BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hermeneutika
Istilah hermeneutika secara longgar
dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat mengenai interprestasi
makna. Dengan membuka webster Dictionary, istilah ini terungkap pula dalam
bahasa inggris hermeneutics yang berarti ilmu penafsiran, atau menangkap makna
kata-kata dan ungkapan pengarang, serta menjelaskannya kepada orang lain.
Sedangkan secara eimologis, akar hermeneutika berasal dari bahasa Yunani dengan
kata kerja hermeneuein yang berarti “Menafsirkan” dan kata benda hermeneia yang
secara harfiah dapat diartikan sebagai penafsiran atau intreprestasi.istilah
Yunani tersebut dinisbahkan kepada tokoh mitiologis yang bernama Hermes, yaitu
seorang utusan yang mempunyai tugas menyampaikan pesan jupiter kepada manusia.[1]
Sebagai sebuah metode penafsiran,
hermeneutika mulai dipakai (dalam konteks ilmu pengetahuan klasik) yaiyi untuk
menafsirkan makna yang terkandung dalam kitab suci, dokumen,jurispudensi dan
juga teks-teks kuno. Prinspip Hermeneutika waktu itu adalah
menjelaskan,menafsirkan dan menerjemahkan. Dalam perkembangan selanjutnya,
hermeneutika tidak saja digunakan sebagai metode menafsirkan teks arab suci.
Pada masa Renaisas metode hermeneutika diunakan dalam rangka mempelajari
kembali kebudayaan Yunani dan Romawi Klasik. Kini hermeunitika berkembang
sebagai metode keagamaan, karya seni, sastra,sejaeah psikologi (psikoanalisa)
dan lain-lain. Jadi hermeneutika adalah metode analisis tentang segala sesuatu
yang mengandung makna.[2]
B. Sejarah dan Perkembangan Hermeneutika
Statemen
yang menyatakan “man is an interpreter being” (manusia adalah makhluk
penafsir), mengindikasikan bahwa sejarah hermeneutika sebagai problem
penafsiran, usianya setua manusia itu sendiri. Aristoteles sudah
memperbincangkan hermeneutika dalam karya besarnya, organon, peri hermeneies,
yang dialihkan ke dalam bahasa inggris menjadi on interpretation. Juga sudah
disinggung oleh Plato dalam karyanya Oedipus at Colonus.[3]
Hermeneutika sudah dimulai sejak era Hermes atau Nabi Idris sebagai pioner
filsuf yang memulai penulisan. Dalam perspektif Richard Palmer, jika ditinjau
secara historis-sosiologis, setidaknya terdapat enam tipologi hermeneutika.
Pertama,
sejarah perkembangan hermeneutika khususnya hermeneutika atas teks-teks dapat
ditelusuri dalam sejarah teologis dan lebih umum lagi, sejarah pemikiran
teologis Yudeo-Kristiani. Dalam tradisi agama Yahuditafsir atas teks-teks
Taurat (Tora), dilakukan oleh para ahli kitab, yaitu mereka yang membuktikan
hidupnya untuk mempelajari dan menafsirkan hukum-hukum agama. Selain para ahli
kitab, dalam masyarakat Yahudi juga muncul tokoh-tokoh tafsir lainnya, yaitu
para Nabi.
Selanjutnya
masalah hermeneutika teks-teks kitab suci mulai jelas dalam abad-abad pertama
masehi. Orang-orang kristen mencoba memberikan dua macam penafsiran. Penafsiran
simbolis dan penafsiran harfiah. Kedua macam hermeneutika ini tampil dalam
kontroversi antara mazhab Antiokia dan mazhab Alesandria. Puncak permasalahan
hermeneutika teks kitab suci agama
kristen terjadi pada zaman reformasi. Agama kristen terpecah karena perbedaan
prinsip-prinsip hermeneutis.
Kedua,
hermenutika sebagai metodologi filologis. Pada abad ke-17 dan ke-18,
hermeneutika dipakai untuk menafsirkan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi) di
samping kitab suci.[4]
Hermeneutika dalam tradisi Barat, pada abad ke-18, muncul dua mazhab, mazhab
transendental dan mazhab historis-psikologis.
Ketiga,
hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Baru pada akhie abad ke-18
sekaligus menjelang abad ke-19, Friedrich Schleiermacher berusaha memasukkan
pertimbangan epistemologis ke dalam wacana metodologis sebagai pendekatan
pertama dalam sejarah hermeneutika.[5]
Keempat,
hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Wilhelm
Dilthey merupakan salah satu filsuf besar pada akhir abad ke-19 yang mewakili cara
kerja hermeneutika sebagai fondasi metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan.
Hermeneutika merupakan inti disiplin metodologi yang dapat melayani sebagai
fondasi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan yang mencakup semua disiplin ilmu yang
memfokuskan pada ranah pemahaman seni, aksi dan tulisan manusia. Dia membedakan
pengetahuan tentang alam dengan ilmu pengetahuan tentang manusia. Dilthey
menawarkan metode Erklarn (ilmu alam) dan Verstehen (ilmu sosial).
Kelima,
hermeneutika sebagai fenomenologi Desain dan pemahaman eksistensial. Level ini diwakili
oleh Martin Heidegger dan murid cemerlangnya Hans-Georg Gadamer. Martin
meminjam metode fenomenologi dari gurunya “Edmund Husserl” dan menggunakannya
terhadap cara berada keseharian manusia di dunia. Studi ini sekarang diakui
sebagai masterwork-nya dan sebagai kunci memahami secara jelas pemikirannya.
Dia menyebut analisisnya yang dipresentasikan dalam karya Being and Time
(1927), sebagai “hermeneutika Desain”.
Keenam,
hermeneutika sebagai sistem penafsiran. Dalam penertian terakhir ini,
hermeneutika menjadi sebuah teori tentang seperangkat aturan yang menentukan
suatu interprestasi terhadap berbagai teks. Ricoeur sangat berperan dengan menyuguhkan suatu
sistem interprestasi yang sangat kaya, sistematis, dan juga complicated.
C.
Tokoh
Hermeneutika dan Pemikirannya
Friedrich Schleiermacher, lahir di
Breslau Selatan Polandia (1768-1834). Dia seorang peletak dasar hermeneutika
modern sekitar dua abad lalu. Ayahnya seorang pendeta reformasi yang
dipengaruhi oleh gerakan pietisme. Schleiermacher sangat terkenal di zamannya.
Schleiermacher terpilih jadi dekan pertama Universitas Berlin dan dosen etika
serta exegese (hermeneutika) perjanjian baru, dogmatika dan filsafat. Schleiermacher
dijuluki sebagai bapak Teologi Modern sekaligus sebagai bapak Hermeneutika
Modern. Schleiermacher mencoba menggunakan hermeneutika untuk memberikan
pengertian terhadap berbagai masalah teologi yang sebelumnya dihindari oleh
gereja yakni pertannyaan sekitar validitas catatan-catatan sejarah dan
al-Kitab; penjelasan tentang realitas dan fenomena alam; tentang otoritas agama
mengatur kehidupan; tentang keabsahan klaim-klaim agama atas kemurnian wahyu
yang mereka terima di tengah pluralitas agama di india.
Sementara itu, penelitian
Schleiermacher mulai dengaan penemuannya bahwa teks Injil tidak sama dengan
tulisan-tulisan teologi sistematika. Baginya teks tersebut merupakan hasil dari
pemikiran kreatif manusia yang berespons terhadap situasi tertentu dalam
kehidupannya. Atas dasar ini para teolog pada abad ke-19 menegaskan bahwa untuk
memahami sebuah teks kita harus melihat konteks kehidupan sang penulis. Kita
harus menelusuri teks itu sampai pada pemikiran penulis teks tersebut.[6]
D.
Tiga Paradigma Hermeneutika Kontemporer
Dalam perspektif Josef Bleicher,
paling tidak terdapat tiga tipologi hermeneutika kontemporer yaitu hermeneutika
teoretis (hermeneutical theory) hermeneutika filosofis (philosophical herneneutic),
dan hercmeneutika kritis (critical hermeneuti).
1.
Hermeneutika Teoretis
Hermeneutika teoretis setidaknya
dicetuskan oleh Friedrich Schleiermacher. Sebagai perintis hermeneutika
teoretis. Schleiermacher menawarkan dua pendekatan : interpretasi gramatis dan
interpretasi psikologis. Untuk mengakses makna teks, seorang penafsir
(hermeneut) membutuhkan dua kompetensi, yakni kompetensi linguistik dan
kemampuan dalam mengakses alam kemanusiaan (dimensi psikologis pengarang).
Kompetensi linguistik sendirian tidaklah cukup, karena manusia tidak dapat mengenali
wilayah bahasa yang non-definitif. Begitu pula kompetensi dalam mengakses alam
kemanusiaan tidak memadai, sebab kompetensi ini tidak pernsh sempurna.
Kedua aspek ini menurut
Schleiermacher dianggap tepat sebagai titik pangkal memahami teks. Karenanya
seseorang harus berpegang pada dua aspek tersebut. Yang hubungan keduanya
disebut hubungan dialektis. Semakin lengkap pemahaman seseorang atas suatu
bahasa dan aspek psikologi pengarang, akan semakin lengkap pula
interpretasinya. Komponen keduanya membentuk keberhasilannya dalam bidang seni
interpretasi.
Menurut gadamer inilah yang
merupakan kontribusi spesifik Schleiermacher dalam ranah hermeneutika, sebuah
proses divinatori (adivinatory process) sebuah penempatan seorang interpretator
ke dalam pikiran pengarang, sebuah pemahaman tentan asal usul batin, sebuah
komposisi karya, sebuah penciptaan kembali tindakan kreatif, sehingga pemahaman
menjadi sebuah reproduksi yang berkaitan dengan produksi.
2.
Hermeneutika Filosofis
Menurut teori ini. Pemahaman seorang
penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang
melingkupinya. Baik itu berupa tradisi, kultur maupun pengalaman hidup. Karena
itu pada saat menafsirkan sebuah teks seorang penafsir harus atau seyoginya
sadar bahwa dia berada pada posisi tertentu yang bisa sangat mewarnai
pemahamannya terhadap sebuah teks yang sedang ditafirkan. Lebih lanjut Gadaner
mengatakan “seseorang (harus) belajar memahami dan mengenali bahwa dalam setiap
pemahaman, baik dia sadar atau tidak”
Demikian pula tidak ada suatu
pemahaman yang berpijak pada sebuah konteks historis yang bersifat partikular.
Mengikuti konsep heidegger tentang manusia sebagai desain,Gadamer menekankan
bahwa seorang manusia sudah selalu dalam situasi, yakni situasi di sini
eksitensi seorang manusia sudah senantiasa manusia yang berada di dunia dan
tidak adacara lagi bagi manusia untuk menghilangkan situasi
historikal-kulturalnya dari setiap pemahamannya terhadap sesuatu.
Dengan menyadari setiap kegiatan
pemahaman kita selalu berada dalam bahasa dan berada dalam bahasa dan selalu
berada di dalam kondisi historikal-kultural tertentu, maka setiap penafsiran
yang kita lakukan pasti dipengaruhi sejarah kehidupan kita. Untuk mengetahui
probem keterpengaruhan ini memang tidaklah mudah, sebagaimana diakui oleh
gadamer. Pesan dan teori ini adalah bahwa seorang penafsir harus mampu
mengatasi subjektivitasnya ketika ia menafsirkan pada sebuah teks.
3.
Hermeneutika Kristis Habermas dan Apel
Filsuf-filsuf hermeneutika kritis
yang sangat terkenal dalam menuliskan pemikiran-pemikiran hermeneutisnya
diantaranya adalah Karl Otto Apel dan jurgen Habermas. Apel menampilkan wawasan
yang agak berbeda dengan para tokoh hermeneutika sebelumnya.
Apel misalnya melampui Gadamer tentang
historisitas pemahaman, bahwa pemahaman dapat membawa seorang penafsir kepada
kepastian kebenaran yang kritis asalkan saja ia mengikuti prinsip regulatif
yaitu berusaha membangun persetujuan unniversal dalam sebuh kerangka komunitas
intepretator yang tidak terbatas cakupannya. Dengan kata lain prinsip regulatif
merupakan suatu prinsip pemikiran yang selalu berupaya melakukan perbaikan dan
penyempurnaan seiring dengan perubahan ruang dan waktu tanpaasan. Meski manusia
pada dasarnya tidak sempurna dan percepatan penyelesaian problem melalui
indenfikasi objek-objek pembuktian dalil-dalil.[7]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Istilah
hermeneutika secara longgar dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau
filsafat mengenai interprestasi makna. Dengan membuka webster Dictionary,
istilah ini terungkap pula dalam bahasa inggris hermeneutics yang berarti ilmu
penafsiran, atau menangkap makna kata-kata dan ungkapan pengarang, serta
menjelaskannya kepada orang lain.
Statemen yang
menyatakan “man is an interpreter being” (manusia adalah makhluk penafsir),
mengindikasikan bahwa sejarah hermeneutika sebagai problem penafsiran, usianya
setua manusia itu sendiri. setidaknya terdapat enam tipologi hermeneutika.
Pertama,
sejarah perkembangan hermeneutika khususnya hermeneutika atas teks-teks kitab
suci. Kedua, hermenutika sebagai metodologi filologis. Ketiga, hermeneutika
sebagai ilmu pemahaman linguistik. Keempat, hermeneutika sebagai fondasi
metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Kelima, hermeneutika sebagai
fenomenologi Desain dan pemahaman eksistensial. Keenam, hermeneutika sebagai
sistem penafsiran. Dalam penertian terakhir ini, hermeneutika menjadi sebuah
teori tentang seperangkat aturan yang menentukan suatu interprestasi terhadap
berbagai teks.
Friedrich
Schleiermacher sebagai bapak Teologi Modern sekaligus sebagai bapak
Hermeneutika Modern. Menegaskan bahwa untuk memahami sebuah teks kita harus
melihat konteks kehidupan sang penulis. Kita harus menelusuri teks itu sampai
pada pemikiran penulis teks tersebut.
Terdapat
tiga paradigma hermeneutika kontemporer. Pertama hermeneutika teoritis, sebuah
pemahaman tentan asal usul batin, sebuah komposisi karya, sebuah penciptaan
kembali tindakan kreatif, sehingga pemahaman menjadi sebuah reproduksi yang
berkaitan dengan produksi. Kedua hermeneutika filosofis, Pemahaman seorang
penafsir ternyata dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang
melingkupinya. Ketiga Hermeneutika Kristis Habermas dan Apel, pemahaman dapat
membawa seorang penafsir kepada kepastian kebenaran yang kritis asalkan saja ia
mengikuti prinsip regulatif yaitu berusaha membangun persetujuan unniversal
dalam sebuh kerangka komunitas intepretator yang tidak terbatas cakupannya.
Daftar
Pustaka
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 2015, PT.
RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 244.
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, 2014, PT.
RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 182
Ibid, hlm. 12
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer
Inggris-jerman (Jakarta: Gramedia, 2002). Hlm. 257.
Josef Bleicher, Contemoprary Hermeneutics,
hlm. 13.
Dr. Akhyar Yusuf Lubis, filsafat Ilmu: Klasik
Hingga Kontemporer(Jakarta: Raja Wali Pers, 2014). Hlm.184-186
Zaprulkhan, Filsafat Ilmu, 2015, PT.
RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 251-266
[1] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu,
2015, PT. RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 244.
[2] Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu, 2014, PT. RajaGrafindo Persada,
Depok, hlm. 182
[3] Ibid, hlm. 12
[4] K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Inggris-jerman (Jakarta:
Gramedia, 2002). Hlm. 257.
[5] Josef Bleicher, Contemoprary Hermeneutics, hlm. 13.
[6] Dr. Akhyar Yusuf Lubis, filsafat Ilmu: Klasik Hingga
Kontemporer(Jakarta: Raja Wali Pers, 2014). Hlm.184-186
[7] Zaprulkhan, Filsafat Ilmu,
2015, PT. RajaGrafindo Persada, Depok, hlm. 251-266
No comments:
Post a Comment