Wednesday 13 June 2018

Pengertian Fenomenologi dan Perbedaan Fenomenologi Kant dan Hegel dengan Husserl


Pengertian Fenomenologi dan Perbedaan Fenomenologi Kant dan Hegel dengan Husserl
Istilah fenomenologi berasal dari kata Yunani fenomenon dan logos. Kata fenomenon berarti sesuatu yang menggejala, yang menampakkan diri, sedangkan istilah logos berarti ilmu. Jadi, fenomenologi berarti ilmu tentang fenomena atau pembahasan tentang sesuatu yang menampakkan diri. Dengan demikian, semua wilayah fenomena (realita) yang menampakkan diri (manusia, gejala sosial-budaya atau objek-objek lain) dapat dapat dikatakan sebagai objek fenomenologi.
Dilihat dari kemunculan istilah fenomenologi, sebelum istilah itu dipergunakan oleh Husserl, istilah fenomenologi sebelumnya telah digunakan oleh Immanuel Kant (1724-1804) dan George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Kant misalnya mengemukakan istilah fenomena dan noumena. Fenomena pada Kant mengacu pada apa yang tampak, dan sesuatu yang tampak itu dapat dipahami dan dimengerti. Fenomena merupakan hasil kontruksi subjek yang mengetahui terhadap objek (fenomenon) yang diketahui. Di sini Kant membedakan fenomena dengan noumena. Fenomena sebagai realita yang dapat diketahui, dapat diobservasi, sedangkan noumena adalah hakikat realitas yang berada di balik fenomena (metafisik). Karena noumena itu berada di luar jangkauan pengamatan, maka menurut Kant, kita tidak dapat memahaminya sebab tidak ada jalan masuk indrawi ke noumena itu. Jadi, fenomenologi pada Kant adalah bentuk epistemologi yang meyakini kemungkinan untuk mengetahui senomena saja dan bukan noumena (das Ding an sich). Konsekuensi pandangan ini: segala sesuatu yang berada di luar jangkauan pengamatan langsung dianggap berada di luar kajian (wilayah) ilmu pengetahuan. Adapun pada Kant kesadaran dianggap tertutup dan terisolir dari realitas, tidak terkait dengan faktor sosial-historis. Dengan demikian, kesadaran mengenal diri sendiri dan melalui itu pulalah cara saya atau kita mengenal realitas.
Sementara itu, Hegel mengemukakan istilah fenomenologi melalui bukunya The Phenomenology of Spirit (1806). Bagi Hegel, seluruh fenomena hanyalah penampakan diri dari akal yang tidak terbatas (Roh Absolut). Dalam pandangan idealisme Hegel, seluruh fenomena dalam berbagai keragamannya, sesungguhnya tetap disadarkan pada satu esensi atau kesatuan dasar (giest atau spirit). Hegel menekankan adanya hubungan antara esensi (hakikat) dengan penampakan (fenomena) yang teramati. Bagi Hegel, tidak ada pertentangan antara fenomena dengan noumena, tidak ada pertentangan antara yang dapat diamati (empiris) dengan yang dapat dipikirkan secara rasional.  Tesis Hegel yang paling terkenal adalah, “yang nyata” adalah sama dengan “yang dipikirkan” atau “pikiran sama dengan kenyataan” (Copleston, 1963: 197).
Adapun pengertian fenomenologi Husserl sama sekali berbeda dengan pengertian Immanuel Kant dan Hegel. Berikut akan kita bahas fenomenologi Husserl sekaligus riwayat hidup, karya, dan beberapa pemikirannya yang lain.


Riwayat Hidup Singkat Edmund Husserl
Enmund Husserl (1859-1938) lahir di kota kecil Prohitz daerah Moravia yang waktu itu di bawah kekaisaran Austria. Hongaria dan sejak Perang Dunia I masuk wilayah Cekoslowakia. Husserl berasaldari golongan Yahudi menengah dan pada usia 27 tahun masuk protestan karena pengaruh temannya yakni G. Alberch. Husserl belajar matematika, Filsafat dan astronomi di Universitas Leipzig, Berlin, dan Wina. Minat pada filsafat tumbuh sewaktu Husserl mengikuti kuliah-kuliah Franz Brentano pada tahun 1884-1886. Saat itu, Brentano merupakan filsuf paling berpengaruh di universitas tempat Husserl belajar dan Brentano dalam pemikirannya mengupayakan menggabungkan pemikiran skolastik dengan empirisme. Kelak pengaruh pemikiran Brentano pada Husserl terlihat pada konsep internasionalisme yang menjadi salah satu pemikiran penting dari Husserl.
Husserl meraih gelar Doktor Filsafat dengan disertai mengenai filsafat matematik. Husserl kemudian menjadi dosen privat di Universitas Halle dari tahun 1887-1901. Tahun 1901 Husserl diangkat menjadi profesor di Gottingen (1901-1916) dan waktu inilah tentang fenomenologi mencapai kematangan. Setelah tahun 1916, Husserl memenuhi undangan menjadi frofesor di Universitas Freiburg im Breisgau. Pemikiran Husserl (khususnya fenomenologi) melalui tulisan-tulisan yang memengaruhi fisafat abad ke-20 dengan sangat mendalam.
Karya-karya Husserl
Selama hidupnya, Husserl banyak menulis naskah-naskah (50.000 lembar tulisan) mengenai fenomenologi namun sedikit yang diterbitkan pada waktu hidupnya. Adapun tulisan-tulisan pribadi Husserl disimpan di Universitas Leuven (Belgia) (karena khawatir diambil/dibakar oleh Nazi). Tulisan-tulisannya yang dibukukan antara lain:
1.      Logishe Untursuchungen (Penelitian tentang Logika), terdiri dari dua jilid (1900-1901).
2.      Ideen zu einer Reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie (Gagasan-gagasan tentang Fenomenologi Murni dan Filsafat Fenomenologi) (1913). Buku ini menempatkan Husserl sebagai filsuf yang mendapat pengakuan internasional.
3.      Cartesianischen Meditationen (1931).
4.      Die Krisis der europaischen Wssenchaften und die transendentable Phenomenologie (Krisis dalam Ilmu-ilmu Pengetahuan di Eropa dan Fenomenologi Transendental) (1936). Tulisannya ini sebagian terbit setelah ia meninggal.
Kritik atas Ilmu Pengetahuan Modern (Positivisme)
Seperti jamak diketahui, positivisme memandang ilmu sekedar “ilmu tentang fakta-fakta”. Dengan kata lain, positivisme membatasi ilmu pengetahuan pada gejala fisis dan ini merupakan suatu reduksionisme. Masalah yang berkaitan dengan eksistensi rasional, emosional, makna dan tujuan hidup manusia dilenyapkan dengan alasan bahwa hal itu tidak dapat diverifikasi melalui metode ilmiah. Dalam bidang psikologi, aliran yang menerapkan cara pandang positivisme ini, dimana subjek direduksi menjadi fakta-fakta biologis. Fenomenologi menolak pandangan reduksionisme itu (melihat manusia sebagai fakta objektif) dan menolak pandangan yang menyamakan manusia dengan alam. Pandangan seperti ini disebut Husserl dengan “naturalisme”. Naturalisme adalah pandangan filosofis yang menjadi sikap ilmiah positivisme yang melihat segala sesuatu sebagai alam yang diatur oleh hukum-hukum alam secara universal. Positivisme menggunakan metode empiris-matematis, suatu metode yang mengabstraksikan alam lalu menanggap hasil abstraksi itu sebagai realitas objektif (realitas apa adanya). Salah satu konsekuensi dari naturalisme adalah suatu sikap yamg memandang semua hukum dan prinsip yang mengatur kegiatan berpikir manusia sebagai “fenomena fisis” semata.
Positivisme menurut Husserl telah “membunuh” filsafat. Alasannya, karena paradigma positivisme tidak mapu melihat kesadaran,vmakna hidup, dan motivasi sebagai pemberi makna pada fakta fisis (tingkah laku). Positivisme telah mengubah Lebenswelt sedemikian rupa sehingga kita mengalami kesulitan melihat benda-benda sebagaimana aslinya. Husserl menolak pandangan positivisme (objektivisme) ini, karena secara nyata pandangan itu mengabaikan peran manusia (dimensi subjek) dalam menciptakan ilmu pengetahuan. Dimensi subjek dalam pandangan ini menjadi objek (benda) semata. Dengam demikian, positivisme tidak memungkinkan perkembangan ilmu yang mampu melihat manusia secara utuh dan rasional. Padahal objektivitas, yang didamba-dambakan oleh positivisme itu sendiri merupakan hasil dari fungsi subjektif. Artinya apa yang disebut empiris atau objektif itu ditentukan berdasarkan nilai-nilai yang telah ditentukan oleh subjek. Lagipula tidak ada objek tanpa subjek, demikian sebaliknya.
Fenomenologi Husserl
Dalam fenomenologi Husserl, ada beberapa istilah penting yang perlu dipahami. Di antara istilah tersebut seperti epache, reduksi, itensionalitas, dan Lebenswelt. Dalam rangka memahami fenomenologi Husserl, kita akan bahas masing-masing istilah tersebut di sini.


a.      Epache
Seperti yang sudah dikemukakan, epache adalah salah satu konsep penting dalam fenomenologi Husserl. Apa arti epache ini? Atau dalam maksud apa istilah ini digunakan oleh Husserl?. Spielberg mengemukakan beberapa langkah metode fenomenologis. Pertama, mengintuisi; kedua, menganalisis; ketiga, menjabarkan. “Mengintuisi” adalah mengonsentrasikan atau merenungkan secara penuh (intens) fenomena. Sementara itu, “menganalisis”adalah mencari atau menemukan unsur-unsur atau bagian-bagian pokok dari fenomena. Dengan kata lain, ini juga berarti menemukan tali-temali (korelasi) antara bagian-bagian atau unsur-unsur yang terdapat dalam fenomena tersebut. Adapun “menjabarkan” adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis itu (agar fenomena tersebut dapat dipahami oleh orang lain).
Dari sinilah kita masuk kepada pembahasan epache tersebut. Hal utama yang menunjan kenerhasilan metode fenomenologis tersebut adalah ketika seseorang (peneliti, ilmuan, dan lain sebagainya) mampu membebaskan dirinya dari pradugs-praduga atau penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian. Dan itu dapat berbentuk keyakinan-keyakinan, stigma-stigma, stereotipe-stereotipe, teori-teori atau langgam berpikir yang sudah menjadi keniasaan (kelaziman). Hal-hal semacam itu, oleh Husserl, mesti disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung [()]. Maksud disimpan atau diletakkan di dalam tanda kurung bukanlah berarti menafikan atau menyingkirkan hal-hal yang terdapat di dalam tanda kurung tersebut (seperti praduga-praduga, penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian tadi) melainkan menunda atau mengosongkan diri dari seperti praduga-praduga, penilaian-penilaian atau pengandaian-pengandaian tadi. Dengan kata lain, tanpa memneri keterangan benar-salah terlebih dahulu kepada fenomena yang muncul atau nampak itu. Inilah yang dimaksud dengan epache (penundaan) tersebut. Tujuannya, agar keterangan yang tampak dalam fenomena itu benar-benar asli, genuine atau tidak terlebih dahulu disusupi/dicampuri oleh praduga-praduga, pengandaian-pengandaian, penilaian-penilaian (presuposisi) pengamat.

b.      Reduksi
Seperti dikemukakan tadi, rpache bertuuan agar keterangan yang tampak dalam fenomena tersebut benar-benar asli atau tidak terlebih dahulu dicampuri oleh presuposisi pengamat. Dengan kata lain, dapat dikatakan, epache merupakan sebuah “metode penundaan” asumsi-asumsi atas fenomena (realita) agar memperoleh hakikat. Dan dalam rangka memunculkan hakikat tersebut, maka epache mengisyaratkan (reduksi-reduksi) atau penyaringan-penyaringan tertentu. Menurut Husserl ada tiga reduksi yang dapat digunakan, ketiga reduksi tersebut ialah (1) Reduksi fenomenologis, (2) reduksi eidetis, dan (3) reduksi transendental. Di dalam tabel berikut disajikan tentang ketiga reduksi tersebut.

No
Jenis Reduksi
Keterangan
1.
Reduksi Fenomenologis
Reduksi fenomenologis ini dapat dikatakan sebagai sebuah sikap menyisihkan (penyaringan) pengalaman pada pengamatan pertama. Maksudnya, setiap pengalaman pribadi yang bersifat indrawi dan sujektigf disaring (disisihkan-ditunda) terlebih dahulu sehingga pengertian terhadap suatu objek tidak terdistorsi oleh praduga, penilaian, pra-anggapan, pra-teori, pra-konsepsi dan sebagainya.
2.
Reduksi Eidetis
Reduksi eidetis ini dapat dikatakan sebagai sikap untuk menemukan eidos (esensi) yang tersembunyi. Adapun hasil reduksi ini adalah pemilihan hakikat yang sebenarnya dan bukan sesuatu yang sifatnya asesoris atau imajinatif semata.
3.
Reduksi Transendental
Fokus dari reduksi transendental ini adalah terhadap subjek itu sendiri. Dengan demikian, jika diperhatikan, reduksi transendental ini agak berbeda dengan dua jenis reduksi lainnya, dimana dua reduksi lainnya lebih terikat erat terhadap pemahaman subjek terhadap objek. Dengan kata lain, dapat dibilang, reduksi transendental ini merupakan subjek yang dihayati oleh kesadaran itu sendiri. Perhatikan contoh berikut, tatkala si A dipukul, dengan sadar, dia tidak membalas pukulan tersebut setelah dia meeltakkan “aku” (“subjek yang dipukul”/”subjek empiris”) di dalam tanda kurung. Dia tak membalas pukulan bukan karena takut, tak berani, atau lain sebagainya, namun lantaran dia meletakkan “subjek empiris” di dalam tanda kurung untuk mencapai subjek sejati. Dia berhasil menguasai dirinya dan menjadi subjek sejati yang dimaksud pada penjelasan tentang reduksi transendental.
c.       Intensionalitas
Kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu, demikian ujar Husserl. Dengan kata lain, kesadaran selalu terarah pada suatu objek. Kesadaran yang selalu terarah pada suatu objek, inilah yang dimaksud dengan istilah intensionalitas itu (intensionalitas berasal dri bahasa Latin yakni intendere yang mengandung arti “mengarah kepada” atau “keterarahan”). –bandingkan konsep intensionalitas Husserl ini dengan kesadaran/cogito Descartesian di mana kesadaran dalam pemikiran Descartes adalah kesadaran pada dirinya sendiri tanpa keterkaitan dengan objek atau dunia dia sekelilingnya. Dengan kata lain, apa yang kita ketahui sebagai dunia luar itu tidak lain dari pemikiran kita sendiri.
Untuk memahami lebih dekat maksud intensionalitas Husserl ini, tak ada slahnya kita memahami dua istilah yang diperkenalkan oleh Husserl yang diambilnya dari bahasa Yunani yaitu noesis dan noema. Noesis berarti “tindakan kesadaran”. Untuk sekadar contoh, memikirkan, memandang atau membayangkan adalah beberapa contoh dari noesis. Adapun noema berarti objek kesadaran. Adapun objek kesadaran itu berbentuk sesuatu yang bersifat fisikal maupun mental. Sementara itu, antara noesis dan noema memiliki hubungan yang bersifat korelatif. Dengan kata lain, kita bisa mengatakan, “tindakan kesadaran memandang” (noesis) senantiasa mengarah pada objek pandangan (noema). Di sinilah terlihat bahwa tindakan kesadaran selalu mengarah kepada objek kesadaran.
Terkait dengan intensionalitas (“kesadaran merupakan selalu kesadaran tentang sesuatu”), ada beberapa aspek yang penting dalam intensionalitas Husserl tersebut. Salah satu diantaranya adalah intensionalitas mengadakan “konstitusi”. Konstitusi bisa diartikan: aktivitas kesadaran menuju suatu penampakan fenomena dalam kesadaran. Dengan kata lain, melalui konstitusi itulah fenomen-fenomen tampak pada kesadaran kita. Untuk menjelaskan maksud konstitusi aktus kesadaran dapat dijelaskan melalui proses persepsi. Misalnya ketika kita melihat gunung, yang kita lakukan adalah melihat gunung dari sisi utara atau selatan, atau dari kiri, kanan. Lalu kesadaran kita mengkonstitusi semua perspektif (sudut pandang) itu. Persepsi kita tentang gunung tersebut merupakan hasil sintesa dari semua perspektif itu. Jadi, dalam mempersepsi gunung (baca: objek, realitas) merupakan hasil dari konstitusi kesadaran kita. Hal yang sama terjadi pada ilmu-ilmu formal. Hal yang sama juga terjadi, umpamanya ketika kita memikirkan penyelesaian masalah berdasarkan “dalil Pythagoras” atau teori “Psikoanalisa Frued”, maka kita berhadapan dengan teori yang sudah terkonstitusi (“terkonstruksi”) dalam kesadaran (Bertens, 1981: 102)
d.      Lebenswelt                                   
Apa yang dimaksud dengan Lebenswelt? Lebenswelt adalah dunia sebagaimana kita atau saya hayati (dunia-pengalaman/ dunia yang dihayati/dunia sehari-hari). Lebenswelt itu atau dunia yang dihayati itu bukanlah mengacu kepada “dunia nyata” yang sudah dikategorikan oleh kategori-kategori filosofis atau ilmiah seperti umpamanya yang terdapat pada pandangan idealisme maupun realisme. Idealisme contohnya memandang bahwa dunia nyata adalah kesadaran subjek sendiri (atau dengan kata lain, dunia subjek adalah dunia subjek adalah dunia yang dipikirakan oleh subjek). Atau juga pandangan realisme yang menyatakan, suatu dunia nyata adalah dunia yang berada di luar subjek yang mengetahui (dengan kata lain, subjek hanya menerima rangsangan dari luar secara pasif). Tidak sebagaimana dunia yang dipandang oleh idealisme atau realisme tersebut atau juga dunia nyata yang sudah dikategorikan oleh kategori-kategori filosofis atau ilmiah, Labenswelt lebih mengacu kepada dunia yang belum ditafsirkan atau dikategorikan baik oleh ilmu pengetahuan (ilmiah) maupun filsafat. Dengan kata lain, Lebenswelt adalah dunia yang disadari secara pra-filosofis, pra-ilmiah dan pra-reflektif (Hardiman, 2007: 39).
Menurut Husserl, akibat kategori-kategori atau penafsiran-penafsiran filosofis dan ilmiah (naturalisme/objektivisme) tersebut, Lebenswelt menjadi lenyap. Lalu, bagaimana menemukan dunia yang lenyap itu (Lebenswelt)? Untuk menemukan kembli Lebenswelt tersebut, Husserl menempuh jalan reduksi yaitu menempatkan diantara “tanda kurung” (epoche) setiap penafsiran ilmiah dan filosofis atas dunia tersebut sehingga pada akhirnya muncul suatu dunia dalam kesadaran atau benda pada dirinya sendiri (tentang reduksi dan epoche, silahkan lihat bagian yang terdahulu. Apa yang lalu disebut dengan reduksi fenomenologis atau apoche ini cocok dengan adagium Husserl yang bermansyr yaitu “kembali kepada benda-benda itu sendiri/ Zuruck zu den Sachen selbst. Dengan kata lain, Lebenswelt tersebut ditemukan kembali dengan intuisi atau kesadaran langsung yang menangkap dunia itu (Hardiman, 2007).


No comments:

Post a Comment