Wednesday 13 June 2018

BERFIKIR logika


BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
        Akal dan pikiran merupakan perlengkapan yang paling sempurna yang dianugerah Tuhan kepada manusia. Dengan akal dan pikiran, manusia dapat mengubah dan mengembangkan taraf kehidupannya dari tradisional menjadi modern. Sifat yang tidak puas secara alamiah ada dalam diri manusia mendorong manusia untuk selalu ingin merubah keadaan. Ketidakpuasan tersebut menimbulkan  perubahan-perubahan sehingga tercipta peradapan dunia yang maju. Sehingga adanya metode berpikir logika, deduktif, dan induktif.
Dari berbagai metode berpikir secara logika, deduktif, dan induktif merupakan suatu metode dalam berpikir untuk menunjukkan kebenaran ilmu pengetahuan yang benar dan sahih.
 Seiring dalam perkembangan zaman, manusia sering mengabaikan logika dalam  berfikir dan membuat aturan. Kebanyakan orang-orang tersebut menganggap remeh tentang logika dan berfikir seenaknya saja, mereka mengiginkan suatu hal yang mudah dan praktis. Sehingga yang terjadi adalah kejanggalan-kejanggalan dalam komunitas mesyarakat banyak. Tujuan penulisan makalah ini adalah agar bisa memahami apa itu logika, dan  bagaimana memerankannya dalm kehidupan sehari-hari. Dengan adanya logika kita dapat berfikir dan mengambil keputusan yang benar dan tepat dalm memenuhi kepentingan hidup kita sendiri dan juga masyakat umumnya kita dapat mengartika dan mengambil kesimpulan setelah melalui pemikiran- pemikiran atau pernyataan-pernyataan yang ada, dan kebenaran-kebenaran akan muncul.
                                                                                                   
1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa hakikat logika dalam filsafat ilmu?
2.      Bagaimana bahasa logika?
3.      Bagaimana criteria kebenaran logika dalam filsafat ilmu?



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 HAKIKAT LOGIKA
           Menurut Andre Ata, dkk. (2012), konsep “logika” atau “logis” sudah sering kita dengar dan kita gunakan. Dalam bahasa sehari-hari, perkataan “logika” atau “logis” menunjukkan cara berpikir atau cara hidup atau sikap hidup tertentu, yaitu yang masuk akal, yang “reasonable”, yang wajar, yang beralasan atau berargumen, yang ada rasionya atau hubungan rasionalnya, yang dapat dimengerti, walaupun belum tahu disetujui atau tentang benar atau salah. Dalam arti ilmiah, perkataan logika menunjukkan pada disiplin ilmu yang dimaksud dengan disiplin ilmu disini yaitu disiplin ilmiah, yaitu kegiatan intelektual yang dipelajari untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam bidang tertentu secara sistematik-rasional argumentative dan terorganisasi yang terkait atas tunduk pada aturan, prosedur, atau metode tertentu. Setap disiplin mewujudkan ilmu atau cabang ilmu pengetahuan tertentu. Misalnya biologi, yaitu ilmu disiplin yang termasuk ilmu alam, mikrobiologi yaitu suatu disiplin yang termasuk ilmu alam; mikrobiologi yaitu disiplin ilmu atau subdisiplin yang termasuk dalam disiplin ilmu biologi.
           Menurut Arif Sidharta (2010), kata logika sering juga digunakan untuk bahasa percakapan sehari-hari. Kata itu memiliki beberapa pandangan arti dalam penggunaan secara umum, seperti “wajar”, dapat diterima atau bisa juga digunakan dalam arti kultur untuk menggambarkan sikap khas suatu kelompok masyarakat. Dalam konteks umum, kata logika sering diartikan sebagai “masuk akal, wajar, pantas bisa diterima, atau dapat dipahami.”
            Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini logika , dimana logika secara luasdapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara shahih”.[1]
           Terdapat macam-macam cara penarikan kesimpulan namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada penalaran ilmiah, kita akan melkukan penelaah yang saksama hanya terhadap dua jenis cara penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif.
       Peran logika dalam filsafat ilmu menurut Suwardi Endarswara (2012), logika sebagai esensi filsafat ilmu. Logika berasal dar kata Yunani “logos” yang berarti ucapan, kata, akal budi, dan ilmu. Selanjutnya dijelaskan dalam filsafat ilmu, jelas tidak mungkin tanpa menggunakan logika. Untuk menjelaskan dan memahami suatu gejala keilmuan, logika selalu hadir. Logika menjadi wahana pokok keilmuwan. Secara leksikal, Oxford Dictionary mendefinisikan logika sebagai “science of reasoning, correct or in correct use of argument, abitily in argument, arguments.” Hal ini senada dengan pertanyaan dalam Meriam Webster’s Desk Dictionary, menjelaskan bahwa logika adalah “a science that deals sith rules and test of sound thinking and proof by reasoning.” Dalam kamus Oxford juga disebut bahwa aslinya istilah lengakap untuk logika yaitu logike tekhne, yang artinya seni atau keterampilan berfikir.
        Apa yang disimpulkan dari pengertian tersebut? Pengertian etimologi dan leksikal mengenai logika sebagaimana dikemukakan di atas menegaskan dua hal sekaligus yang menjadi inti pengertian logika, antara lain: Pertama, logika sebagai ilmu , logika yaitu elemen dasar setiap ilmu pengetahuan. Kedua, logika sebagai seni atau keterampilan, yaitu seni atau asas-asas pemikiran yang tetap, lurus dan semestinya. Sebagai keterampilan, logika yaitu seni dan kecakapan menerapkan hukum atau asas-asas pemikiran itu agar bernalar dengan tepat, teliti dan teratur.
        Kalau begitu filsafat ilmu juga mengajak para ilmuwan untuk berpikir secara logis, agar ilmu yang demikian semakin terpercaya. Menurutnya dipandang dar aspek waktu dan kecanggihanya. Logika dapat dibagikan menjadi dua bagian, yaitu: pertama, logika tradisional atau logika naturalis, yaitu cara berpikir yang sederhana berdasarkan kodrat atau naluri fitrah manusia sejak lahir sudah dilengkapi dengan alat berpikir. Kedua, logika modern atau logika artifisialis yang dipelopori oleh Arisetoteles dalam bukunya Organeri, yang berarti instrument atau alat ukur berpikir.
2.2 SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA
              Logika pertama-tama disusun oleh Aristoteles (384-322 SM), sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”. Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon, terdiri atas enam bagian.                    Theoprastus (371-287 sM), memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah  penafsirannya tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan. Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli  pikir di Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru ini disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam  bagian baru ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika menjadi tujuh bagian.
         Tokoh logika pada zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang terkenal mahir dalam bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles dalam  berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya. Al-Farabi menyalin dan memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan satu bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.
              Karya Aristoteles tentang logika dalam buku Organon dikenal di dunia Barat selengkapnya ialah sesudah berlangsung penyalinan-penyalinan yang sangat luas dari sekian banyak ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin. Penyalinan- penyalinan yang luas itu membukakan masa dunia Barat kembali akan alam  pikiran Grik Tua. Petrus Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun pelajaran logika berbentuk sajak, seperti All-Akhdari dalam dunia Islam, dan bukunya itu menjadi buku dasar bagi pelajaran logika sampai abad ke-17. Petrus Hispanus inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama untuk sistem penyimpulan yang sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik dalam sebuah sajak. Dan kumpulan sajak Petrus Hispanus mengenai logika ini bernama Summulae.

2.3 BAHASA LOGIKA
             Bahasa merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia. Dan khusus alat komunikasi ilmiah disebut dengan bahasa ilmiah, yaitu kalimat berita yang merupakan suatu pernyataan-pernyataan atau  pendapat-pendapat. Bahasa sangat penting juga dalam pembentukan penalaran ilmiah karena penalaran ilmiah mempelajari bagaimana caranya mengadakan uraian yang tepat dan sesuai dengan pembuktian-pembuktian secara benar dan  jelas. Bahasa secara umum dibedakan antara bahasa alami dan bahasa buatan. Bahasa alami ialah bahasa sehari-hari yang biasa digunakan untuk menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas dasar pengaruh alam sekelilingnya, dibedakan antara  bahasa isyarat dan bahasa biasa. Bahasa buatan ialah bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal pikiran untuk maksud tertentu, yang dibedakan antara bahasa istilahi dan bahasa artifisial. Bahasa buatan inilah yang dimaksudkan bahasa ilmiah, dirumuskan bahasa  buatan yang diciptakan oleh para ahli dalam bidangnya dengan menggunakan istilah-istilah atau lambang-lambang untuk mewakili pengertian-pengertian tertentu.
          Sebagai pernyataan pikiran atau perasaan dan juga sebagai alat komunikasi manusia karena bahasa mempunyai 3 fungsi pokok, yakni fungsi ekspresif atau emotif, fungsi afektif atau praktis, dan fungsi simbolik dan logik. Khusus untuk logika dan juga untuk bahasa ilmiah yang harus diperhatikan adalah fungsi simbolik karena komunikasi ilmiah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus logik terbebas dari unsur-unsur emotif. Bahasa yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan atau kalimat deklaratif jika ditinjau berdasarkan isinya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu  pernyataan analitik dan pernyataan sintetik Pernyataan (statement) dalam logika ditinjau dari segi bentuk hubungan makna yang dikandungnya, pernyataan itu disamakan juga dengan proposisi. Proposisi atau pernyataan berdasarkan bentuk isinya dibedakan antara 3 macam, yakni  proposisi tunggal, proposisi kategorik, dan proposisi majemuk.
               Tiga macam proposisi atau pernyataan di atas yang sebagai dasar penalaran adalah proposisi kategorik untuk penalaran kategorik, dan proposisi majemuk untuk penalaran majemuk. Adapun proposisi tunggal atau proposisi simpel  pengolahannya dapat masuk dalam penalaran kategorik dan dapat juga masuk dalam penalaran majemuk.
2.4 PENGERTIAN DEDUKSI
            Deduksi adalah kegaiatn berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan yang  bersifat umum ditarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan yang secara deduktif biasanya mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus yang disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif yang berdasarkan kedua premis tersebut. Dari contoh kita sebelumnya kita dapat membuat silogismus sebagai berikut.
Semua makhluk mempunya mata (Premis mayor)
Si Polan adalah seorang makhluk (Premis Minor)
Jadi si Polan mempunyai mata     (Kesimpulan)
             Kesimpulan yang diambil bahwa si Polan mempunyai mataadalah sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Pernyataan apakah kesimpulan itu benar maka hal ini haus dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya kedua premis yang mendukungnya adalah benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.
           Dengan demikian maka ketetapan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran premis mayor, premis minor, dan keabsahan mengambil kesimpulan. Sekiranya salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratanya tidak dapat dipenuhi maka kesimpulan yang akan ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Argumentasi matematik seperti a sama dengan b dan b bila sama dengan c maka a sama dengan c merupakan suatu penalaran deduktif. Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru bahwa a sama dengan c pada hakikatnya bukan merupakan pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekedar konsenkuensi dari dua pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya, yakni bahwa a sama dengan b dan b sama dengan c. Tak pernah ada kejutan dalam logika,, simpul Wittgenstein, sebab pengetahuan yang diperoleh kebenaran tautologis[2]. Namun benarkah ulangan matematika tak pernah menimbulkan surprise; seperti pertanyaan Taufiq Ismail dalam Sajak Ladang Jagung: bagaimana kalau bumi bukan bulat, tapi segi empat?[3]
        Penarikan pengetahuan baru secara tidak langsung dilakukan berdasarkan dua premis atau lebih; yang didasarkan dua premis disebut silogisme. Jadi, dapat diakatakan silogisme merupakan bentuk formal sebagai sarana untuk menarik kesimpulan yang baru. Silogisme selalu terdiri dari tiga proposi yaitu dua premis dan kesimpulan.
2.5 KRITERIA KEBENARAN
        Teori kebenaran yang didasarkan kepad criteria tersebut diatas disebut teori koherensi. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “manusia pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Polan adalah seorang manusia dan si Polan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
        Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori koheren. Sistem matematika di susun atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar yakni aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma maka disusun teorema. Diatas teorema maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem konsisten. Plato (427-347 S.M) dan Aristoteles (384-322 S.M.) mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiranya yang dipergunakan Ecluid dalam menysun ilmu ukuranya.
         Pahamlain adalah kebenaran yang berdasarkan kepada teori korespondensi, dimana eksponen utamanya adalah Bertrand Russell(1872-1970). Bagi penganut teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang di kandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang mengatakan bahwa “Ibu Kota Replubik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat factual yakni Jakarta yang menjadi Ibu Kota Replubik Indonesia. Sekiranya orang lain yang menyatakan bahwa “Ibu Kota Replubik Indonesia adalah Bandung” maka pernyataan itu bukanlah benar sebab tidak terdapat obyek yang dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara factual “Ibu Kota Replubik Indonesia adalah bukan Bandung melainkan Jakarta.”
       Kedua teori kebenaran ini yakni teori koherensi dan teori korespondensi kedua-duanya dipergunakan dalam cara berpikir ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran yang lain disebut teori kebenaran paragmatis.
        Teori paragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our ideas Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah kebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli filsafat ini diantaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.
         Bagi seorang paragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsenkuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan parktis dalam kehidupan manusia. Sekiranya ada orang yang menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X itu dianggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan. Paragmatis bukanlah suatu aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan criteria kebenaran sebagaimana disebutkan diatas. Kaum paragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang ala mini yang dianggapnya fungsional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala ilmiah. Criteria paragmatis ini juga dipergunakan oleh ilmuwan dan menentukan kebenaran ilmiah dilihat dari prespektif waktu. Secara historis maka mungkin tidak lagi demikian. Di hadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuwan bersifat paragmatis: selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar: sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan. Pengetahuan ilmiah memang tidak berumur panjang. Seperti diungkapkan sebuah pengumpulan pendapat dikalangan ahli-ahli fisika, bahwa teori tentang partikel takkan berumur lebih empat tahun. Untuk ilmu-ilmu lainnya yang agak kurang berhasil menentukan hal-hal yang baru, seperti embriologi, sebuah revisi dapat diharapkan tiap kurun waktu lima belas tahun.[4]



















BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
        Didalam penalaran ditemukan logika. Logika melahirkan deduksi dan induksi, secara umum induksi dan induksi suatu proses pemikiran untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang benar didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki. Deduksi dihasilkan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan bersifat khusus, sementara induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik kesimpulan umum dari berbagai kasus yang bersifat individual.
Metode ilmiah berkaitan dengan gabungan dari metode deduksi dan metode induksi. Jadi suetu proses pemikiran dapat dituangkan dalam pembuatan metode ilmiah tersebut, dan metode ilmiah juga membuktikan tentang penalaran yang melahirkan logika dibantu dengan metode deduksi dan induksi maka akan menghasilkan pengetahuan yang baru. Dengan metode ilmiah pengetahuan akan dianggap sah adanya.















DAFTAR PUSTAKA

Latif, Mukhtar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014.
Akhadiah, Sabarti dan Winda Dewi. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana, 2011.
Suriasumantri, S. Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer. Jakarta: CV. Muliasari, 2000.
Susanto, A. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalan Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.
Sudarto. Merodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997.




[1]  William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realism of Philoshopy (Cambridge, Mass.: Schenkman,1965), hlm.3
[2]  Ludwig von Wittgenstein, Tractatus Logico Philosophicus ( London: Routledge & Kegan Paul, 19720, hlm. 129.
[3] Taufiq Ismail, loc.cit.
[4] Joseph J.Schwab, The Teaching of Science as Enguery (Cambridge: Hardvard. University Press, 1962, hlm. 20.

No comments:

Post a Comment