MAKALAH FILSAFAT ILMU
TENTANG
“REVOLUSI SAINS”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Filsafat Ilmu”
DOSEN
PENGAMPU :
Moch.
Muwaffiqillah, S.IP, M.Fil.I
PROGRAM STUDI
KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
JURUSAN
USHULUDDIN
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2016/2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan taufik dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Revolusi Sains”.
Sholawat
teriring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah yang terang benderang.
Tujuan
dibuatnya makalah ini diharapkan agar dijadikan sebagai wawasan kita terhadap
mata kuliah “Filsafat Ilmu” sesuai dengan tema kami angkat kami telah berusaha
demi keberhasilan dan kesempurnaan makalah ini. Namun, kami merasa masih
terlalu banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon kritikan dan saran yang
membangun baik dari dosen pembimbing maupun dari rekan-rekan mahasiswa.
Tidak
lupa kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini, semoga dengan apa yang ada dalam
makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Amin...
Kediri, 06 Desember 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penulisan
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
perkembangan filsafat ilmu dalam
memahami beberapa kerangka teori keilmuwan dan paradigma keilmuwan, terdapat beberapa filsuf yang terkenal karena
hasil pemikiran dan karyanya berpengaruh terhadap perkembangan suatu ilmu.
Istilah paradigma menjadi begitu popular setelah diperkenalkan oleh tokoh
filsafat terkenal Thomas S. Kuhn melalui bukunya The Structure of Scientific
Revolution, University of ChicagoPress, Chicago,1962 yang membahas mengenai
Filsafat Sains. Dalam buku tersebut juga mengemukakan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan bukanlah terjadi secara kumulatif melainkan terjadi secara relatif.
Model perkembangan ilmu pengetahuan menurut Kuhn adalah: Paradigma I(Normal
Science,Anomalies &Crisis,Revolusi).
Khun
menjelaskan bahwa Paradigma merupakan suatu cara pandang, nilai-nilai,
metode-metode,prinsip dasar atau memecahkan sesuatu masalah yang dianut oleh
suatu masyarakat ilmiah pada suatu tertentu. Kuhn melihat adanya
kesalahan-kesalahan fundamental tentang konsep ilmu terutama ilmu sains yang
telah dielaborasi oleh kaum filsafat ortodoks, sebuah konsep ilmu yang dengan
membabi-buta mempertahankan dogma-dogma yang diwarisi dari Empirisme dan
Rasionalisme klasik.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka
kami perlu merumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini,
diantaranya:
1.
Siapakah Thomas S. Kuhn ?
2.
Bagaimana metode ilmiah Thomas S. Kuhn ?
3.
Apa yang dimaksud dengan paradigma saintifik ?
4.
Bagaimana sejarah revolusi sains ?
5.
Bagaimana Paradigma dan Revolusi dalam Wacana Pendidikan
?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui Siapakah Thomas S. Kuhn
2.
Untuk mengetahui metode ilmiah Thomas S. Kuhn
3.
Untuk mengetahui sejarah revolusi sains
4.
Untuk mengetahui pemikiran
dan tahapan proses Teori Revolusi Paradigma Thomas S. Kuhn
5.
Untuk mengetahui Paradigma dan Revolusi dalam Wacana Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Thomas S. Kuhn
Thomas Samuel Kuhn lahir pada tanggal 18 Juli 1922 di
Cincinnati, Oiho, Amerika Serikat. Thomas Kuhn merupakan filsuf pada era abad
ke-20. Pada tahun 1949 Kuhn mendapat gelar Ph.D dalam bidang ilmu fisika di
Havard University. Di universitas Harvad, ia diangkat menjadi asisten dosen
bidang pendidikan umum dan sejarah ilmu. Kemudian pada tahun 1956, Kuhn
mendapat tawaran menjadi dosen sejarah sains di Universitas California.[1] Tahun
1964, ia mendapat gelar Guru Besar dari Princenton University dalam bidang
sains dan filsafat. Selanjutnya, tahun 1983 ia dianugerahi sebagai professor
dari Massachusetts Institude of University.
Dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa
Thomas Khun ialah salah seorang filsuf sains yang menekankan pentingnya sejarah
sains dalam perkembangan sains.[2] Khun
merupakan tokoh yang beraliran analitis, minat utama pemikirannya terletak pada
filsafat sains, dan ia memiliki gagasan utama yaitu pergeseran paradigma.
Pemikiran dari Thomas Kuhn dipengaruhi oleh beberapa tokoh, antara lain :
Immanuel Kant, Alexandre Koyre, Michael Polanyl, J.H.V. Vieck Gaston Bachelard,
Jean Piaget, Bertrand Russell, dan Karl Popper. Pemikirannya tentang filsafat
sains mempengaruhi tokoh-tokoh yang muncul berikutnya, seperti Paul Feyerabend,
Imre Lakatos, dan Richard Rorty. Thomas Kuhn meninggal dunia pada tanggal 17
Juni 1996 (umur 73 tahun) di Cambridge, Messachusetts karena menderita penyakit
kanker selama beberapa tahun sebelumnya. Adapun karya dari Thomas Kuhn yang
sangat popular yaitu The Structure of Scientific Revolutions. Buku ini telah
diterjemahkan dalam 16 bahasa yang kemudian menjadi sebuah buku yang
direkomendasikan menjadi bahan bacaan dalam proses pembelajaran.[3]
B.
Metode Ilmiah Thomas S. Kuhn
Thomas Kuhn adalah seorang filsuf
sains yang menekankan pentingnya sejarah sains dalam perkembangan sains. Dengan
sejarah sains ilmuwan akan memahami kenyataan sains dan aktifitas sains yang
sesungguhnya. Namun demikian ia tidak sependapat dengan pandangan yang
mengemukakan bahwa perkembangan sains bersifat evousioner dalam mendekati
kebenaran, dalam ati perkembangan sains itu bersifat akumulatif. Hal ini
terjadi karena bagi Thomas Kuhn perkembangan itu bersifat tidak sinambung dan
tidak dapat diperbandingkan antara satu teori dengan teori lainnya.
Thomas Kuhn berpendapat bahwa
perkembangan sains bersifat revolusioner karena bagi Kuhn sejarah itu bersifat
tidak sinambung dan perkembangan sains ditandai dengan lompatan-lompatan
revolusi ilmiah.
Revolusi ilmiah merupakan proses
peralihan dari paradigma lama ke paradigma baru. Dengan perubahan paradigma
ini, cara pandang ilmuwan dalam menentukan masalah , menetapkan metode dan
teknik, dan penarikan kesimpulan terhadap kenyataan alam akan berbeda dari sebelumnya.
Revolusi ilmiah terjadi karena adanya persepsi ilmuwan terhadap kekurangan
paradigma yang dianutnya dalam memecahkan masalah realitas alam. Semua ilmu
menggunakan paradigma tertentu yang diyakini dapat membantu memecahkan masalah
alamiah.
Saat ini ilmuwan menjadikan
paradigma sebagai pedoman dalam melakukan aktifitas ilmiahnya. Namun demikian,
dalam perkembangannya mereka menemukan anomaly sehingga timbul krisis
kepercayaan ilmuwan terhadap valditas paradigma yang dipercaya. Karena itu para
ilmuwan mencari paradigma baru yang dapat membantu aktifitas yang lebih memadai
dari paradigma seebelumnya.Setelah melalui kompetisi berbagai paradigma
kemudian diperoleh satu paradigma sebagai kesepakatan ilmuwan untuk dipakai
dalam kerja ilmiahnya. Proses revolusi intelektual dan sains menurut Kuhn
bersifat revolusioner. Revolusi ilmiah merupakan proses peralihan dari
paradigma lama ke paradigma baru dalam dari para ilmuwan, dan proses terjadinya
revolusi ilmiah bermula dari digunakannya suatu paradigma dalam masa sains
normal.
Kemudian dalam kenyataan terdapat
anomaly yang merupakan kesenjangan antara paradigma yang berlaku dan fenomena.
Dengan menumpuknya anomaly, kemudian timbul krisis yangmengakibatkan para
ilmuwan meninggalkan paradigma baru yang disepakati para ilmuwan.[4]
C.
Paradigma
Saintifik
Salah satu yang menjadi konsep sentral dalam kajian
Kuhn terhadap sejarah perkembangan ilmu pengetahuan adalah paradigma.[5] Namun
sayangnya, Kuhn tidak menguraikan dengan begitu jelas apa yang dimaksud dengan
paradigma. Menurut Margaret Masterman, Kuhn menggunakan konsep paradigma
tersebut sekurang-kurangnya dalam dua puluh satu cara yang berbeda-beda. Secara
harfiah, istilah paradigma sebenarnya berasal dari bahasa Yunani; para
yang berarti di samping atau di sebelah dan diegma/dekynai yang berarti
memperlihatkan, yakni model, contoh, arketipe, atau ideal. Dari makna tekstual
ini, paradigma memiliki beberapa pengertian sebagai berikut:
1.
Cara
memandang sesuatu
2.
Dalam ilmu
pengetahuan: model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomen yang dipandang,
dijelaskan
3.
Totalitas
premis-premis teoretis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan
suatu studi ilmiah konkret. Dan ini melekat di dalam praktik ilmiah pada tahap
tertentu.
4.
Dasar untuk
menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[6]
Konsep paradigma tersebut semakin menemukan
momentumnya dalam sentuhan Kuhn yang menjadi semacam kacamata bagi para ilmuwan
dalam melakukan penjelajahan saintifiknya. Meskipun Kuhn tidak mendefinisikan
paradigma secara ketat dan baku, paradigma juga dapat membantu untuk membedakan
antara satu komunitas ilmiah tertentu dari komunitas yang lain. Paradigma dapat
digunakan untuk membedakan antara komunitas ilmiah fisika dari kimia atau
sosiologi dari psikologi. Masing-masing bidang ini mempunyai paradigma yang
berlainan. Paradigma pun dapat digunakan untuk membedakan antara periode
historis yang berlainan dalam perkembangan ilmu tertentu. Paradigma mendominasi
fisika awal abad ke-20.
George Ritzer menurunkan pengertian paradigma Kuhn
sebagai gambaran fundamental mengenai masalah pokok dalam ilmu tertentu.
Paradigma membantu dalam menentukan apa yang mesti dikaji, pertanyaan apa yang
harus diikuti dalam menafsirkan jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah unit
konsensus terluas dalam bidang ilmu tertentu dan membantu membedakan satu
komunitas ilmiah (atau subkomunitas) tertentu dari komunitas ilmiah yang lain. Paradigma
menggolongkan, menetapkan, dan menghubungkan eksemplar, teori, metode, dan
instrumen yang ada didalamnya.
Dari berbagai varian definisi paradigma di atas,
meskipun setiap paradigma dapat menyuplai wawasan-wawasan, juga dapat menjadi
sesuatu yang membutakan: paradigma mengatur kita untuk melihat beberapa hal dan
sekaligus juga menghindarkan kita dari hal-hal lain.[7] Di
sini, paradigma menjadi cara kita melihat dunia, the way we see the world.
Karena itulah, kita tidak pernah bisa menanggalkan subjektivitas kita dalam
memandang dunia; we see the world, not as it is, but as we are, kita
melihat dunia, bukan sebagaimana dunia adanya, melainkan sebagaimana kita
adanya, sebagaimana siapa kita sebenarnya.
Konsekuensinya, Kuhn menentang klaim bahwa ilmu
pengetahuan mengumpulkan pengetahuan dengan cara yang sepenuhnya objektif,
hanya berhubungan dengan fakta-fakta dan menyingkirkan penilaian.
Argumentasinya adalah bahwa produksi kebenaran ilmiah selalu dipengaruhi oleh
gaya dan tren, oleh politik dan digunakannya kekuasaan, dan pilihan tentang apa
yang seharusnya diketahui dan apa yang seharusnya tidak, sama seperti
bentuk-bentuk dari produksi manusia. Tentu saja, daya tarik ilmu pengetahuan
bagi proyek modernitas adalah klaimnya yang berbeda dari bentuk-bentuk
pengetahuan yang lain, hanya berkaitan dengan fakta-fakta, memberikan bukti
yang dapat didemonstrasikan, dan memberikan kemampuan bagi pengetahuan
tertentu. Sebagai akibatnya, argumen Kuhn merepresentasi pembinasaan
besar-besaran landasan teoritis modernis yang selama ini mapan.
Ia mengklaim bahwa suatu kajian tentang sejarah
ilmu-ilmu alamiah menunjukkan bagaimana suatu proses seleksi yang
berbasis-nilai selalu terjadi-bahwasanya ilmuwan tidak hanya harus memilih fenomena
mana yang harus diteliti, tetapi juga mereka juga harus memilih suatu
pendekatan teoritis untuk melakukan penelitian tersebut. Selanjutnya, kata Kuhn,
pilihan-pilihan ini selalu dilakukan dalam konteks-konteks sosial; selalu ada
pengaruh-pengaruh sosial dan politik yang memengaruhi bagaimana ilmuwan melaksanakan
pekerjaan mereka. Ia menguraikan hal ini dengan argumen bahwa setiap
pengetahuan ilmiah diproduksi dari dalam suatu tradisi tertentu, atau yang
disebut paradigma, yang menentukan penelitian apa yang dilakukan dan
bagaimana dilaksanakan. Ilmuwan niscaya termasuk dalam salah satu dari tradisi
ini; karya ilmiah selalu terjadi dalam salah satu paradigma.
Sejarah suatu ilmu pengetahuan adalah sejarah bangun
dan jatuhnya paradigma-paradigma. Untuk suatu masa mungkin hanya satu paradigma
yang menonjol, dan setiap gagasan yang mengancamnya akan disingkirkan dari
pusat panggung. Pada masa seperti itu, karya ilmiah mengambil bentuk yang
disebut Kuhn sebagai “ilmu normal”; hampir semua karya ilmuwan bekerja di dalam
paradigma dominan itu, dan cara pandang yang berbeda dalam memandang dunia
dianggap aneh. Dalam hal ini, paradigma dominan menjalankan kekuasaan dan
melestarikan dominasi itu sebagai ‘dogma’.[8]
D.
Sejarah
Revolusi Sains
Dalam
analisis Kuhn, pada fase paradigma setiap fenomena alam selalu ditafsirkan
melalui kumpulan kepercayaan teoretis dan metodologis yang saling berjalin.
Jika sekumpulan kepercayaan itu belum lengkap pengumpulan faktanya, maka ia
harus dipasok di luar, barang kali oleh metafisika pada saat itu, oleh sains
yang lain, atau oleh kejadian personal dan historis.[9]
Fase
paradigma bisa dilihat dari era klasik hingga akhir abad ke-17 dimana tidak ada
periode yang memperlihatkan suatu pandangan tersendiri yang diterima secara
umum. Sebaliknya ada sejumlah aliran dan subaliran yang bersaingan, kebanyakan
diantara mereka mendukung satu sama lain varian teori Epicuros, teori
Aristoteles, atau teori Plato. Setiap aliran yang bersesuaian memperoleh
kekuatan dari hubungannya dengan metafisika tertentu, dan masing-masing
menekankan, seperti pengamatan paradigma, kelompok gejala optis tertentu yang
paling baik diterangkan oleh teorinya sendiri. Pengamatan-pengamatan yang lain
ditangani dengan uraian khusus yang panjang lebar, atau dibiarkan menjadi
masalah yang belum selesai bagi riset selanjutnya.
Baru
kemudian pada abad ke-18, melalui karya Benjamin Franklin dan penerusnya,
muncul suatu teori yang dapat menerangkan sesuatu seperti kemudahan yang sama
bagi hampir semua afek ini dan bahwa karena itu dapat dan memang menghasilkan
generasi elektrisian berikutnya dengan paradigma bersama bagi risetnya. Menurut
Kuhn, supaya diterima sebagai paradigma, sebuah teori memang harus tampak lebih
baik daripada saingannya, tetapi tidak perlu dan memang tidak pernahmenerangkan
semua fakta yang dapat dihadapkan kepadanya.
Dari
sinilah kemudian fase praparadigma memasuki tahapan paradigma awal. Proses
munculnya suatu paradigma adalah melalui proses kompetisi antara berbagai macam
teori yang pernah muncul. Hanya teori yang terbaik saja yang akan dapat
diterima sebagai suatu paradigma oleh komunitas ilmiah. Suatu paradigma yang
telah disepakati oleh komunitas ilmiah, karena keunggulannya dalam
menyelesaikan problem ilmiah, akan menjadi fondasi bagi munculnya normal science. Normal science terdiri dari suatu paradigma saja. Karena apabila
terdiri dari banyak paradigma, akan berakibat tumpang tindih dan tidak menjadi normal science lagi.
Menurut
Kuhn, sejarah membuktikan bahwa tidak ada suatu paradigma yang sempurna
menjawab semua problem ilmiah. Problem-problem ilmiah yang tidak mampu
diselesaikan oleh suatu paradigma oleh Kuhn disebut dengan anomaly. Jadi,
menurut Kuhn, anomaly appears only againts the background provide by the
paradigm. Anomali muncul karena paradigma lama telah tidak mampu lagi menjawab
problem-problem ilmiah yang muncul belakangan.
Seiring
dengan perkembangan fakta inilah, problem yang tidak dapat diselesaikan oleh
paradigma itu semakin menumpuk. Tumpukan anomali ini akhirnya berwujud menjadi
sebuah krisis. Krisis adalah suatu fase dimana old-normal science yang
dilandasi oleh old paradigm telah sempoyongan dalam menyelesaikan problem
ilmiah baru.
Pada
abad ke 16 rekan kerja copernicus, Domenico Da Novara, berpendapat bahwa tidak
ada sistem yang begitu tidk praktis dan tidak cermat seperti yang dikemudian
terjadi dengan sistem Ptolemaeus jika itu mungkin benar sistem alam. Pada
sekitar awal abad ke 16 semakin banyak astronom Eropa terbaik yang mengakui
bahwa paradigma astronomi itu tidak berhasil diterapkan pada masalah-masalah
tradisionalnya sendiri. Lalu pada abad ke 19 muncul teori relativitas. Salah
satua akar krisis dapat ditelusuri sampai kepada akhir abad ke 17 ketika
sejumlah filosof kealaman, terutama sekali Leibniz, mengkritik versi yang
diutakhirkan dari konsepsi klasik tentang ruang absolut yang dipertahankan oleh
newton.
Teori
sains atau paradigma lama ditinggalkan bukan karena kurang ilmiah dibandingan
yang baru, melainkan karena dianggap tidak sesuai lagi untuk memecahkan
masalah. Istilah yang dipakai oleh Khun untuk menyebut ketidak rasionalan ini
adalah incommensurable atau incommensurability. Proses dari normal sains lama
hingga munculnya norma sains baru, kemudian disusul norma sains yang lebih baru
lagi, daan seterusnya dipahami oleh Khun yang tak pernah berakhir dan inilah
yang menghasilkan perkembangan ilmiah (sceintific progress).[10]
Dengan demikian perkembangan ilmiah menurut Khun tidak berjalan
akumulatif-evolusioner, tapi non akumulatifrevolusioner. Alasan Khun adalah
bahwa perubahan paradigma lama ke paradigma baru atau dari normal sains lama ke
normal sains baru berlangsung secara radikal, yang satu mematikan yang lain.
Paradigma
lama, setelah tidak mampu digantiakan oleh paradigma baru yang sama sekali
berbeda dari paradigma lama (incommensurable).[11]
Normal sains lama setelah sempoyongan diambil alih oleh normal sains baru yang
lama mati, karena munculnya yang baru, jadi bukan yang lama membimbing yang
baru tapi yang lama “ditendang” oleh
yang baru. Inilah yang disebut oleh Khun dengan The Scientific Revolution.
E. Paradigma
dan Revolusi dalam Wacana Pendidikan
Yang penulis maksud dengan wacana pendidikan di sini bukan
masalah pendidikan secara makro, atau sistem kelembagaan pendidikan secara
luas, tetapi lebih terfokus pada teori belajar yang diinspirasikan oleh
paradigma dan revolusi sains. Istilah paradigma identik dengan “skema” dalam
teori belajar. Skema adalah suatu struktur mental atau kognisi yang dengannya
seseorang secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. Skema
ini akan beradaptasi dan berubah seiring perkembangan mental anak. Perubahan
skema ini bisa mengambil bentuk asimilasi atau akomodasi. Asimilasi merupakan
proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep atau
pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya.
Dalam menghadapi rangsangan atau pengalaman yang baru yang
tidak sesuai dengan skema yang ada (data anomali), ada kalanya seseorang tidak
dapat mengasimilasikan pengalaman yang baru itu dengan skema yang ia miliki.
Pengalaman yang baru ini bisa jadi sama sekali tidak cocok dengan paradigma yang
ada. Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan mengadakan akomodasi, yaitu
membentuk skema baru yang dapat sesuai dengan rangsangan yang baru, atau
memodifikasi skema yang ada sehingga sesuai dengan data anomali itu. Inilah yang
disebut revolusi skema.[12]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kuhn mengingatkan kita bahwa ada
soal penelitian dalam rasionalitas ilmiah itu yang sebetulnya sangat ambigu.
Ilmu pengetahuan di dunia berkaitan dengan paradigma. Cara ilmuwan memandang
dunia menentukan dunia macam apa yang dilihatnya itu. Jadi pengetahuan ilmiah
sama sekali bukanlah jiplakan atau foto kopi realitas, melainkan realitas hasil
konstruksi manusia. Dan bahwa paradigma yang mendasari konstruksi itu diterima
oleh komunitas para ilmuwan, bukan karena ilmuwan itu tahu bahwa itu benar,
melainkan karena mereka percaya bahwa itu yang terbaik, yang paling menjanjikan
bila digunakan dalam riset-riset selanjutnya.
Kuhn telah berjasa besar, terutama
dalam mendobrak citra filsafat ilmu sebagai logika ilmu, dan mengangkat citra
bahwa ilmu adalah suatu kenyataan yang punya kebenaran seakan-akan sui-generis,
obyektif. Di samping itu teori yang dibangun Kuhn mempunyai implikasi yang
sangat luas dalam bidang-bidang keilmuan yang beraneka ragam. Selama lebih dari
dua dekade, gagasan Kuhn tentang paradigma menjadi bahan diskusi dalam wacana
intelektual, sejumlah kajian kritis, baik yang mendukung maupun yang menentang,
berkembang dalam berbagai kancah disiplin keilmuan, hampir semua cabang
keilmuan menyampaikan respon lewat berbagai versi yang dianggap cukup mewakili
nuansa pemikiran yang selama ini berkembang dalam disiplin ilmu masing-masing.
Paradigma sebagai kosa kata, menjadi wacana tersendiri, baik pada level teori
maupun praksis. Kata tersebut seolah menjadi sesuatu yang hidup, tumbuh dan
berkembang.
B.
Saran
Sebagai seorang mahasiswa yang
mempelajari filsafat ilmu, penting untuk mengetahui teori-teori dan metode
ilmiah pemikiran para tokoh agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang
kefilsafatan. Makalah ini terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata
sempurna, untuk itu saran dan kritik yang membangun penulis harapkan demi
perbaikan makalah ini di waktu yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Moh. Muslih. 2010. Filsafat Ilmu (Yogyakarta:Penerbit)
Latif, Mukhtar. 2014. Orientasi
Kearah Pahaman Filsafat Ilmu (Jakarta:Kencana)
Drs. Rizal Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir M.Hum. 2012. Filsafat
Ilmu (Yogyakarta:Pustaka Jaya)
Prof.Dr.Mukhtar Latif, M.Pd. 2014. Orientasi ke Arah Pemahaman
Filsafat Ilmu (Jakarta:Kencana)
Sr. Zaprulkhan, M.S.I. 2016. Filsafat Ilmu Sebuah Analisis
Kontemporer (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada)
Bagus, Lorens. 2002. Kamus Filsafat (Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama)
Macrone, Michael. 2008. 80 Ide Hebat yang Mengubah Dunia,
Terj. M. Kahfi (Yogyakarta:Pustaka Baca)
Pip Jones. 2009. Pengantar Teori-Teori Sosial, Terj. Achmad
Fedyani Saifudin (Jakarta:Obor)
Thomas S. Kuhn. 2002. The Structure of Scientific Revolutions,
Terj. Tjun Surjaman (Bandung:Rosda Karya)
[1] Moh. Muslih,
Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Penerbit Belukar, 2010) Cet.6. Hlm. 125
[2] Mukhtar Latif,
Orientasi Kearah Pahaman Filsafat Ilmu,
(Jakarta:Kencana, 2014) hlm 138-139
[3] Drs. Rizal
Mustansyir M.Hum dan Drs. Misnal Munir M.Hum, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Pustaka
Jaya, 2012), hlm 125
[4]
Prof.Dr.Mukhtar Latif, M.Pd,Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat
Ilmu,(Jakarta:Kencana,2014),hlm.138
[5] Sr.
Zaprulkhan, M.S.I, Filsafat Ilmu Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta:PT
RajaGrafindo Persada, 2016) Cet.2. Hlm. 155
[6] Lorens Bagus,
Kamus Filsafat (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2002), Hlm. 779
[7] Michael
Macrone, 80 Ide Hebat yang Mengubah Dunia, Terj. M. Kahfi (Yogyakarta:Pustaka
Baca, 2008) Hlm. 147
[8] Pip Jones,
Pengantar Teori-Teori Sosial, Terj. Achmad Fedyani Saifudin (Jakarta:Obor,
2009) Hlm 207-208
[9] Thomas S.
Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Terj. Tjun Surjaman
(Bandung:Rosda Karya, 2002) Hlm. 16
[10] Muhyar Fanani,
Pudarnya Pesona Ilmu Agama, op.cit., hlm. 31
[11] Ibid., hlm. 33
[12] Peterl.
Berger, Langit Suci (Agama sebagai kreatifitas Sosial). LP3S Jakarta 1991
No comments:
Post a Comment