Wednesday 13 June 2018

Filsafat Positivisme Comte Dan Neopositivisme serta Perlawanan Popper


Pembahasan
·         Positivisme
            Positivisme berasal dari kata “positif” yang berarti faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Positivism, mengutamakan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Perbedaan positivisme dengan empirisme adalah bahwa positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah, tetapi hanya mengandalkan fakta-fakta belaka. Posivisme pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang dilahirkan di Monpellier. Karya utama Aguste Comte paling terkenal adalah ‘Cours Philosophie Positive (Kursus tentang Filsafat Positif)’.[1]
·         Positivisme Comte Dan Neopositivisme serta Perlawanan Popper
            Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang dibangun oleh Auguste Comte (1798-1857). Intinya positivisme ingin membersihkan ilmu dari spekulasi-spekulasi yang tidak dapat dibuktikan secara positif. Comte ingin mengembangkan ilmu dengan melakukan percobaan (eksperimen) terhadap bahan faktual yang terdapat dalam kenyataan empiris, bukan dengan jalan menyusun spekulasi-spekulasi rasional yang tidak dapat dibuktikan secara positif lewat eksperimen.
            Bagi Comte, potivisme merupakan tahap akhir atau puncak dalam perkembngan pemikiran manusia dalam tiga tahap, yaitu:
1.      Tahap mistik-teologis
2.      Tahap metafisika
3.      Tahap positif

Pada tahap positiflah  penyelidikan ilmiah benar-benar berkembang dan ilmu sungguh sungguh dapat dipertanggungjawabkan.[2]
      Positivisme Comte di kemudian hari dikembangkan lebih lanjut oleh para pemikir yang dikenal dengan lingkaran Wina yang didirikan tahun 1942. Anggota Kelompok Wina antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hanh (1880-1934), Otto Newrath (1882-1945), Hans Reichentbach (1891-1955), dan Victor Kraft (1880-1975).
      Kelompok ini bertujuan memperbarui positivisme klasik ciptaan Comte dan memperbaiki kekurangan-kekurangannya. Mereka mendapat pengaruh dari empirisme dan positivisme (Hume, John Stuart Mill, dan Ernst Mach), metode ilmu empiris yang dikembangkan ilmuwan sejsk abad ke-19 (Poincare dan Einstein), serta perkembangan logika simbolis dan analisis logis (Frege, Wittgenstein, B. russel, dan Witehead).
      Lingkaran Wina juga dikenal denhan nama neopositivisme, positivisme logis, dan empirisme logis.
      Pokok-pokok pikiran kelompok Wina tentang ilmu yaitu:
1.      Sumber pengetahuan adalah pengalaman, pengalaman tentang data-data indriawi.
2.      Dalil-dalil metamatika yang tidak dihasilkan melalui pengalaman diakui keberadaannya dan digunakan untuk mengolah data pengalaman indriawi.
3.      Pernyataan-pernyataan dinyatakan bermakna jika terbuka untuk diverifikasi (dibuktikan secara empiris), peenyataan-pernyataan yang tidak dapat diverifikasi seperti etika, estetika, dan metafisika dinyatakan sebagai pernyataan yang tidak bermakna.
4.      Menolak pembedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social.
5.      Berupaya mempersatukan semua ilmu di dalam suatu bahasa ilmiah yang bersifat universal.



Kelompok Wina beranggapan bahwa pembicaran tentang filsafat ilmu pada hakikatnya adalah pembicaraan tentang logika ilmu. Olwh karena itu, harus disusun berdasarkan analogi formal yang menekankan bentuk, bukan isi proposisi dan argumen. Yang dipentingkan bukan kenyataan ilmu, melainkan yang seharusnya terjadi di dalam ilmu.[3]

Karl Raimund Popper menentang kelompok Wina. Bagi popper bermaknanya suatu ungkapan/pernyataan tidak ditentukan oleh verifikasi atau pengujian secara empiris. Popper lebih menekankan perbedaan antara pernyataan ilmiah dan tidak ilmiah, bukan perbedaan antara  pernyataan yang bermakna dan tidak bermakna.
Popper mengatakan hukum-hukum ilmiah dapat berlaku bukan dengan cara pembenarannya lewat verifikasi, melainkan lewat falsifikasi atau dapat dibuktikan salah. Dalam bentuk operasionalnya, jika kita telah dapat menyusun hipotesis, yang harus dilakukan bukanlah mengumpulkan sebanyak mungkin data untuk mendukung atau membenarkan hipotesi, melainkan, mencari data untuk membuktikan bahwa hipotesis itu salah. Jika hipotesis itu dapat bertahan atau tidak dapat dibuktikan salah maka untuk sementara hipotesis itu dapat diterima. Jika dapat dibuktikan salah maka ituharus ditinggalkan dan diganti oleh hipotesis baru. Dengan cara seperti inilah ilmu dapat berkembang maju.[4]
Untuk memperjelas pendapat Popper tentang falsifikasi berikut ini dikutip contoh yang diberikannya: “Dengan observasi terhadap angsa putih, tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi”.[5]


[1] A. Susanto, FILSAFAT ILMU: SUATU KAJIAN DALAM DIMENSI ONTOLOGIS, EPISTIMOLOGIS, DAN AKSIOLOGIS,  Jakarta, PT Bumi Aksara, 2011, hal.40-41
[2] Aceng Rahmat, Filsafat Ilmu Lanjutan, Hal.171-172
[3] Ibid hal. 173
[4] Ibid hal.173
[5] Ibid hal. 174

No comments:

Post a Comment