Wednesday 13 June 2018

manusia adalah makhluk penafsir filsafat Hermeneutik


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hermeneutika
Istilah hermeneutika secara longgar dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat mengenai interprestasi makna. Dengan membuka webster Dictionary, istilah ini terungkap pula dalam bahasa inggris hermeneutics yang berarti ilmu penafsiran, atau menangkap makna kata-kata dan ungkapan pengarang, serta menjelaskannya kepada orang lain. Sedangkan secara eimologis, akar hermeneutika berasal dari bahasa Yunani dengan kata kerja hermeneuein yang berarti “Menafsirkan” dan kata benda hermeneia yang secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau intreprestasi.istilah Yunani tersebut dinisbahkan kepada tokoh mitiologis yang bernama Hermes, yaitu seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan jupiter kepada manusia.[1]
Sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika mulai dipakai (dalam konteks ilmu pengetahuan klasik) yaiyi untuk menafsirkan makna yang terkandung dalam kitab suci, dokumen,jurispudensi dan juga teks-teks kuno. Prinspip Hermeneutika waktu itu adalah menjelaskan,menafsirkan dan menerjemahkan. Dalam perkembangan selanjutnya, hermeneutika tidak saja digunakan sebagai metode menafsirkan teks arab suci. Pada masa Renaisas metode hermeneutika diunakan dalam rangka mempelajari kembali kebudayaan Yunani dan Romawi Klasik. Kini hermeunitika berkembang sebagai metode keagamaan, karya seni, sastra,sejaeah psikologi (psikoanalisa) dan lain-lain. Jadi hermeneutika adalah metode analisis tentang segala sesuatu yang mengandung makna.[2]
B.     Sejarah dan Perkembangan Hermeneutika
Statemen yang menyatakan “man is an interpreter being” (manusia adalah makhluk penafsir), mengindikasikan bahwa sejarah hermeneutika sebagai problem penafsiran, usianya setua manusia itu sendiri. Aristoteles sudah memperbincangkan hermeneutika dalam karya besarnya, organon, peri hermeneies, yang dialihkan ke dalam bahasa inggris menjadi on interpretation. Juga sudah disinggung oleh Plato dalam karyanya Oedipus at Colonus.[3] Hermeneutika sudah dimulai sejak era Hermes atau Nabi Idris sebagai pioner filsuf yang memulai penulisan. Dalam perspektif Richard Palmer, jika ditinjau secara historis-sosiologis, setidaknya terdapat enam tipologi hermeneutika.

Pertama, sejarah perkembangan hermeneutika khususnya hermeneutika atas teks-teks dapat ditelusuri dalam sejarah teologis dan lebih umum lagi, sejarah pemikiran teologis Yudeo-Kristiani. Dalam tradisi agama Yahuditafsir atas teks-teks Taurat (Tora), dilakukan oleh para ahli kitab, yaitu mereka yang membuktikan hidupnya untuk mempelajari dan menafsirkan hukum-hukum agama. Selain para ahli kitab, dalam masyarakat Yahudi juga muncul tokoh-tokoh tafsir lainnya, yaitu para Nabi.
Selanjutnya masalah hermeneutika teks-teks kitab suci mulai jelas dalam abad-abad pertama masehi. Orang-orang kristen mencoba memberikan dua macam penafsiran. Penafsiran simbolis dan penafsiran harfiah. Kedua macam hermeneutika ini tampil dalam kontroversi antara mazhab Antiokia dan mazhab Alesandria. Puncak permasalahan hermeneutika teks kitab suci  agama kristen terjadi pada zaman reformasi. Agama kristen terpecah karena perbedaan prinsip-prinsip hermeneutis.
Kedua, hermenutika sebagai metodologi filologis. Pada abad ke-17 dan ke-18, hermeneutika dipakai untuk menafsirkan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi) di samping kitab suci.[4] Hermeneutika dalam tradisi Barat, pada abad ke-18, muncul dua mazhab, mazhab transendental dan mazhab historis-psikologis.
Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Baru pada akhie abad ke-18 sekaligus menjelang abad ke-19, Friedrich Schleiermacher berusaha memasukkan pertimbangan epistemologis ke dalam wacana metodologis sebagai pendekatan pertama dalam sejarah hermeneutika.[5]
Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Wilhelm Dilthey merupakan salah satu filsuf besar pada akhir abad ke-19 yang mewakili cara kerja hermeneutika sebagai fondasi metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan. Hermeneutika merupakan inti disiplin metodologi yang dapat melayani sebagai fondasi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan yang mencakup semua disiplin ilmu yang memfokuskan pada ranah pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia. Dia membedakan pengetahuan tentang alam dengan ilmu pengetahuan tentang manusia. Dilthey menawarkan metode Erklarn (ilmu alam) dan Verstehen (ilmu sosial).
Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi Desain dan pemahaman eksistensial. Level ini diwakili oleh Martin Heidegger dan murid cemerlangnya Hans-Georg Gadamer. Martin meminjam metode fenomenologi dari gurunya “Edmund Husserl” dan menggunakannya terhadap cara berada keseharian manusia di dunia. Studi ini sekarang diakui sebagai masterwork-nya dan sebagai kunci memahami secara jelas pemikirannya. Dia menyebut analisisnya yang dipresentasikan dalam karya Being and Time (1927), sebagai “hermeneutika Desain”.
Keenam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran. Dalam penertian terakhir ini, hermeneutika menjadi sebuah teori tentang seperangkat aturan yang menentukan suatu interprestasi terhadap berbagai teks. Ricoeur  sangat berperan dengan menyuguhkan suatu sistem interprestasi yang sangat kaya, sistematis, dan juga complicated.

C.    Tokoh Hermeneutika dan Pemikirannya
Friedrich Schleiermacher, lahir di Breslau Selatan Polandia (1768-1834). Dia seorang peletak dasar hermeneutika modern sekitar dua abad lalu. Ayahnya seorang pendeta reformasi yang dipengaruhi oleh gerakan pietisme. Schleiermacher sangat terkenal di zamannya. Schleiermacher terpilih jadi dekan pertama Universitas Berlin dan dosen etika serta exegese (hermeneutika) perjanjian baru, dogmatika dan filsafat. Schleiermacher dijuluki sebagai bapak Teologi Modern sekaligus sebagai bapak Hermeneutika Modern. Schleiermacher mencoba menggunakan hermeneutika untuk memberikan pengertian terhadap berbagai masalah teologi yang sebelumnya dihindari oleh gereja yakni pertannyaan sekitar validitas catatan-catatan sejarah dan al-Kitab; penjelasan tentang realitas dan fenomena alam; tentang otoritas agama mengatur kehidupan; tentang keabsahan klaim-klaim agama atas kemurnian wahyu yang mereka terima di tengah pluralitas agama di india.
Sementara itu, penelitian Schleiermacher mulai dengaan penemuannya bahwa teks Injil tidak sama dengan tulisan-tulisan teologi sistematika. Baginya teks tersebut merupakan hasil dari pemikiran kreatif manusia yang berespons terhadap situasi tertentu dalam kehidupannya. Atas dasar ini para teolog pada abad ke-19 menegaskan bahwa untuk memahami sebuah teks kita harus melihat konteks kehidupan sang penulis. Kita harus menelusuri teks itu sampai pada pemikiran penulis teks tersebut.[6]
D.    Tiga Paradigma Hermeneutika Kontemporer
Dalam perspektif Josef Bleicher, paling tidak terdapat tiga tipologi hermeneutika kontemporer yaitu hermeneutika teoretis (hermeneutical theory) hermeneutika filosofis (philosophical herneneutic), dan hercmeneutika kritis (critical hermeneuti).
1.      Hermeneutika Teoretis
Hermeneutika teoretis setidaknya dicetuskan oleh Friedrich Schleiermacher. Sebagai perintis hermeneutika teoretis. Schleiermacher menawarkan dua pendekatan : interpretasi gramatis dan interpretasi psikologis. Untuk mengakses makna teks, seorang penafsir (hermeneut) membutuhkan dua kompetensi, yakni kompetensi linguistik dan kemampuan dalam mengakses alam kemanusiaan (dimensi psikologis pengarang). Kompetensi linguistik sendirian tidaklah cukup, karena manusia tidak dapat mengenali wilayah bahasa yang non-definitif. Begitu pula kompetensi dalam mengakses alam kemanusiaan tidak memadai, sebab kompetensi ini tidak pernsh sempurna.
Kedua aspek ini menurut Schleiermacher dianggap tepat sebagai titik pangkal memahami teks. Karenanya seseorang harus berpegang pada dua aspek tersebut. Yang hubungan keduanya disebut hubungan dialektis. Semakin lengkap pemahaman seseorang atas suatu bahasa dan aspek psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Komponen keduanya membentuk keberhasilannya dalam bidang seni interpretasi.
Menurut gadamer inilah yang merupakan kontribusi spesifik Schleiermacher dalam ranah hermeneutika, sebuah proses divinatori (adivinatory process) sebuah penempatan seorang interpretator ke dalam pikiran pengarang, sebuah pemahaman tentan asal usul batin, sebuah komposisi karya, sebuah penciptaan kembali tindakan kreatif, sehingga pemahaman menjadi sebuah reproduksi yang berkaitan dengan produksi.
2.      Hermeneutika Filosofis
Menurut teori ini. Pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya. Baik itu berupa tradisi, kultur maupun pengalaman hidup. Karena itu pada saat menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus atau seyoginya sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa sangat mewarnai pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafirkan. Lebih lanjut Gadaner mengatakan “seseorang (harus) belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap pemahaman, baik dia sadar atau tidak”
Demikian pula tidak ada suatu pemahaman yang berpijak pada sebuah konteks historis yang bersifat partikular. Mengikuti konsep heidegger tentang manusia sebagai desain,Gadamer menekankan bahwa seorang manusia sudah selalu dalam situasi, yakni situasi di sini eksitensi seorang manusia sudah senantiasa manusia yang berada di dunia dan tidak adacara lagi bagi manusia untuk menghilangkan situasi historikal-kulturalnya dari setiap pemahamannya terhadap sesuatu.
Dengan menyadari setiap kegiatan pemahaman kita selalu berada dalam bahasa dan berada dalam bahasa dan selalu berada di dalam kondisi historikal-kultural tertentu, maka setiap penafsiran yang kita lakukan pasti dipengaruhi sejarah kehidupan kita. Untuk mengetahui probem keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah, sebagaimana diakui oleh gadamer. Pesan dan teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu mengatasi subjektivitasnya ketika ia menafsirkan pada sebuah teks.

3.      Hermeneutika Kristis Habermas dan Apel
Filsuf-filsuf hermeneutika kritis yang sangat terkenal dalam menuliskan pemikiran-pemikiran hermeneutisnya diantaranya adalah Karl Otto Apel dan jurgen Habermas. Apel menampilkan wawasan yang agak berbeda dengan para tokoh hermeneutika sebelumnya.
 Apel misalnya melampui Gadamer tentang historisitas pemahaman, bahwa pemahaman dapat membawa seorang penafsir kepada kepastian kebenaran yang kritis asalkan saja ia mengikuti prinsip regulatif yaitu berusaha membangun persetujuan unniversal dalam sebuh kerangka komunitas intepretator yang tidak terbatas cakupannya. Dengan kata lain prinsip regulatif merupakan suatu prinsip pemikiran yang selalu berupaya melakukan perbaikan dan penyempurnaan seiring dengan perubahan ruang dan waktu tanpaasan. Meski manusia pada dasarnya tidak sempurna dan percepatan penyelesaian problem melalui indenfikasi objek-objek pembuktian dalil-dalil.[7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah hermeneutika secara longgar dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat mengenai interprestasi makna. Dengan membuka webster Dictionary, istilah ini terungkap pula dalam bahasa inggris hermeneutics yang berarti ilmu penafsiran, atau menangkap makna kata-kata dan ungkapan pengarang, serta menjelaskannya kepada orang lain.
Statemen yang menyatakan “man is an interpreter being” (manusia adalah makhluk penafsir), mengindikasikan bahwa sejarah hermeneutika sebagai problem penafsiran, usianya setua manusia itu sendiri. setidaknya terdapat enam tipologi hermeneutika.
Pertama, sejarah perkembangan hermeneutika khususnya hermeneutika atas teks-teks kitab suci. Kedua, hermenutika sebagai metodologi filologis. Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi Desain dan pemahaman eksistensial. Keenam, hermeneutika sebagai sistem penafsiran. Dalam penertian terakhir ini, hermeneutika menjadi sebuah teori tentang seperangkat aturan yang menentukan suatu interprestasi terhadap berbagai teks.
Friedrich Schleiermacher sebagai bapak Teologi Modern sekaligus sebagai bapak Hermeneutika Modern. Menegaskan bahwa untuk memahami sebuah teks kita harus melihat konteks kehidupan sang penulis. Kita harus menelusuri teks itu sampai pada pemikiran penulis teks tersebut.
Terdapat tiga paradigma hermeneutika kontemporer. Pertama hermeneutika teoritis, sebuah pemahaman tentan asal usul batin, sebuah komposisi karya, sebuah penciptaan kembali tindakan kreatif, sehingga pemahaman menjadi sebuah reproduksi yang berkaitan dengan produksi. Kedua hermeneutika filosofis, Pemahaman seorang penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupinya. Ketiga Hermeneutika Kristis Habermas dan Apel, pemahaman dapat membawa seorang penafsir kepada kepastian kebenaran yang kritis asalkan saja ia mengikuti prinsip regulatif yaitu berusaha membangun persetujuan unniversal dalam sebuh kerangka komunitas intepretator yang tidak terbatas cakupannya.

Daftar Pustaka
  Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 2015, PT. RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 244.
  Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, 2014, PT. RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 182
  Ibid, hlm. 12
  K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-jerman (Jakarta: Gramedia, 2002). Hlm. 257.
  Josef Bleicher, Contemoprary Hermeneutics, hlm. 13.
  Dr. Akhyar Yusuf Lubis, filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer(Jakarta: Raja Wali Pers, 2014). Hlm.184-186
  Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 2015, PT. RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 251-266


[1] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 2015, PT. RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 244.
[2] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, 2014, PT. RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 182
[3] Ibid, hlm. 12
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-jerman (Jakarta: Gramedia, 2002). Hlm. 257.
[5] Josef Bleicher, Contemoprary Hermeneutics, hlm. 13.
[6] Dr. Akhyar Yusuf Lubis, filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer(Jakarta: Raja Wali Pers, 2014). Hlm.184-186
[7] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 2015, PT. RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 251-266

No comments:

Post a Comment