suatu proposisi universal, seperti: semua apel yang akan keras dan hijau, rasanya asam. Semua logam yang dipanasi memuai.
E. Analogi Induksi
Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan yang lain, dengan mengidentifikasi mencari persamaan. Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran. Sebagai penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan.


III
Empiris
Kebimbangan orang kepada sains dan agama pada Zaman Modern filsafat sebagaimana telah disinggung beberapa kali sebelum ini, ditimbulkan oleh berbagai hal, antara lain oleh ajaran empirisme . Empirisme ialah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. istilah Empirisme berasal dari bahasa yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman.  Penganut empirisme berpandangan bahwa pengalaman merupakan sumber pengetahuan bagi manusia, yang jelas-jelas mendahului rasio. Tanpa pengalaman, rasio tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gambaran tertentu. Kalaupun menggambarkan sedemikian rupa, tanpa pengalaman hanyalah khayalan belaka.
Diantara tokoh-tokoh pengikut aliran Empirisme adalah
1. Francis Bacon (1210-1292M) Menurut Francis Bacon pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima orang melalui persentuhan dengan dunia fakta. Pengalaman merupakan sumber pengetahuan  yang sejati, pengetahuan haruslah dicapai dengan induksi. Selanjutnya, kita sudah terlalu lama dipengaruhi oleh metode deduktif. Dari penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa itu tidak benar, haruslah sekarang kita memperhatikan yang konkrit mengelompokkan, itulah tugas ilmu pengetahuan.
2. Thomas Hobbes (1588-1679M) Menurut Thomas Hobbes, bahwa pengalaman indrawi sebagai permulaan segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapatdisentuh dengan indralah yang merupakankebenaran. Pengetahuan intelektual (rasional) tidak lain hanya merupakan penggabungan data dataindrawi belaka.
3. John Locke (1632-1753 M) John Locke adalah filosof inggris yang banyak mempelajari agama kristen.  Ia lahir di Wrington, Somersetshire, pada tahun 1632. Tahun 1647-1652 ia belajar di Westminster. Filsafat Locke dapat dikatakan antimetafisika ia menerima keraguan sementara yang diajarkan oleh Descrates, tetapi ia juga menolak intuisi yang digunakan oleh Descrates. Ia juga menolak metode deduktif Descrates dan menggantinya dengan generalisasi berdasarkan pengalaman; jadi, induksi. Bahkan Locke menolak juga akal (reason). Ia hanya menerima pemikiran matematis yang pasti dan cara penarikan dengan metode induksi.
4. David Hume (1711-1776M) Solomon menyebut David Hume sebagai  ultimate skeptic, skeptic tingkat tertinggi. Ia dibicarakan disini sebagai seorang skeptic, dan terutama sebgai seorang empiris. Menurut Bertrans Russel yang tidak dapatdiragukan lagi pada Hume adalahseorag skeptic.
5. Herbert Spencer (1820-1903 M) Filsafathelbertspencrberpusatpadateorievolusi. 9 tahun sebelum terbitnya karya Darwin yang terkenal, the origent of speciest(1859 ) spencer sudah menerbitkan bukunya tentang teori evolusi. Empirismenya terlihat jelas dari filsafatnya tentang the great unkwonable. Menurut soencer, kita hanya menganali fenonema fenomena atau gejala-gejala. Secara prinsip pengenalan kita hanya menangkutrelasi relasi antara gejala-gejala dibelakang gejala-gejala ada sesuatu yang oleh spencer disebut yang tidak diketahui (the great unknownable).

IV
Epistimologi ilmu
Epistimologi dari bahasa yunani episteme artinya pengetahuan yakni cabang filsafat yang bekaitan dengan teori pengetahuan.
 Menurut  Plato,  Filsafat  adalah  Ilmu  Pengetahuan  yang  berminat  mencapai kebenaran  yang  asli.   Pemikiran  Plato  ini  tidak  terlepas  dari  sejarah  keemasan  filsafat yunani. Garis  besar  filsafat  Pengetahuan  atau  epistemologi  Plato  (kata  Yunani  episteme  = pengetahuan,  maka  epistemologi  =  “logos”  atau  sabda  dan  paham  tentang  pengetahuan tetap  bertitik  tolak  pada  Socrates.  Plato  adalah  murid  Socrates  yang  tersohor  (427-347).
Sampai  saat  kematiannya,  tak  satupun  pemikiran  Sokrates  sempat  dituliskan.  Oleh  karena itu,  meskipun  Sokrates  lebih  dilihat  sebagai  pioneer   bagi  pemikiran  filsafat  yang  berorientasi pada manusia. Namun, Plato adalah tokoh yang menuliskan semua pemikiran gurunya.
Karya  Plato  sebagian  besar  terdiri  atas  wawancara-wawancara  Socrates  dengan  berbagi orang. Dengan demikian, disamping   beberapa  sumber  lain Plato menjadi  sumber utama  kita mengenai  Socrates.  Meskipun  hal  itu  tidak  boleh  kita  tafsirkan  menurut  paham  dan  tuntutan kita  terhadap  otentisitas  sumber-sumber  historis.  Plato  menggambarkan  Sokrates  sesuai dengan  anggapan  dan  filsafatnya  sendiri.  Karya  Plato  pun  bermutu  sastra  tinggi bila  dilihatdari  sudut  pandang  sastra  dan  budaya  pada  lingkungan  zamannya.  Karya  Plato bukanlah  suatu  karya  ilmiah, maka  penafsirannya  harus memperhatikan nuansa-nuansa  yang terkandung di dalam tulisan-tulisannya yang tidak bersifat buku teks filsafat ilmiah.
Pengetahuan (Epistimologi) Plato
Plato bisa dikategorikan sebagai filsof petama yang secara jelas mengemukakan epistimolog dalam filsafat meskipun ia belum menggunakan term epistimologi . pemikiran mengenai epistmologi belandaskan pada pandangan “ idea” plato. Ia meyakini bahwa ide merupakan suatu yang obyektif. Adanya ide terlepas dari dai subjek yang berfikir. Dengan kata lain ide tidak diciptakan oleh pemikiran individu, tetapi pemikiran itu tergantung dari ide-ide. Plato membeikan contoh salah satuunya adalah segitiga yang digambarkan di papan tulis dalam berbagai bentuk: itu merupakan gambaran yang berupa tiruan, tak sempurna dari ide tentang segitiga. Jadi sebagai segitiga itu mempunyai satu ide tentang segitiga ang mewakili semua segitiga yang ada.
Dalam pandangan Plato, benda-benda jasmani tidak bisa “ber-ada” tanpa pendasaran ide yang ada pada dunia idea. Relasi keduanya melalui tiga cara; pertama, ide hadir pada benda-benda konkrit. Kedua, benda konkrit mengambil bagian dalam ide; filsafat mengambil peranan penting pada relasi ini. Ketiga, ide merupakan model atau contoh bagi benda-benda konkrit. Benda-benda konkrit itu merupakan gambaran tak sempurna yang menyerupai model tersebut.
Idea Plato
Pemecahan atau pencairan pertentangan dirumuskan plato lebih lanjut dengan memakai suatu istilah yang seakan - akan berasal dari dua pengetahuan dalam arti luas. Istilah itu adalah  idea.  Kata  Yunani  itu  mempunyai  akar  Wid  dengan  arti  melihat  dengan  mata  kepala maupun menatap dengan mata batin sampai mengetahui.
Intuisi plato
Plato juga memakai perumpamaam-perumpamaan lain dalam rangka usahanya untuk menerangkan apa yang terjadi pada saat manusia mengenal atau mengetahui sesuatu. Pengetahuan sebagai ingatan akan suatu lapisan kesadaran bawaan dalam jati diri manusia dicirikan oleh filsuf-filsuf modern sebagai pengetahuan berdasarkan intuisi. Melalui kesan dan penamatan intuitif, manusia merasa bahwa ia sudah tahu, tanpa merasa perlu melakukan suatu pengamatan, penelitian, atau penalaran lebih lanjut.

V
VI
HAKIKAT LOGIKA
           Menurut Andre Ata, dkk. (2012), konsep “logika” atau “logis” sudah sering kita dengar dan kita gunakan. Dalam bahasa sehari-hari, perkataan “logika” atau “logis” menunjukkan cara berpikir atau cara hidup atau sikap hidup tertentu, yaitu yang masuk akal, yang “reasonable”, yang wajar, yang beralasan atau berargumen, yang ada rasionya atau hubungan rasionalnya, yang dapat dimengerti, walaupun belum tahu disetujui atau tentang benar atau salah. Dalam arti ilmiah, perkataan logika menunjukkan pada disiplin ilmu yang dimaksud dengan disiplin ilmu disini yaitu disiplin ilmiah, yaitu kegiatan intelektual yang dipelajari untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam bidang tertentu secara sistematik-rasional argumentative dan terorganisasi yang terkait atas tunduk pada aturan, prosedur, atau metode tertentu. Setap disiplin mewujudkan ilmu atau cabang ilmu pengetahuan tertentu. Misalnya biologi, yaitu ilmu disiplin yang termasuk ilmu alam, mikrobiologi yaitu suatu disiplin yang termasuk ilmu alam; mikrobiologi yaitu disiplin ilmu atau subdisiplin yang termasuk dalam disiplin ilmu biologi.
SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA
              Logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles (384-322 SM), sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon, terdiri atas enam bagian. Theoprastus (371-287 sM), memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah  penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan. Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli  pikir di Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam  bagian baru ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
3 BAHASA LOGIKA
             Bahasa merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Dan khusus alat komunikasi ilmiah disebut dengan bahasa ilmiah, yaitu kalimat berita yang merupakan suatu pernyataan-pernyataan atau  pendapat-pendapat. Bahasa sangat penting juga dalam pembentukan penalaran ilmiah karena penalaran ilmiah mempelajari bagaimana caranya mengadakan uraian yang tepat dan sesuai dengan pembuktian-pembuktian secara benar dan  jelas. Bahasa secara umum dibedakan antara bahasa alami dan bahasa buatan. Bahasa alami ialah bahasa sehari-hari yang biasa digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas dasar pengaruh alam sekelilingnya, dibedakan antara  bahasa isyarat dan bahasa biasa. Bahasa buatan ialah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal pikiran untuk maksud tertentu, yang dibedakan antara bahasa istilahi dan bahasa artifisial. Bahasa buatan inilah yang dimaksudkan bahasa ilmiah, dirumuskan bahasa  buatan yang diciptakan oleh para ahli dalam bidangnya dengan menggunakan istilah-istilah atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu.
PENGERTIAN DEDUKSI
            Deduksi adalah kegaiatn berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang  bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan yang secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus yang disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif yang berdasarkan kedua premis tersebut. Dari contoh kita sebelumnya kita dapat membuat silogismus sebagai berikut.
Semua makhluk mempunya mata (Premis mayor)
Si Polan adalah seorang makhluk (Premis Minor)
Jadi si Polan mempunyai mata     (Kesimpulan)
             Kesimpulan yang diambil bahwa si Polan mempunyai mataadalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Pernyataan apakah kesimpulan itu benar maka hal ini haus dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya kedua premis yang mendukungnya adalah benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.
5 KRITERIA KEBENARAN
        Teori kebenaran yang didasarkan kepad criteria tersebut diatas disebut teori koherensi. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Polan adalah seorang manusia dan si Polan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
VII
VIII
           Positivisme
            Positivisme berasal dari kata “positif” yang berarti faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Positivism, mengutamakan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Perbedaan positivisme dengan empirisme adalah bahwa positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah, tetapi hanya mengandalkan fakta-fakta belaka. Posivisme pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang dilahirkan di Monpellier. Karya utama Aguste Comte paling terkenal adalah ‘Cours Philosophie Positive (Kursus tentang Filsafat Positif)’.
           Positivisme Comte Dan Neopositivisme serta Perlawanan Popper
            Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang dibangun oleh Auguste Comte (1798-1857). Intinya positivisme ingin membersihkan ilmu dari spekulasi-spekulasi yang tidak dapat dibuktikan secara positif. Comte ingin mengembangkan ilmu dengan melakukan percobaan (eksperimen) terhadap bahan faktual yang terdapat dalam kenyataan empiris, bukan dengan jalan menyusun spekulasi-spekulasi rasional yang tidak dapat dibuktikan secara positif lewat eksperimen.
            Bagi Comte, potivisme merupakan tahap akhir atau puncak dalam perkembngan pemikiran manusia dalam tiga tahap, yaitu:
1.         Tahap mistik-teologis
2.         Tahap metafisika
3.         Tahap positif
IX
Pengertian Fenomenologi dan Perbedaan Fenomenologi Kant dan Hegel dengan Husserl
Istilah fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon dan logos. Kata fenomenon berarti sesuatu yang menggejala, yang menampakkan diri, sedangkan istilah logos berarti ilmu. Jadi, fenomenologi berarti ilmu tentang fenomena atau pembahasan tentang sesuatu yang menampakkan diri. Dengan demikian, semua wilayah fenomena (realita) yang menampakkan diri (manusia, gejala sosial-budaya atau objek-objek lain) dapat dapat dikatakan sebagai objek fenomenologi.
Dilihat dari kemunculan istilah fenomenologi, sebelum istilah itu dipergunakan oleh Husserl, istilah fenomenologi sebelumnya telah digunakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) dan George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Kant misalnya mengemukakan istilah fenomena dan noumena. Fenomena pada Kant mengacu pada apa yang tampak, dan sesuatu yang tampak itu dapat dipahami dan dimengerti. Fenomena merupakan hasil kontruksi subjek yang mengetahui terhadap objek (fenomenon) yang diketahui. Di sini Kant membedakan fenomena dengan noumena. Fenomena sebagai realita yang dapat diketahui, dapat diobservasi, sedangkan noumena adalah hakikat realitas yang berada di balik fenomena (metafisik). Karena noumena itu berada di luar jangkauan pengamatan, maka menurut Kant, kita tidak dapat memahaminya sebab tidak ada jalan masuk indrawi ke noumena itu. Jadi, fenomenologi pada Kant adalah bentuk epistemologi yang meyakini kemungkinan untuk mengetahui senomena saja dan bukan noumena (das Ding an sich). Konsekuensi pandangan ini: segala sesuatu yang berada di luar jangkauan pengamatan langsung dianggap berada di luar kajian (wilayah) ilmu pengetahuan. Adapun pada Kant kesadaran dianggap tertutup dan terisolir dari realitas, tidak terkait dengan faktor sosial-historis. Dengan demikian, kesadaran mengenal diri sendiri dan melalui itu pulalah cara saya atau kita mengenal realitas.
Karya-karya Husserl
Selama hidupnya, Husserl banyak menulis naskah-naskah (50.000 lembar tulisan) mengenai fenomenologi namun sedikit yang diterbitkan pada waktu hidupnya. Adapun tulisan-tulisan pribadi Husserl disimpan di Universitas Leuven (Belgia) (karena khawatir diambil/dibakar oleh Nazi). Tulisan-tulisannya yang dibukukan antara lain:
1.         Logishe Untursuchungen (Penelitian tentang Logika), terdiri dari dua jilid (1900-1901).
2.         Ideen zu einer Reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie (Gagasan-gagasan tentang Fenomenologi Murni dan Filsafat Fenomenologi) (1913). Buku ini menempatkan Husserl sebagai filsuf yang mendapat pengakuan internasional.
3.         Cartesianischen Meditationen (1931).
4.         Die Krisis der europaischen Wssenchaften und die transendentable Phenomenologie (Krisis dalam Ilmu-ilmu Pengetahuan di Eropa dan Fenomenologi Transendental) (1936). Tulisannya ini sebagian terbit setelah ia meninggal.
Kritik atas Ilmu Pengetahuan Modern (Positivisme)
Seperti jamak diketahui, positivisme memandang ilmu sekedar “ilmu tentang fakta-fakta”. Dengan kata lain, positivisme membatasi ilmu pengetahuan pada gejala fisis dan ini merupakan suatu reduksionisme. Masalah yang berkaitan dengan eksistensi rasional, emosional, makna dan tujuan hidup manusia dilenyapkan dengan alasan bahwa hal itu tidak dapat diverifikasi melalui metode ilmiah. Dalam bidang psikologi, aliran yang menerapkan cara pandang positivisme ini, dimana subjek direduksi menjadi fakta-fakta biologis. Fenomenologi menolak pandangan reduksionisme itu (melihat manusia sebagai fakta objektif) dan menolak pandangan yang menyamakan manusia dengan alam. Pandangan seperti ini disebut Husserl dengan “naturalisme”. Naturalisme adalah pandangan filosofis yang menjadi sikap ilmiah positivisme yang melihat segala sesuatu sebagai alam yang diatur oleh hukum-hukum alam secara universal. Positivisme menggunakan metode empiris-matematis, suatu metode yang mengabstraksikan alam lalu menanggap hasil abstraksi itu sebagai realitas objektif (realitas apa adanya). Salah satu konsekuensi dari naturalisme adalah suatu sikap yamg memandang semua hukum dan prinsip yang mengatur kegiatan berpikir manusia sebagai “fenomena fisis” semata.
Fenomenologi Husserl
a.         Epache
Seperti yang sudah dikemukakan, epache adalah salah satu konsep penting dalam fenomenologi Husserl. Apa arti epache ini? Atau dalam maksud apa istilah ini digunakan oleh Husserl?. Spielberg mengemukakan beberapa langkah metode fenomenologis. Pertama, mengintuisi; kedua, menganalisis; ketiga, menjabarkan. “Mengintuisi” adalah mengonsentrasikan atau merenungkan secara penuh (intens) fenomena. Sementara itu, “menganalisis”adalah mencari atau menemukan unsur-unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena.
b.         Reduksi
Seperti dikemukakan tadi, rpache bertuuan agar keterangan yang tampak dalam fenomena tersebut benar-benar asli atau tidak terlebih dahulu dicampuri oleh presuposisi pengamat. Dengan kata lain, dapat dikatakan, epache merupakan sebuah “metode penundaan” asumsi-asumsi atas fenomena (realita) agar memperoleh hakikat. Dan dalam rangka memunculkan hakikat tersebut, maka epache mengisyaratkan (reduksi-reduksi) atau penyaringan-penyaringan tertentu. Menurut Husserl ada tiga reduksi yang dapat digunakan, ketiga reduksi tersebut ialah (1) Reduksi fenomenologis, (2) reduksi eidetis, dan (3) reduksi transendental. Di dalam tabel berikut disajikan tentang ketiga reduksi tersebut.
c.         Intensionalitas
Kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu, demikian ujar Husserl. Dengan kata lain, kesadaran selalu terarah pada suatu objek. Kesadaran yang selalu terarah pada suatu objek, inilah yang dimaksud dengan istilah intensionalitas itu (intensionalitas berasal dri bahasa Latin yakni intendere yang mengandung arti “mengarah kepada” atau “keterarahan”).
d.         Lebenswelt     
Apa yang dimaksud dengan Lebenswelt? Lebenswelt adalah dunia sebagaimana kita atau saya hayati (dunia-pengalaman/ dunia yang dihayati/dunia sehari-hari). Lebenswelt itu atau dunia yang dihayati itu bukanlah mengacu kepada “dunia nyata” yang sudah dikategorikan oleh kategori-kategori filosofis atau ilmiah seperti umpamanya yang terdapat pada pandangan idealisme maupun realisme.
X
A.        Rasionalisme Kritis Karl R. Popper
Karl Raimund Popper lahir di Wina tanggal 28 Juli 1902. Ayahnya Dr. Simon Siegmund Carl Popper adalah seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Maka tidak mengherankan bila ia begitu tertarik dengan dunia filsafat, karena ayahnya telah mengkoleksi buku-buku karya filusuf-filusuf ternama.

Pada usia 16 tahun ia keluar dari sekolahnya, Realgymnasium, dengan alasan Ia bosan dengan pelajaran disana maka ia menjadi pendengar bebas di Universitas Wina dan baru pada tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa disana.

Setelah perang dunia I dimana begitu banyak penindasan dan pembunuhan maka Popper terdorong untuk menulis sebuah karangan tentang kebebasan. Dan diusia 17 tahun ia menjadi anti Marxis karena kekecewaannya pada pendapat yang menghalalkan “segala cara” dalam melakukan revolusi termasuk pengorbanan jiwa. Dimana pada saat itu terjadi pembantaian pemuda yang beraliran sosialis dan komunis dan banyak dari teman-temannya yang terbunuh. Dan sejak saat itu ia menarik suatu kebijaksanaan yang diungkapkan oleh Socrates yaitu “Saya tahu bahwa saya tidak tahu”, dan dari sini ia menyadari dengan sungguh-sungguh perbedaan antara pemikiran dogmatis dan kritis.

Dimana Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan bahwa teorinya tak dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini sangat berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu mencari verifikasi terhadap teori-teori kesayangannya.

Dari peristiwa ini Popper menyimpulkan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari pembenaran-pembenaran melainkan tes yangcrucial berupa pengujian yang dapat menyangkal teori yang diujinya, meskipun tak pernah dapat meneguhkannya.
Dalam perkembangan selanjutnya ia banyak menulis buku-buku yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan epistemologi, dan sampai pada bukunya yang berjudul Logik der Forschung, ia mengatakan bahwa pengetahuan tumbuh lewat percobaan dan pembuangan kesalahan. Dan terus berkembang sampai karyanya yang berjudul The Open Society and Its Enemies, dalam karyanya ini Popper mengungkapkan bahwa arti terbaik “akal” dan “masuk akal” adalah keterbukaan terhadap kritik – kesediaan untuk dikritik dan keinginan untuk mengkritik diri sendiri.

Dari sini Popper menarik kesimpulan bahwa menghadapkan teori-teori pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya adalan satu-satunya cara yang tepat untuk mengujinya dan juga satu-satunya cara yang menungkinkan ilmu pengetahuan bisa berkembang terus menerus. Dan dengan adanya kemungkinan untuk menguji teori tentang ketidakbenarannya berarti teori itu terbuka untuk di kritik dan ia memunculkan apa yang dinamakan Rasionalisme kritis. Demikianlah sekelumit kehidupan Karl Raimund Popper yang mengakhiri hidupnya pada tahun 1994.
B.        Rasionalisme Rene Descartes (1596-1650)
Aliran filsafat yang berasal dari Descartes biasanya disebut Rasionalisme, karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat ide-ide dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas diluar rasio. Dalam memahami aliran rasionalisme, kita harus memperhatikan dua masalah utama yang keduanya diwarisi dari Descartes. Pertama, masalah substansi, kedua, masalah hubungan antar jiwa dan tubuh.

Rene Descartes adalah tokoh filsafat abad modern, bahkan dialah pendiri dan pelopor utamanya. Ada perbedaan penting antara filsafat abad pertengahan sampai abad modern. Perbedaan tersebut bukanlah dilihat dari segi dikotomi mundur dan maju seperti halnya pada dunia ilmu pengetahuan. Perbedaan keduanya lebih sering dilihat dari sudut ciri khasnya masing-masing. Filsafat abad pertengahan bercirikan sinkretasi antara akal dan wahyu, antara rasio dengan agama, dengan kecenderungan untuk mencari pembenaran-pembenaran terhadap keyakinan yang kuat akan adanya Tuhan dengan melalui jalan tasawuf yang yang berpuncak pada ma’rifat yakni pengetahuan intuisif.

Corgito ergo sum inilah yang dianggap sebagai fase yang paling penting dalam filsafat Descartes yang disebut sebagai filsafat kebenaran yang pertama (primum philosophium). Aku sebagai sesuatu yang berpikir adalah suatu substansi yang seluruh tabiat dan hakikatnya terdiri dari pikiran dan untuk berada tidak memerlukan suatu tempat atau sesuatu yang bersifat bendawi. Prinsip bahwa kebenaran yang pasti ialah yang jelas dan terpilah-pilah, menurut B. Williams merupakan problem sentral dan sekaligus inti filsafat Descartes. Selanjutnya, Rene Descartes mengajarkan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga “ide bawaan”. Ide bawaan ini sudah ada sejak lahir, yaitu pemikiran, Allah, dan keluasan.
a.         Pemikiran, Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran itu merupakan hakikat saya.
b.         Allah. Allah sebagai wujud yang sama sekali sempurna. Karena saya mempunyai ide “sempurna”, pasti ada sesuatu penyebab sempurna untuk ide tersebut karena akibat tidak dapat melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain hanyalah Allah.
c.         Keluasan, Saya mengerti materi sebagai keluasan atau eksistensi, sebagaimana yang dilukiskan dan dipelajari oleh para ahli ilmu ukur.
XI
A.        Biografi Thomas S. Kuhn
Thomas Samuel Kuhn lahir pada tanggal 18 Juli 1922 di Cincinnati, Oiho, Amerika Serikat. Thomas Kuhn merupakan filsuf pada era abad ke-20. Pada tahun 1949 Kuhn mendapat gelar Ph.D dalam bidang ilmu fisika di Havard University. Di universitas Harvad, ia diangkat menjadi asisten dosen bidang pendidikan umum dan sejarah ilmu. Kemudian pada tahun 1956, Kuhn mendapat tawaran menjadi dosen sejarah sains di Universitas California.  Tahun 1964, ia mendapat gelar Guru Besar dari Princenton University dalam bidang sains dan filsafat. Selanjutnya, tahun 1983 ia dianugerahi sebagai professor dari Massachusetts Institude of University.
B.        Metode Ilmiah Thomas S. Kuhn
Thomas Kuhn adalah seorang filsuf sains yang menekankan pentingnya sejarah sains dalam perkembangan sains. Dengan sejarah sains ilmuwan akan memahami kenyataan sains dan aktifitas sains yang sesungguhnya. Namun demikian ia tidak sependapat dengan pandangan yang mengemukakan bahwa perkembangan sains bersifat evousioner dalam mendekati kebenaran, dalam ati perkembangan sains itu bersifat akumulatif. Hal ini terjadi karena bagi Thomas Kuhn perkembangan itu bersifat tidak sinambung dan tidak dapat diperbandingkan antara satu teori dengan teori lainnya.
Thomas Kuhn berpendapat bahwa perkembangan sains bersifat revolusioner karena bagi Kuhn sejarah itu bersifat tidak sinambung dan perkembangan sains ditandai dengan lompatan-lompatan revolusi ilmiah.
Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru. Dengan perubahan paradigma ini, cara pandang ilmuwan dalam menentukan masalah , menetapkan metode dan teknik, dan penarikan kesimpulan terhadap kenyataan alam akan berbeda dari sebelumnya. Revolusi ilmiah terjadi karena adanya persepsi ilmuwan terhadap kekurangan paradigma yang dianutnya dalam memecahkan masalah realitas alam. Semua ilmu menggunakan paradigma tertentu yang diyakini dapat membantu memecahkan masalah alamiah.
C.        Paradigma Saintifik
Salah satu yang menjadi konsep sentral dalam kajian Kuhn terhadap sejarah perkembangan ilmu pengetahuan adalah paradigma.  Namun sayangnya, Kuhn tidak menguraikan dengan begitu jelas apa yang dimaksud dengan paradigma. Menurut Margaret Masterman, Kuhn menggunakan konsep paradigma tersebut sekurang-kurangnya dalam dua puluh satu cara yang berbeda-beda. Secara harfiah, istilah paradigma sebenarnya berasal dari bahasa Yunani; para yang berarti di samping atau di sebelah dan diegma/dekynai yang berarti memperlihatkan, yakni model, contoh, arketipe, atau ideal.
D.        Sejarah Revolusi Sains
Dalam analisis Kuhn, pada fase paradigma setiap fenomena alam selalu ditafsirkan melalui kumpulan kepercayaan teoretis dan metodologis yang saling berjalin. Jika sekumpulan kepercayaan itu belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia harus dipasok di luar, barang kali oleh metafisika pada saat itu, oleh sains yang lain, atau oleh kejadian personal dan historis.
Fase paradigma bisa dilihat dari era klasik hingga akhir abad ke-17 dimana tidak ada periode yang memperlihatkan suatu pandangan tersendiri yang diterima secara umum. Sebaliknya ada sejumlah aliran dan subaliran yang bersaingan, kebanyakan diantara mereka mendukung satu sama lain varian teori Epicuros, teori Aristoteles, atau teori Plato. Setiap aliran yang bersesuaian memperoleh kekuatan dari hubungannya dengan metafisika tertentu, dan masing-masing menekankan, seperti pengamatan paradigma, kelompok gejala optis tertentu yang paling baik diterangkan oleh teorinya sendiri. Pengamatan-pengamatan yang lain ditangani dengan uraian khusus yang panjang lebar, atau dibiarkan menjadi masalah yang belum selesai bagi riset selanjutnya.
E.        Paradigma dan Revolusi dalam Wacana Pendidikan
Yang penulis maksud dengan wacana pendidikan di sini bukan masalah pendidikan secara makro, atau sistem kelembagaan pendidikan secara luas, tetapi lebih terfokus pada teori belajar yang diinspirasikan oleh paradigma dan revolusi sains. Istilah paradigma identik dengan “skema” dalam teori belajar. Skema adalah suatu struktur mental atau kognisi yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema ini akan beradaptasi dan berubah seiring perkembangan mental anak. Perubahan skema ini bisa mengambil bentuk asimilasi atau akomodasi. Asimilasi merupakan proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya.
XII
A.        Pengertian Hermeneutika
Istilah hermeneutika secara longgar dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat mengenai interprestasi makna. Dengan membuka webster Dictionary, istilah ini terungkap pula dalam bahasa inggris hermeneutics yang berarti ilmu penafsiran, atau menangkap makna kata-kata dan ungkapan pengarang, serta menjelaskannya kepada orang lain. Sedangkan secara eimologis, akar hermeneutika berasal dari bahasa Yunani dengan kata kerja hermeneuein yang berarti “Menafsirkan” dan kata benda hermeneia yang secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau intreprestasi.istilah Yunani tersebut dinisbahkan kepada tokoh mitiologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan jupiter kepada manusia.
B.        Sejarah dan Perkembangan Hermeneutika
Statemen yang menyatakan “man is an interpreter being” (manusia adalah makhluk penafsir), mengindikasikan bahwa sejarah hermeneutika sebagai problem penafsiran, usianya setua manusia itu sendiri. Aristoteles sudah memperbincangkan hermeneutika dalam karya besarnya, organon, peri hermeneies, yang dialihkan ke dalam bahasa inggris menjadi on interpretation. Juga sudah disinggung oleh Plato dalam karyanya Oedipus at Colonus.  Hermeneutika sudah dimulai sejak era Hermes atau Nabi Idris sebagai pioner filsuf yang memulai penulisan. Dalam perspektif Richard Palmer, jika ditinjau secara historis-sosiologis, setidaknya terdapat enam tipologi hermeneutika.
C.        Tokoh Hermeneutika dan Pemikirannya
Friedrich Schleiermacher, lahir di Breslau Selatan Polandia (1768-1834). Dia seorang peletak dasar hermeneutika modern sekitar dua abad lalu. Ayahnya seorang pendeta reformasi yang dipengaruhi oleh gerakan pietisme. Schleiermacher sangat terkenal di zamannya. Schleiermacher terpilih jadi dekan pertama Universitas Berlin dan dosen etika serta exegese (hermeneutika) perjanjian baru, dogmatika dan filsafat. Schleiermacher dijuluki sebagai bapak Teologi Modern sekaligus sebagai bapak Hermeneutika Modern. Schleiermacher mencoba menggunakan hermeneutika untuk memberikan pengertian terhadap berbagai masalah teologi yang sebelumnya dihindari oleh gereja yakni pertannyaan sekitar validitas catatan-catatan sejarah dan al-Kitab; penjelasan tentang realitas dan fenomena alam; tentang otoritas agama mengatur kehidupan; tentang keabsahan klaim-klaim agama atas kemurnian wahyu yang mereka terima di tengah pluralitas agama di india.

D.        Tiga Paradigma Hermeneutika Kontemporer
1.         Hermeneutika Teoretis
Hermeneutika teoretis setidaknya dicetuskan oleh Friedrich Schleiermacher. Sebagai perintis hermeneutika teoretis. Schleiermacher menawarkan dua pendekatan : interpretasi gramatis dan interpretasi psikologis. Untuk mengakses makna teks, seorang penafsir (hermeneut) membutuhkan dua kompetensi, yakni kompetensi linguistik dan kemampuan dalam mengakses alam kemanusiaan (dimensi psikologis pengarang). Kompetensi linguistik sendirian tidaklah cukup, karena manusia tidak dapat mengenali wilayah bahasa yang non-definitif. Begitu pula kompetensi dalam mengakses alam kemanusiaan tidak memadai, sebab kompetensi ini tidak pernsh sempurna.
2.         Hermeneutika Filosofis
Menurut teori ini. Pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya. Baik itu berupa tradisi, kultur maupun pengalaman hidup. Karena itu pada saat menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus atau seyoginya sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa sangat mewarnai pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafirkan. Lebih lanjut Gadaner mengatakan “seseorang (harus) belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak”

3.         Hermeneutika Kristis Habermas dan Apel
Filsuf-filsuf hermeneutika kritis yang sangat terkenal dalam menuliskan pemikiran-pemikiran hermeneutisnya diantaranya adalah Karl Otto Apel dan jurgen Habermas. Apel menampilkan wawasan yang agak berbeda dengan para tokoh hermeneutika sebelumnya.
 Apel misalnya melampui Gadamer tentang historisitas pemahaman, bahwa pemahaman dapat membawa seorang penafsir kepada kepastian kebenaran yang kritis asalkan saja ia mengikuti prinsip regulatif yaitu berusaha membangun persetujuan unniversal dalam sebuh kerangka komunitas intepretator yang tidak terbatas cakupannya. Dengan kata lain prinsip regulatif merupakan suatu prinsip pemikiran yang selalu berupaya melakukan perbaikan dan penyempurnaan seiring dengan perubahan ruang dan waktu tanpaasan. Meski manusia pada dasarnya tidak sempurna dan percepatan penyelesaian problem melalui indenfikasi objek-objek pembuktian dalil-dalil.

No comments:

Post a Comment