Pengertian Fenomenologi dan Perbedaan Fenomenologi Kant dan Hegel
dengan Husserl
Istilah fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon dan logos.
Kata fenomenon berarti sesuatu yang menggejala, yang menampakkan diri,
sedangkan istilah logos berarti ilmu. Jadi, fenomenologi berarti ilmu
tentang fenomena atau pembahasan tentang sesuatu yang menampakkan diri. Dengan
demikian, semua wilayah fenomena (realita) yang menampakkan diri (manusia,
gejala sosial-budaya atau objek-objek lain) dapat dapat dikatakan sebagai objek
fenomenologi.
Dilihat dari kemunculan istilah fenomenologi, sebelum istilah itu
dipergunakan oleh Husserl, istilah fenomenologi sebelumnya telah digunakan oleh
Immanuel Kant (1724-1804) dan George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Kant
misalnya mengemukakan istilah fenomena dan noumena. Fenomena pada Kant mengacu
pada apa yang tampak, dan sesuatu yang tampak itu dapat dipahami dan
dimengerti. Fenomena merupakan hasil kontruksi subjek yang mengetahui terhadap
objek (fenomenon) yang diketahui. Di sini Kant membedakan fenomena dengan
noumena. Fenomena sebagai realita yang dapat diketahui, dapat diobservasi,
sedangkan noumena adalah hakikat realitas yang berada di balik fenomena
(metafisik). Karena noumena itu berada di luar jangkauan pengamatan, maka
menurut Kant, kita tidak dapat memahaminya sebab tidak ada jalan masuk indrawi
ke noumena itu. Jadi, fenomenologi pada Kant adalah bentuk epistemologi yang
meyakini kemungkinan untuk mengetahui senomena saja dan bukan noumena (das Ding
an sich). Konsekuensi pandangan ini: segala sesuatu yang berada di luar
jangkauan pengamatan langsung dianggap berada di luar kajian (wilayah) ilmu
pengetahuan. Adapun pada Kant kesadaran dianggap tertutup dan terisolir dari
realitas, tidak terkait dengan faktor sosial-historis. Dengan demikian,
kesadaran mengenal diri sendiri dan melalui itu pulalah cara saya atau kita
mengenal realitas.
Sementara itu, Hegel mengemukakan istilah fenomenologi melalui
bukunya The Phenomenology of Spirit (1806). Bagi Hegel, seluruh fenomena
hanyalah penampakan diri dari akal yang tidak terbatas (Roh Absolut). Dalam
pandangan idealisme Hegel, seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya,
sesungguhnya tetap disadarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (giest
atau spirit). Hegel menekankan adanya hubungan antara esensi (hakikat)
dengan penampakan (fenomena) yang teramati. Bagi Hegel, tidak ada pertentangan
antara fenomena dengan noumena, tidak ada pertentangan antara yang dapat
diamati (empiris) dengan yang dapat dipikirkan secara rasional. Tesis Hegel yang paling terkenal adalah,
“yang nyata” adalah sama dengan “yang dipikirkan” atau “pikiran sama dengan
kenyataan” (Copleston, 1963: 197).
Adapun pengertian fenomenologi Husserl sama sekali berbeda dengan
pengertian Immanuel Kant dan Hegel. Berikut akan kita bahas fenomenologi
Husserl sekaligus riwayat hidup, karya, dan beberapa pemikirannya yang lain.
Riwayat Hidup Singkat Edmund Husserl
Enmund Husserl (1859-1938) lahir di kota kecil Prohitz daerah
Moravia yang waktu itu di bawah kekaisaran Austria. Hongaria dan sejak Perang
Dunia I masuk wilayah Cekoslowakia. Husserl berasaldari golongan Yahudi
menengah dan pada usia 27 tahun masuk protestan karena pengaruh temannya yakni
G. Alberch. Husserl belajar matematika, Filsafat dan astronomi di Universitas
Leipzig, Berlin, dan Wina. Minat pada filsafat tumbuh sewaktu Husserl mengikuti
kuliah-kuliah Franz Brentano pada tahun 1884-1886. Saat itu, Brentano merupakan
filsuf paling berpengaruh di universitas tempat Husserl belajar dan Brentano
dalam pemikirannya mengupayakan menggabungkan pemikiran skolastik dengan
empirisme. Kelak pengaruh pemikiran Brentano pada Husserl terlihat pada konsep
internasionalisme yang menjadi salah satu pemikiran penting dari Husserl.
Husserl meraih gelar Doktor Filsafat dengan disertai mengenai
filsafat matematik. Husserl kemudian menjadi dosen privat di Universitas Halle
dari tahun 1887-1901. Tahun 1901 Husserl diangkat menjadi profesor di Gottingen
(1901-1916) dan waktu inilah tentang fenomenologi mencapai kematangan. Setelah
tahun 1916, Husserl memenuhi undangan menjadi frofesor di Universitas Freiburg
im Breisgau. Pemikiran Husserl (khususnya fenomenologi) melalui tulisan-tulisan
yang memengaruhi fisafat abad ke-20 dengan sangat mendalam.
Karya-karya Husserl
Selama hidupnya, Husserl banyak menulis naskah-naskah (50.000
lembar tulisan) mengenai fenomenologi namun sedikit yang diterbitkan pada waktu
hidupnya. Adapun tulisan-tulisan pribadi Husserl disimpan di Universitas Leuven
(Belgia) (karena khawatir diambil/dibakar oleh Nazi). Tulisan-tulisannya yang
dibukukan antara lain:
1.
Logishe Untursuchungen (Penelitian tentang Logika), terdiri dari
dua jilid (1900-1901).
2.
Ideen zu einer Reinen Phanomenologie und Phanomenologischen
Philosophie (Gagasan-gagasan tentang Fenomenologi Murni dan Filsafat
Fenomenologi) (1913). Buku ini menempatkan Husserl sebagai filsuf yang mendapat
pengakuan internasional.
3.
Cartesianischen Meditationen (1931).
4.
Die Krisis der europaischen Wssenchaften und die transendentable
Phenomenologie (Krisis dalam Ilmu-ilmu Pengetahuan di Eropa dan Fenomenologi
Transendental) (1936). Tulisannya ini sebagian terbit setelah ia meninggal.
Kritik
atas Ilmu Pengetahuan Modern (Positivisme)
Seperti
jamak diketahui, positivisme memandang ilmu sekedar “ilmu tentang fakta-fakta”.
Dengan kata lain, positivisme membatasi ilmu pengetahuan pada gejala fisis dan
ini merupakan suatu reduksionisme. Masalah yang berkaitan dengan eksistensi
rasional, emosional, makna dan tujuan hidup manusia dilenyapkan dengan alasan
bahwa hal itu tidak dapat diverifikasi melalui metode ilmiah. Dalam bidang
psikologi, aliran yang menerapkan cara pandang positivisme ini, dimana subjek
direduksi menjadi fakta-fakta biologis. Fenomenologi menolak pandangan
reduksionisme itu (melihat manusia sebagai fakta objektif) dan menolak
pandangan yang menyamakan manusia dengan alam. Pandangan seperti ini disebut
Husserl dengan “naturalisme”. Naturalisme adalah pandangan filosofis yang
menjadi sikap ilmiah positivisme yang melihat segala sesuatu sebagai alam yang
diatur oleh hukum-hukum alam secara universal. Positivisme menggunakan metode
empiris-matematis, suatu metode yang mengabstraksikan alam lalu menanggap hasil
abstraksi itu sebagai realitas objektif (realitas apa adanya). Salah satu
konsekuensi dari naturalisme adalah suatu sikap yamg memandang semua hukum dan
prinsip yang mengatur kegiatan berpikir manusia sebagai “fenomena fisis”
semata.
Positivisme
menurut Husserl telah “membunuh” filsafat. Alasannya, karena paradigma
positivisme tidak mapu melihat kesadaran,vmakna hidup, dan motivasi sebagai
pemberi makna pada fakta fisis (tingkah laku). Positivisme telah mengubah
Lebenswelt sedemikian rupa sehingga kita mengalami kesulitan melihat
benda-benda sebagaimana aslinya. Husserl menolak pandangan positivisme
(objektivisme) ini, karena secara nyata pandangan itu mengabaikan peran manusia
(dimensi subjek) dalam menciptakan ilmu pengetahuan. Dimensi subjek dalam
pandangan ini menjadi objek (benda) semata. Dengam demikian, positivisme tidak
memungkinkan perkembangan ilmu yang mampu melihat manusia secara utuh dan
rasional. Padahal objektivitas, yang didamba-dambakan oleh positivisme itu
sendiri merupakan hasil dari fungsi subjektif. Artinya apa yang disebut empiris
atau objektif itu ditentukan berdasarkan nilai-nilai yang telah ditentukan oleh
subjek. Lagipula tidak ada objek tanpa subjek, demikian sebaliknya.
Fenomenologi
Husserl
Dalam
fenomenologi Husserl, ada beberapa istilah penting yang perlu dipahami. Di
antara istilah tersebut seperti epache, reduksi, itensionalitas, dan
Lebenswelt. Dalam rangka memahami fenomenologi Husserl, kita akan bahas
masing-masing istilah tersebut di sini.
a. Epache
Seperti yang sudah dikemukakan, epache
adalah salah satu konsep penting dalam fenomenologi Husserl. Apa arti epache ini?
Atau dalam maksud apa istilah ini digunakan oleh Husserl?. Spielberg
mengemukakan beberapa langkah metode fenomenologis. Pertama, mengintuisi;
kedua, menganalisis; ketiga, menjabarkan. “Mengintuisi” adalah
mengonsentrasikan atau merenungkan secara penuh (intens) fenomena. Sementara
itu, “menganalisis”adalah mencari atau menemukan unsur-unsur atau bagian-bagian
pokok dari fenomena. Dengan kata lain, ini juga berarti menemukan tali-temali
(korelasi) antara bagian-bagian atau unsur-unsur yang terdapat dalam fenomena
tersebut. Adapun “menjabarkan” adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi
dan dianalisis itu (agar fenomena tersebut dapat dipahami oleh orang lain).
Dari sinilah kita masuk kepada
pembahasan epache tersebut. Hal utama yang menunjan kenerhasilan metode
fenomenologis tersebut adalah ketika seseorang (peneliti, ilmuan, dan lain
sebagainya) mampu membebaskan dirinya dari pradugs-praduga atau
penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian. Dan itu dapat berbentuk
keyakinan-keyakinan, stigma-stigma, stereotipe-stereotipe, teori-teori atau
langgam berpikir yang sudah menjadi keniasaan (kelaziman). Hal-hal semacam itu,
oleh Husserl, mesti disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung [()]. Maksud
disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung bukanlah berarti menafikan atau
menyingkirkan hal-hal yang terdapat di dalam tanda kurung tersebut (seperti
praduga-praduga, penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian tadi)
melainkan menunda atau mengosongkan diri dari seperti praduga-praduga, penilaian-penilaian
atau pengandaian-pengandaian tadi. Dengan kata lain, tanpa memneri keterangan
benar-salah terlebih dahulu kepada fenomena yang muncul atau nampak itu. Inilah
yang dimaksud dengan epache (penundaan) tersebut. Tujuannya, agar keterangan
yang tampak dalam fenomena itu benar-benar asli, genuine atau tidak terlebih
dahulu disusupi/dicampuri oleh praduga-praduga, pengandaian-pengandaian,
penilaian-penilaian (presuposisi) pengamat.
b. Reduksi
Seperti
dikemukakan tadi, rpache bertuuan agar keterangan yang tampak dalam fenomena
tersebut benar-benar asli atau tidak terlebih dahulu dicampuri oleh presuposisi
pengamat. Dengan kata lain, dapat dikatakan, epache merupakan sebuah “metode
penundaan” asumsi-asumsi atas fenomena (realita) agar memperoleh hakikat. Dan
dalam rangka memunculkan hakikat tersebut, maka epache mengisyaratkan
(reduksi-reduksi) atau penyaringan-penyaringan tertentu. Menurut Husserl ada
tiga reduksi yang dapat digunakan, ketiga reduksi tersebut ialah (1) Reduksi
fenomenologis, (2) reduksi eidetis, dan (3) reduksi transendental. Di dalam
tabel berikut disajikan tentang ketiga reduksi tersebut.
No
|
Jenis
Reduksi
|
Keterangan
|
1.
|
Reduksi
Fenomenologis
|
Reduksi
fenomenologis ini dapat dikatakan sebagai sebuah sikap menyisihkan
(penyaringan) pengalaman pada pengamatan pertama. Maksudnya, setiap
pengalaman pribadi yang bersifat indrawi dan sujektigf disaring
(disisihkan-ditunda) terlebih dahulu sehingga pengertian terhadap suatu objek
tidak terdistorsi oleh praduga, penilaian, pra-anggapan, pra-teori,
pra-konsepsi dan sebagainya.
|
2.
|
Reduksi
Eidetis
|
Reduksi
eidetis ini dapat dikatakan sebagai sikap untuk menemukan eidos (esensi) yang
tersembunyi. Adapun hasil reduksi ini adalah pemilihan hakikat yang
sebenarnya dan bukan sesuatu yang sifatnya asesoris atau imajinatif semata.
|
3.
|
Reduksi
Transendental
|
Fokus dari
reduksi transendental ini adalah terhadap subjek itu sendiri. Dengan
demikian, jika diperhatikan, reduksi transendental ini agak berbeda dengan
dua jenis reduksi lainnya, dimana dua reduksi lainnya lebih terikat erat
terhadap pemahaman subjek terhadap objek. Dengan kata lain, dapat dibilang,
reduksi transendental ini merupakan subjek yang dihayati oleh kesadaran itu
sendiri. Perhatikan contoh berikut, tatkala si A dipukul, dengan sadar, dia
tidak membalas pukulan tersebut setelah dia meeltakkan “aku” (“subjek yang
dipukul”/”subjek empiris”) di dalam tanda kurung. Dia tak membalas pukulan
bukan karena takut, tak berani, atau lain sebagainya, namun lantaran dia
meletakkan “subjek empiris” di dalam tanda kurung untuk mencapai subjek
sejati. Dia berhasil menguasai dirinya dan menjadi subjek sejati yang
dimaksud pada penjelasan tentang reduksi transendental.
|
c.
Intensionalitas
Kesadaran selalu merupakan kesadaran
akan sesuatu, demikian ujar Husserl. Dengan kata lain, kesadaran selalu terarah
pada suatu objek. Kesadaran yang selalu terarah pada suatu objek, inilah yang
dimaksud dengan istilah intensionalitas itu (intensionalitas berasal dri bahasa
Latin yakni intendere yang mengandung arti “mengarah kepada” atau
“keterarahan”). –bandingkan konsep intensionalitas Husserl ini dengan
kesadaran/cogito Descartesian di mana kesadaran dalam pemikiran
Descartes adalah kesadaran pada dirinya sendiri tanpa keterkaitan dengan objek
atau dunia dia sekelilingnya. Dengan kata lain, apa yang kita ketahui sebagai
dunia luar itu tidak lain dari pemikiran kita sendiri.
Untuk memahami lebih dekat maksud
intensionalitas Husserl ini, tak ada slahnya kita memahami dua istilah yang
diperkenalkan oleh Husserl yang diambilnya dari bahasa Yunani yaitu noesis
dan noema. Noesis berarti “tindakan kesadaran”. Untuk sekadar
contoh, memikirkan, memandang atau membayangkan adalah beberapa contoh dari noesis.
Adapun noema berarti objek kesadaran. Adapun objek kesadaran itu
berbentuk sesuatu yang bersifat fisikal maupun mental. Sementara itu, antara noesis
dan noema memiliki hubungan yang bersifat korelatif. Dengan kata lain,
kita bisa mengatakan, “tindakan kesadaran memandang” (noesis) senantiasa
mengarah pada objek pandangan (noema). Di sinilah terlihat bahwa
tindakan kesadaran selalu mengarah kepada objek kesadaran.
Terkait dengan intensionalitas
(“kesadaran merupakan selalu kesadaran tentang sesuatu”), ada beberapa aspek
yang penting dalam intensionalitas Husserl tersebut. Salah satu diantaranya
adalah intensionalitas mengadakan “konstitusi”. Konstitusi bisa diartikan:
aktivitas kesadaran menuju suatu penampakan fenomena dalam kesadaran. Dengan
kata lain, melalui konstitusi itulah fenomen-fenomen tampak pada kesadaran
kita. Untuk menjelaskan maksud konstitusi aktus kesadaran dapat dijelaskan
melalui proses persepsi. Misalnya ketika kita melihat gunung, yang kita lakukan
adalah melihat gunung dari sisi utara atau selatan, atau dari kiri, kanan. Lalu
kesadaran kita mengkonstitusi semua perspektif (sudut pandang) itu. Persepsi
kita tentang gunung tersebut merupakan hasil sintesa dari semua perspektif itu.
Jadi, dalam mempersepsi gunung (baca: objek, realitas) merupakan hasil dari
konstitusi kesadaran kita. Hal yang sama terjadi pada ilmu-ilmu formal. Hal
yang sama juga terjadi, umpamanya ketika kita memikirkan penyelesaian masalah
berdasarkan “dalil Pythagoras” atau teori “Psikoanalisa Frued”, maka kita
berhadapan dengan teori yang sudah terkonstitusi (“terkonstruksi”) dalam
kesadaran (Bertens, 1981: 102)
d.
Lebenswelt
Apa yang dimaksud dengan Lebenswelt?
Lebenswelt adalah dunia sebagaimana kita atau saya hayati (dunia-pengalaman/
dunia yang dihayati/dunia sehari-hari). Lebenswelt itu atau dunia yang dihayati
itu bukanlah mengacu kepada “dunia nyata” yang sudah dikategorikan oleh
kategori-kategori filosofis atau ilmiah seperti umpamanya yang terdapat pada
pandangan idealisme maupun realisme. Idealisme contohnya memandang bahwa dunia
nyata adalah kesadaran subjek sendiri (atau dengan kata lain, dunia subjek
adalah dunia subjek adalah dunia yang dipikirakan oleh subjek). Atau juga
pandangan realisme yang menyatakan, suatu dunia nyata adalah dunia yang berada
di luar subjek yang mengetahui (dengan kata lain, subjek hanya menerima
rangsangan dari luar secara pasif). Tidak sebagaimana dunia yang dipandang oleh
idealisme atau realisme tersebut atau juga dunia nyata yang sudah dikategorikan
oleh kategori-kategori filosofis atau ilmiah, Labenswelt lebih mengacu kepada
dunia yang belum ditafsirkan atau dikategorikan baik oleh ilmu pengetahuan
(ilmiah) maupun filsafat. Dengan kata lain, Lebenswelt adalah dunia yang
disadari secara pra-filosofis, pra-ilmiah dan pra-reflektif (Hardiman, 2007:
39).
Menurut Husserl, akibat
kategori-kategori atau penafsiran-penafsiran filosofis dan ilmiah
(naturalisme/objektivisme) tersebut, Lebenswelt menjadi lenyap. Lalu, bagaimana
menemukan dunia yang lenyap itu (Lebenswelt)? Untuk menemukan kembli Lebenswelt
tersebut, Husserl menempuh jalan reduksi yaitu menempatkan diantara “tanda
kurung” (epoche) setiap penafsiran ilmiah dan filosofis atas dunia tersebut sehingga
pada akhirnya muncul suatu dunia dalam kesadaran atau benda pada dirinya
sendiri (tentang reduksi dan epoche, silahkan lihat bagian yang terdahulu. Apa
yang lalu disebut dengan reduksi fenomenologis atau apoche ini cocok dengan
adagium Husserl yang bermansyr yaitu “kembali kepada benda-benda itu sendiri/
Zuruck zu den Sachen selbst. Dengan kata lain, Lebenswelt tersebut ditemukan kembali
dengan intuisi atau kesadaran langsung yang menangkap dunia itu (Hardiman,
2007).
No comments:
Post a Comment