BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Akal dan pikiran merupakan
perlengkapan yang paling sempurna yang dianugerah Tuhan kepada manusia. Dengan
akal dan pikiran, manusia dapat mengubah dan mengembangkan taraf kehidupannya
dari tradisional menjadi modern. Sifat yang tidak puas secara alamiah ada dalam
diri manusia mendorong manusia untuk selalu ingin merubah keadaan.
Ketidakpuasan tersebut menimbulkan
perubahan-perubahan sehingga tercipta peradapan dunia yang maju.
Sehingga adanya metode berpikir logika, deduktif, dan induktif.
Dari berbagai metode berpikir secara logika, deduktif, dan
induktif merupakan suatu metode dalam berpikir untuk menunjukkan kebenaran ilmu
pengetahuan yang benar dan sahih.
Seiring dalam perkembangan zaman, manusia sering mengabaikan
logika dalam berfikir dan membuat aturan. Kebanyakan orang-orang tersebut
menganggap remeh tentang logika dan berfikir seenaknya saja, mereka mengiginkan
suatu hal yang mudah dan praktis. Sehingga yang terjadi adalah kejanggalan-kejanggalan dalam komunitas mesyarakat banyak. Tujuan penulisan
makalah ini adalah agar bisa memahami apa itu logika, dan bagaimana
memerankannya dalm kehidupan sehari-hari. Dengan adanya logika kita dapat
berfikir dan mengambil keputusan yang benar dan tepat dalm memenuhi kepentingan
hidup kita sendiri dan juga masyakat umumnya kita dapat mengartika dan
mengambil kesimpulan setelah melalui pemikiran- pemikiran atau
pernyataan-pernyataan yang ada, dan kebenaran-kebenaran akan muncul.
1.2
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa
hakikat logika dalam filsafat ilmu?
2.
Bagaimana
bahasa logika?
3.
Bagaimana
criteria kebenaran logika dalam filsafat ilmu?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
HAKIKAT LOGIKA
Menurut
Andre Ata, dkk. (2012), konsep “logika” atau “logis” sudah sering kita dengar dan
kita gunakan. Dalam bahasa sehari-hari, perkataan “logika” atau “logis”
menunjukkan cara berpikir atau cara hidup atau sikap hidup tertentu, yaitu yang
masuk akal, yang “reasonable”, yang wajar, yang beralasan atau berargumen, yang
ada rasionya atau hubungan rasionalnya, yang dapat dimengerti, walaupun belum
tahu disetujui atau tentang benar atau salah. Dalam arti ilmiah, perkataan
logika menunjukkan pada disiplin ilmu yang dimaksud dengan disiplin ilmu disini
yaitu disiplin ilmiah, yaitu kegiatan intelektual yang dipelajari untuk
memperoleh pengetahuan dan pemahaman dalam bidang tertentu secara
sistematik-rasional argumentative dan terorganisasi yang terkait atas tunduk
pada aturan, prosedur, atau metode tertentu. Setap disiplin mewujudkan ilmu
atau cabang ilmu pengetahuan tertentu. Misalnya biologi, yaitu ilmu disiplin
yang termasuk ilmu alam, mikrobiologi yaitu suatu disiplin yang termasuk ilmu
alam; mikrobiologi yaitu disiplin ilmu atau subdisiplin yang termasuk dalam
disiplin ilmu biologi.
Menurut Arif Sidharta (2010), kata logika
sering juga digunakan untuk bahasa percakapan sehari-hari. Kata itu memiliki
beberapa pandangan arti dalam penggunaan secara umum, seperti “wajar”, dapat
diterima atau bisa juga digunakan dalam arti kultur untuk menggambarkan sikap
khas suatu kelompok masyarakat. Dalam konteks umum, kata logika sering
diartikan sebagai “masuk akal, wajar, pantas bisa diterima, atau dapat dipahami.”
Penalaran merupakan suatu proses
berpikir yang membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan
penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses berpikir itu harus
dilakukan suatu cara tertentu. Suatu penarikan kesimpulan tersebut dilakukan
menurut cara tertentu tersebut. Cara penarikan kesimpulan ini logika , dimana
logika secara luasdapat didefinisikan sebagai “pengkajian untuk berpikir secara
shahih”.[1]
Terdapat macam-macam cara penarikan
kesimpulan namun untuk sesuai dengan tujuan studi yang memusatkan diri kepada
penalaran ilmiah, kita akan melkukan penelaah yang saksama hanya terhadap dua
jenis cara penarikan kesimpulan, yakni logika induktif dan logika deduktif.
Peran logika dalam filsafat ilmu menurut
Suwardi Endarswara (2012), logika sebagai esensi filsafat ilmu. Logika berasal
dar kata Yunani “logos” yang berarti ucapan, kata, akal budi, dan ilmu.
Selanjutnya dijelaskan dalam filsafat ilmu, jelas tidak mungkin tanpa menggunakan
logika. Untuk menjelaskan dan memahami suatu gejala keilmuan, logika selalu
hadir. Logika menjadi wahana pokok keilmuwan. Secara leksikal, Oxford
Dictionary mendefinisikan logika sebagai “science of reasoning, correct
or in correct use of argument, abitily in argument, arguments.” Hal ini
senada dengan pertanyaan dalam Meriam Webster’s Desk Dictionary,
menjelaskan bahwa logika adalah “a science that deals sith rules and test of
sound thinking and proof by reasoning.” Dalam kamus Oxford juga disebut
bahwa aslinya istilah lengakap untuk logika yaitu logike tekhne, yang
artinya seni atau keterampilan berfikir.
Apa yang disimpulkan dari pengertian
tersebut? Pengertian etimologi dan leksikal mengenai logika sebagaimana
dikemukakan di atas menegaskan dua hal sekaligus yang menjadi inti pengertian
logika, antara lain: Pertama, logika sebagai ilmu , logika yaitu elemen dasar
setiap ilmu pengetahuan. Kedua, logika sebagai seni atau keterampilan, yaitu
seni atau asas-asas pemikiran yang tetap, lurus dan semestinya. Sebagai
keterampilan, logika yaitu seni dan kecakapan menerapkan hukum atau asas-asas
pemikiran itu agar bernalar dengan tepat, teliti dan teratur.
Kalau begitu filsafat ilmu juga
mengajak para ilmuwan untuk berpikir secara logis, agar ilmu yang demikian
semakin terpercaya. Menurutnya dipandang dar aspek waktu dan kecanggihanya.
Logika dapat dibagikan menjadi dua bagian, yaitu: pertama, logika tradisional
atau logika naturalis, yaitu cara berpikir yang sederhana berdasarkan kodrat atau
naluri fitrah manusia sejak lahir sudah dilengkapi dengan alat berpikir. Kedua,
logika modern atau logika artifisialis yang dipelopori oleh Arisetoteles dalam
bukunya Organeri, yang berarti instrument atau alat ukur berpikir.
2.2 SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA
Logika pertama-tama disusun oleh
Aristoteles (384-322 SM), sebagai sebuah ilmu tentang hukum-hukum berpikir guna
memelihara jalan pikiran dari setiap kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada
waktu itu, disebut dengan nama “analitika” dan “dialektika”. Kumpulan karya
tulis Aristoteles mengenai logika diberi nama Organon, terdiri atas enam
bagian. Theoprastus
(371-287 sM), memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah penafsirannya
tentang pengertian yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap
kesimpulan. Kemudian, Porphyrius (233-306 M), seorang ahli pikir di
Iskandariah menambahkan satu bagian baru dalam pelajaran logika. Bagian baru
ini disebut Eisagoge, yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian
baru ini dibahas lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di
dalam alam, yang biasa disebut dengan klasifikasi. Dengan demikian, logika
menjadi tujuh bagian.
Tokoh logika pada zaman Islam adalah Al-Farabi (873-950 M) yang
terkenal mahir dalam bahasa Grik Tua, menyalin seluruh karya tulis Aristoteles
dalam berbagai bidang ilmu dan karya tulis ahli-ahli pikir Grik lainnya.
Al-Farabi menyalin dan memberi komentar atas tujuh bagian logika dan menambahkan
satu bagian baru sehingga menjadi delapan bagian.
Karya
Aristoteles tentang logika dalam buku Organon dikenal di dunia Barat
selengkapnya ialah sesudah berlangsung penyalinan-penyalinan yang sangat luas
dari sekian banyak ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin.
Penyalinan- penyalinan yang luas itu membukakan masa dunia Barat kembali
akan alam pikiran Grik Tua. Petrus Hispanus (meninggal 1277 M) menyusun
pelajaran logika berbentuk sajak, seperti All-Akhdari dalam dunia Islam, dan bukunya
itu menjadi buku dasar bagi pelajaran logika sampai abad ke-17. Petrus Hispanus
inilah yang mula-mula mempergunakan berbagai nama untuk sistem penyimpulan yang
sah dalam perkaitan bentuk silogisme kategorik dalam sebuah sajak. Dan kumpulan
sajak Petrus Hispanus mengenai logika ini bernama Summulae.
2.3 BAHASA LOGIKA
Bahasa merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat
komunikasi manusia. Dan khusus alat komunikasi ilmiah disebut dengan bahasa
ilmiah, yaitu kalimat berita yang merupakan suatu pernyataan-pernyataan atau
pendapat-pendapat. Bahasa sangat penting juga dalam pembentukan penalaran
ilmiah karena penalaran ilmiah mempelajari bagaimana caranya mengadakan uraian
yang tepat dan sesuai dengan pembuktian-pembuktian secara benar dan
jelas. Bahasa secara umum dibedakan antara bahasa alami dan bahasa
buatan. Bahasa alami ialah bahasa sehari-hari yang biasa digunakan untuk
menyatakan sesuatu, yang tumbuh atas dasar pengaruh alam sekelilingnya,
dibedakan antara bahasa isyarat dan bahasa biasa. Bahasa buatan ialah
bahasa yang disusun sedemikian rupa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan akal
pikiran untuk maksud tertentu, yang dibedakan antara bahasa istilahi dan bahasa
artifisial. Bahasa buatan inilah yang dimaksudkan bahasa ilmiah, dirumuskan
bahasa buatan yang diciptakan oleh para ahli dalam bidangnya dengan
menggunakan istilah-istilah atau lambang-lambang untuk mewakili
pengertian-pengertian tertentu.
Sebagai pernyataan pikiran atau perasaan dan
juga sebagai alat komunikasi manusia karena bahasa mempunyai 3 fungsi pokok,
yakni fungsi ekspresif atau emotif, fungsi afektif atau praktis, dan fungsi
simbolik dan logik. Khusus untuk logika dan juga untuk bahasa ilmiah yang harus
diperhatikan adalah fungsi simbolik karena komunikasi ilmiah bertujuan untuk
menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini
berjalan dengan baik maka bahasa yang dipergunakan harus logik terbebas dari unsur-unsur
emotif. Bahasa yang diungkapkan dalam bentuk pernyataan atau kalimat deklaratif
jika ditinjau berdasarkan isinya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
pernyataan analitik dan pernyataan sintetik Pernyataan
(statement) dalam logika ditinjau dari segi bentuk hubungan makna yang
dikandungnya, pernyataan itu disamakan juga dengan proposisi. Proposisi atau
pernyataan berdasarkan bentuk isinya dibedakan antara 3 macam, yakni
proposisi tunggal, proposisi kategorik, dan proposisi majemuk.
Tiga macam proposisi atau pernyataan di atas yang sebagai dasar
penalaran adalah proposisi kategorik untuk penalaran kategorik, dan proposisi
majemuk untuk penalaran majemuk. Adapun proposisi tunggal atau proposisi simpel
pengolahannya dapat masuk dalam penalaran kategorik dan dapat juga masuk
dalam penalaran majemuk.
2.4 PENGERTIAN DEDUKSI
Deduksi adalah kegaiatn berpikir yang
sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari
pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan
yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan yang secara deduktif biasanya
mempergunakan pola berpikir yang dinamakan silogismus. Silogismus yang disusun
dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung
silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis
mayor dan premis minor. Kesimpulan merupakan pengetahuan yang didapat dari
penalaran deduktif yang berdasarkan kedua premis tersebut. Dari contoh kita
sebelumnya kita dapat membuat silogismus sebagai berikut.
Semua
makhluk mempunya mata (Premis mayor)
Si
Polan adalah seorang makhluk (Premis Minor)
Jadi
si Polan mempunyai mata (Kesimpulan)
Kesimpulan yang
diambil bahwa si Polan mempunyai mataadalah sah menurut penalaran deduktif,
sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya.
Pernyataan apakah kesimpulan itu benar maka hal ini haus dikembalikan kepada
kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya kedua premis yang mendukungnya
adalah benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga adalah
benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar,
sekiranya cara penarikan kesimpulannya adalah tidak sah.
Dengan demikian
maka ketetapan penarikan kesimpulan tergantung dari tiga hal yakni kebenaran
premis mayor, premis minor, dan keabsahan mengambil kesimpulan. Sekiranya salah
satu dari ketiga unsur tersebut persyaratanya tidak dapat dipenuhi maka
kesimpulan yang akan ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang
disusun secara deduktif. Argumentasi matematik seperti a sama dengan b dan b
bila sama dengan c maka a sama dengan c merupakan suatu penalaran deduktif.
Kesimpulan yang berupa pengetahuan baru bahwa a sama dengan c pada hakikatnya
bukan merupakan pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekedar
konsenkuensi dari dua pengetahuan yang sudah kita ketahui sebelumnya, yakni
bahwa a sama dengan b dan b sama dengan c. Tak pernah ada kejutan dalam
logika,, simpul Wittgenstein, sebab pengetahuan yang diperoleh kebenaran
tautologis[2].
Namun benarkah ulangan matematika tak pernah menimbulkan surprise; seperti
pertanyaan Taufiq Ismail dalam Sajak Ladang Jagung: bagaimana kalau bumi
bukan bulat, tapi segi empat?[3]
Penarikan pengetahuan
baru secara tidak langsung dilakukan berdasarkan dua premis atau lebih; yang
didasarkan dua premis disebut silogisme. Jadi, dapat diakatakan silogisme
merupakan bentuk formal sebagai sarana untuk menarik kesimpulan yang baru.
Silogisme selalu terdiri dari tiga proposi yaitu dua premis dan kesimpulan.
2.5 KRITERIA KEBENARAN
Teori kebenaran yang didasarkan kepad criteria tersebut diatas
disebut teori koherensi. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan
teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat
koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Bila kita menganggap bahwa “manusia pasti akan mati” adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Polan adalah seorang manusia
dan si Polan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah
konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Matematika adalah
bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori
koheren. Sistem matematika di susun atas beberapa dasar pernyataan yang
dianggap benar yakni aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma maka
disusun teorema. Diatas teorema maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang
secara keseluruhan merupakan suatu sistem konsisten. Plato (427-347 S.M) dan
Aristoteles (384-322 S.M.) mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola
pemikiranya yang dipergunakan Ecluid dalam menysun ilmu ukuranya.
Pahamlain adalah
kebenaran yang berdasarkan kepada teori korespondensi, dimana eksponen utamanya
adalah Bertrand Russell(1872-1970). Bagi penganut teori korespondensi maka
suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang di kandung
pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh
pernyataan tersebut. Maksudnya jika seseorang mengatakan bahwa “Ibu Kota
Replubik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu benar sebab pernyataan
itu dengan obyek yang bersifat factual yakni Jakarta yang menjadi Ibu Kota
Replubik Indonesia. Sekiranya orang lain yang menyatakan bahwa “Ibu Kota
Replubik Indonesia adalah Bandung” maka pernyataan itu bukanlah benar sebab
tidak terdapat obyek yang dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara
factual “Ibu Kota Replubik Indonesia adalah bukan Bandung melainkan Jakarta.”
Kedua teori kebenaran ini yakni teori
koherensi dan teori korespondensi kedua-duanya dipergunakan dalam cara berpikir
ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan
teori koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk
pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu mempergunakan
teori kebenaran yang lain disebut teori kebenaran paragmatis.
Teori paragmatis
dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit
pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our ideas Clear”. Teori ini kemudian
dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah kebangsaan
Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika.
Ahli filsafat ini diantaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey
(1859-1952), George Herbert Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.
Bagi seorang
paragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu
pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsenkuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan parktis dalam kehidupan manusia. Sekiranya ada orang
yang menyatakan sebuah teori X dalam pendidikan, dan dengan teori X tersebut
dikembangkan teknik Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X itu
dianggap benar, sebab teori X ini adalah fungsional dan mempunyai kegunaan.
Paragmatis bukanlah suatu aliran filsafat yang mempunyai doktrin-doktrin
filsafati melainkan teori dalam penentuan criteria kebenaran sebagaimana
disebutkan diatas. Kaum paragmatis berpaling kepada metode ilmiah sebagai
metode untuk mencari pengetahuan tentang ala mini yang dianggapnya fungsional
dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala ilmiah. Criteria paragmatis ini
juga dipergunakan oleh ilmuwan dan menentukan kebenaran ilmiah dilihat dari
prespektif waktu. Secara historis maka mungkin tidak lagi demikian. Di hadapkan
dengan masalah seperti ini maka ilmuwan bersifat paragmatis: selama pernyataan
itu fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar:
sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan
ilmu itu sendiri menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu
ditinggalkan. Pengetahuan ilmiah memang tidak berumur panjang. Seperti
diungkapkan sebuah pengumpulan pendapat dikalangan ahli-ahli fisika, bahwa
teori tentang partikel takkan berumur lebih empat tahun. Untuk ilmu-ilmu
lainnya yang agak kurang berhasil menentukan hal-hal yang baru, seperti
embriologi, sebuah revisi dapat diharapkan tiap kurun waktu lima belas tahun.[4]
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Didalam
penalaran ditemukan logika. Logika melahirkan deduksi dan induksi, secara umum
induksi dan induksi suatu proses pemikiran untuk menghasilkan suatu kesimpulan
yang benar didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki. Deduksi dihasilkan dari
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan bersifat khusus,
sementara induksi merupakan cara berpikir di mana ditarik kesimpulan umum dari
berbagai kasus yang bersifat individual.
Metode ilmiah berkaitan dengan gabungan dari
metode deduksi dan metode induksi. Jadi suetu proses pemikiran dapat dituangkan
dalam pembuatan metode ilmiah tersebut, dan metode ilmiah juga membuktikan
tentang penalaran yang melahirkan logika dibantu dengan metode deduksi dan
induksi maka akan menghasilkan pengetahuan yang baru. Dengan metode ilmiah
pengetahuan akan dianggap sah adanya.
DAFTAR PUSTAKA
Latif, Mukhtar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2014.
Akhadiah, Sabarti dan Winda Dewi. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta:
Kencana, 2011.
Suriasumantri, S. Filsafat Ilmu Sebuah pengantar Populer. Jakarta:
CV. Muliasari, 2000.
Susanto, A. Filsafat Ilmu Suatu Kajian dalan Dimensi Ontologis,
Epistemologis, dan Aksiologis. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2011.
Sudarto. Merodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1997.
[1] William S. Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, Realism of
Philoshopy (Cambridge, Mass.: Schenkman,1965), hlm.3
[2] Ludwig von Wittgenstein, Tractatus Logico
Philosophicus ( London: Routledge & Kegan Paul, 19720, hlm. 129.
[3] Taufiq Ismail, loc.cit.
[4] Joseph
J.Schwab, The Teaching of Science as Enguery (Cambridge: Hardvard.
University Press, 1962, hlm. 20.
No comments:
Post a Comment