Pembahasan
·
Positivisme
Positivisme berasal dari kata
“positif” yang berarti faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta. Menurut
positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Positivism,
mengutamakan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Perbedaan positivisme
dengan empirisme adalah bahwa positivisme tidak menerima sumber pengetahuan
melalui pengalaman batiniah, tetapi hanya mengandalkan fakta-fakta belaka.
Posivisme pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte (1798-1857) yang
dilahirkan di Monpellier. Karya utama Aguste Comte paling terkenal adalah ‘Cours
Philosophie Positive (Kursus tentang Filsafat Positif)’.[1]
·
Positivisme
Comte Dan Neopositivisme serta Perlawanan Popper
Positivisme merupakan suatu aliran
filsafat yang dibangun oleh Auguste Comte (1798-1857). Intinya positivisme
ingin membersihkan ilmu dari spekulasi-spekulasi yang tidak dapat dibuktikan
secara positif. Comte ingin mengembangkan ilmu dengan melakukan percobaan
(eksperimen) terhadap bahan faktual yang terdapat dalam kenyataan empiris,
bukan dengan jalan menyusun spekulasi-spekulasi rasional yang tidak dapat
dibuktikan secara positif lewat eksperimen.
Bagi Comte, potivisme merupakan
tahap akhir atau puncak dalam perkembngan pemikiran manusia dalam tiga tahap,
yaitu:
1.
Tahap
mistik-teologis
2.
Tahap
metafisika
3.
Tahap
positif
Pada tahap positiflah
penyelidikan ilmiah benar-benar berkembang dan ilmu sungguh sungguh
dapat dipertanggungjawabkan.[2]
Positivisme Comte di kemudian
hari dikembangkan lebih lanjut oleh para pemikir yang dikenal dengan lingkaran
Wina yang didirikan tahun 1942. Anggota Kelompok Wina antara lain: Moritz Schlick
(1882-1936), Hans Hanh (1880-1934), Otto Newrath (1882-1945), Hans Reichentbach
(1891-1955), dan Victor Kraft (1880-1975).
Kelompok ini bertujuan
memperbarui positivisme klasik ciptaan Comte dan memperbaiki
kekurangan-kekurangannya. Mereka mendapat pengaruh dari empirisme dan
positivisme (Hume, John Stuart Mill, dan Ernst Mach), metode ilmu empiris yang
dikembangkan ilmuwan sejsk abad ke-19 (Poincare dan Einstein), serta
perkembangan logika simbolis dan analisis logis (Frege, Wittgenstein, B.
russel, dan Witehead).
Lingkaran Wina juga
dikenal denhan nama neopositivisme, positivisme logis, dan empirisme logis.
Pokok-pokok pikiran
kelompok Wina tentang ilmu yaitu:
1.
Sumber
pengetahuan adalah pengalaman, pengalaman tentang data-data indriawi.
2.
Dalil-dalil
metamatika yang tidak dihasilkan melalui pengalaman diakui keberadaannya dan
digunakan untuk mengolah data pengalaman indriawi.
3.
Pernyataan-pernyataan
dinyatakan bermakna jika terbuka untuk diverifikasi (dibuktikan secara
empiris), peenyataan-pernyataan yang tidak dapat diverifikasi seperti etika,
estetika, dan metafisika dinyatakan sebagai pernyataan yang tidak bermakna.
4.
Menolak
pembedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu social.
5.
Berupaya
mempersatukan semua ilmu di dalam suatu bahasa ilmiah yang bersifat universal.
Kelompok
Wina beranggapan bahwa pembicaran tentang filsafat ilmu pada hakikatnya adalah
pembicaraan tentang logika ilmu. Olwh karena itu, harus disusun berdasarkan
analogi formal yang menekankan bentuk, bukan isi proposisi dan argumen. Yang
dipentingkan bukan kenyataan ilmu, melainkan yang seharusnya terjadi di dalam
ilmu.[3]
Karl
Raimund Popper menentang kelompok Wina. Bagi popper bermaknanya suatu
ungkapan/pernyataan tidak ditentukan oleh verifikasi atau pengujian secara
empiris. Popper lebih menekankan perbedaan antara pernyataan ilmiah dan tidak
ilmiah, bukan perbedaan antara
pernyataan yang bermakna dan tidak bermakna.
Popper
mengatakan hukum-hukum ilmiah dapat berlaku bukan dengan cara pembenarannya lewat
verifikasi, melainkan lewat falsifikasi atau dapat dibuktikan salah. Dalam
bentuk operasionalnya, jika kita telah dapat menyusun hipotesis, yang harus
dilakukan bukanlah mengumpulkan sebanyak mungkin data untuk mendukung atau
membenarkan hipotesi, melainkan, mencari data untuk membuktikan bahwa hipotesis
itu salah. Jika hipotesis itu dapat bertahan atau tidak dapat dibuktikan salah
maka untuk sementara hipotesis itu dapat diterima. Jika dapat dibuktikan salah
maka ituharus ditinggalkan dan diganti oleh hipotesis baru. Dengan cara seperti
inilah ilmu dapat berkembang maju.[4]
Untuk
memperjelas pendapat Popper tentang falsifikasi berikut ini dikutip contoh yang
diberikannya: “Dengan observasi terhadap angsa putih, tidak dapat sampai pada
kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu
kali observasi terhadap seekor angsa hitam untuk menyangkal pendapat tadi”.[5]
No comments:
Post a Comment