Wednesday 13 June 2018

makalah teologi kalam Allah



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar belakang
Pada umumnya pendapat Abu Ḥanifah tentang kalam sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan Ḥadīts. Karena menurutnya al-Qur’an dan Ḥadits  adalah  dua  sumber  primer  di  dalam  Islam  yang  wajib  diikuti. Selain berpegang kepada al-Qur’an dan Ḥadits, ia juga banyak menggunakan dalil-dalil ‘aqliyyah sehingga  banyak  ulama  yang  menyebutnya  sebagai ahl  al-ra’y (orang-orang  yang  menempatkan  rasio  pada  posisi  tertinggi). Perpaduan antara ketiganya (al-Qur’an, Ḥadits dan rasio) inilah yang membuat setiap argumennya sulit untuk dibantah oleh setiap lawannya sehingga pendapatnya banyak diikuti oleh generasi setelahnya. Selain itu, pendapat Abu Ḥanifah juga memiliki banyak persamaan dengan pendapat-pendapat imam ahl al-sunnah wa al-jama‘ah dan bahkan menurut ‘Ali Sami al-Nasysyar, Abu Ḥanifah beserta  ulama  salafdari golongan ahl al-ḥadīts adalah penabur benih paham ahl al-sunnah wa al-jamā‘ah sebelum  di-bentuk  formulasi  yang  baku  oleh  Abu al-Ḥasan  al-Asy‘ari dan  Abu Manṣur al-Maturidi.Pendapat Abu Ḥanifah yang paling terkenal adalah pendapatnya tentang sifat Tuhan. Di saat dunia Islam dihebohkan dengan pendapat Mu‘tazilah bahwa Allah tidak mempunyai sifat (ta‘ṭil al-ṣifat), dilain pihak ada kolompok yang mengatakan bahwa sifat Allah identik dengan makhluk-Nya (tasybih).

Abu Ḥanifah membuat sintesis dengan mengambil sikap di antara paham ta‘ṭil dan tasybih. Paham ta‘ṭil menurutnya telah mengingkari sifat Tuhan yang ter-dapat di dalam ẓahir ayat al-Qur’an, sementara paham tasybih telah mempersama-kan sifat Tuhan yang terdapat di dalam al-Qur’an dengan sifat makhluk. Menurut-nya kedua paham ini telah menyalahi naṣ dan bertentangan dengan akal sehat (al-‘aql al-salīm).  Sikap yang diambil dalam masalah ini adalah menetapkan sifat Tuhan seperti wajah (wajh), tangan (yad), mata (‘ayn) dan lain-lain. Sebagaimana yang terdapat di dalam al-Qur’an (khabar al-ṣadiq), dan tidak dipersepsikan dengan bentuk (ṣurah) yang sama dengan makhluk.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana sejarah kemunculan Ilmu Kalam ?
2.      Apa pendapat Imam Hanafi mengenai Kalam ?
3.      Apa pendapat Imam Maliki mengenai Kalam ?

C.     Tujuan penulisan
1.      Dapat mengetahui sejarah munculnya Ilmu Kalam
2.      Mengerti Ilmu Kalam dari pandangan Imam Hanafi dan Imam Maliki

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Sejarah Munculnya Ilmu Kalam

Adapun yang melatar belakangi sejarah munculnya persoalan-persoalan kalam adalah disebabkan faktor-faktor politik pada awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh kemudian digantikan oleh Ali menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan. Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.

Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab ( 634-644 ) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah. Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim, salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 ).
Perselisihan di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib ( 656-661 ) dengan terjadinya perang saudara, pertama, perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan perang jamal, kedua, perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali, sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan tahkim ( Arbritrase ).

Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan, menjadi pendukung  kekhalifahan 'Ali Ibn Abi Thalib, Khalifah IV. Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali, karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” di situ ‘Ali mengalami kekalahan di plomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Karena sikap-sikap mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu’tazilah. Mereka inilah sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti yang kita kenal sekarang.

Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah keahlian khusus kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran Jabariyyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam, yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah seperti perjalanan hukum alam. Kaum Mu’tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya kaum Jahmi. Kaum Mu’tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu’tazilah disebut sebagai “titisan” doktrinal (namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu’tazilah banyak mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi monopoli kaum Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak, bernama Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam pikiran Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum Sunni.

Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy’ari, juga dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah kedudukan penalaran rasional (‘aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql, “salinan” atau “kutipan”), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum “liberal”, seperti golongan Mut’azilah,cenderung mendahulukan akal, dan kaum “konservatif” khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta’wil), sebagaimana telah kita bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy’ari cenderung mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan “bi la kayfa” (tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim) –menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan lain-lain. Metode al-Asy’ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur kesuksesan sistemnya.Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy’ari, juga epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam al-Asy’ari pun banyak menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq) Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih daripada hasil ta’aqqul (intelektualisasi).

B.     Pemikira Kalam Imam Hanafi
Pada pembahasan tentang kalam Allah setidaknya ada tiga macam diskursus yang diangkat dalam pemikiran kalam Abu Ḥanifah. Pertama, menurutnya kalam Allah berdiri pada dzat-Nya yang berarti ia bersifat qadim. Kedua, di lain pihak banyak juga pendapat yang mengatakan bahwa menurut Abu Ḥanifah al-Qur’an adalah makhluk. Ketiga, ada indikasi Abu Ḥanifah membuat diferensiasi antara kalam nafsi dan kalam lafẓi. Berikut penjelasannya:
1.      Kalam Allah Berdiri Pada Dzat-Nya
Pandangan Abu Ḥanifah tentang kalam Allah tidak terlepas dari pandangan-nya tentang sifat Tuhan. Menurutnya semua sifat Tuhan (baik sifat dzat atau sifat fi‘l) adalah qadim (terdahulu) yang mempunyai pengertian tidak diciptakan (ghayr mujid) dari suatu ketiadaan (‘adam).  Salah satu sifat Tuhan adalah berbicara (kalam) yang bersifat qadim seperti dzat Tuhan. Dengan gaya bahasa yang sangat filosofis ia menyebutkan bahwa kalam Allah berdiri pada dzat-Nya (kalam Allāh qa’im bi dzatihi)[1]. Karena kalam Allah berdiri pada dzat-Nya yang qadam dan tidak terpisah (la yanfakku) dari-Nya maka hal ini menjadikan kalam Allah bersifat qadam seperti dzat-Nya.
Abū Ḥanifah membedakan antara kalam Allah yang qadim dengan kalam manusia yang baru (muḥdats). Adapun kalam Allah yang qadimyang berdiri pada dzat-Nya  tidak  bisa  didengar  dengan  telinga,  tidak bisa  dilihat  dengan  mata,  dan wujudnya  abstrak  (immaterial).  Berbeda dengan kalam manusia yang serba bisa diindra (material).
Pendapat Abu Ḥanifah tentang kalam Allah yang berdiri pada dza-Nya yang bersifat qadim, tidak terlepas dari bantahannya kepada kelompok Mu‘tazilah yang berkembang pesat pada masa itu yang dimotori oleh Waṣil bin ‘Aṭa’. Menurut kelompok Mu‘tazilah kalam Allah bukanlah sifat-Nya, melainkan perbuatannya. Bagi mereka kalam Allah adalah baru (muḥdats) dan diciptakan (makhluq). Dengan disertai dengan argumentasi rasional, ‘Abd al-Jabbar menjelaskan tentang kebaruan kalam Allah bahwa kalam Allah (al Qur’ān) terdiri dari huruf, ayat dan surat. Huruf yang satu mendahului huruf yang lain, ayat yang satu mendahului ayat yang lain, surat  yang  satu  mendahului  surat  yang  lain,  dan  sebagainya.  Adanya sifat saling mendahului di antara huruf, ayat, dan surat mengindikasikan bahwa kalam Allah adalah baru (muḥdats).[2]
Abu Ḥanifah sendiri memandang bahwa kalam Allah yang majazi sebagai baru sebagaimana layaknya argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok Mu‘tazilah. Tetapi di samping ada kalam Allah yang majazi juga ada kalam Allah yang ḥaqiqi. Kalam Allah yang ḥaqiqi yang berada di lawḥmaḥfu ẓadalah qadim karena berdiri pada dzat-Nya yang qadim, sedangkan kalam Allah yang majazi yang dapat diindera dan berbentuk muṣḥaf adalah baru (muḥdats). Pernyataan tersebut menjadi dasar bagi Abu Ḥanifa untuk membuat diferensiasi antara kalam Allah yang ḥaqiqi sebagai kalam nafsi, dan kalam Allah yang majazi sebagai kalam lafẓi. Kalam nafsiadalah qadim, sedangkan kalam lafẓiadalah baru (muḥdats).
Kelompok Mu‘tazilah menolakadanya kalam nafsi karena faktor:
Pertama, batasan kalam menurut mereka adalah huruf yang tersusun dan mengandung suara.
Sesuatu yang bukan huruf dan suara tidak dapat dikatakan sebagai kalam.
Kedua, sesuai dengan salah satu ajaran mereka yaitu al-tawḥid, mereka menolak adanya yang qadim selain dzat Allah (la qadima illa Allah). Seandainya kalam Allāh qadim, akan terjadi banyak yang qadim (ta‘addud al-qudama’), hal ini mustahil.
Ketiga, kalam  Allah  dalam  pandangan  mereka  bukan termasuk sifat  Allah, melainkan perbuatan-Nya  (fi‘l Allāh)  karena  ada  keterkaitannya  dengan  makhluk  (manusia) yang baru. Sehubungan dengan itu maka mutakallim (pembicara) menurut mereka adalah subjek yang berbicara (fā‘il al-kalam), oleh karena itu, kalam sebagai perbuatan Allāh tergolong kepada baru, karena ia tidak ada, kecuali ketika Allah menghendaki berbuat kalam.[3]

2.      Problematika Kemakhlukan Al-Qur’an
Aba Hilal al-‘Askari (w.395 H) mengatakan di dalam al-Awa’il bahwa perdebatan seputar kemakhlukan al-Qur’an mulai muncul pada masa Abu Ḥanifah. Adapun orang pertama yang mengatakan al-Qur’an makhluk adalah al-Ja‘d bin Dirham (w.124 H) yang kemudian diikuti oleh Jahm bin Ṣafwan (w.132 H). Ada satu riwayat yang dituduhkan kepada Abu Ḥanifah ketika ia ditanya apakah al-Qur’an itu makhluk atau bukan, Ia menjawab bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ia beralasan bahwa orang yang bersumpah dengan mengatakan, ‘Demi al-Qur’an, saya tidak melakukan (perbuatan) ini’, maka ia telah bersumpah dengan nama selain Allāh. Sedangkan sesuatu selain Allāh adalah makhluk.[4]
Abu Ḥanifah seperti yang diduga oleh Abu Hilal al-‘Askarī menyamakan masalah kemakhlukan al-Qur’an dengan memakai pendekatan fikih dalam masalah sumpah (yamin). Jika sumpah dengan nama selain Allah maka sumpahnya tidak sah.
Dalam hal ini al-Qur’an bukan termasuk nama Allah, maka sumpah dengan nama al-Qur’an (seperti wa al-Qur’an, demi al-Qur’an) tidak sah. Karena segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Al-Qur’an bukan Allah, maka ia makhluk.[5]

Pendapat Abu Ḥanifah tentang al-Qur’an sebagaimana disebut di atas sangat jelas menyatakan bahwa al-Qur’an adalah qadim bukan makhluk (baru). Apakah ada pertentangan antara perkataan di dalam al-Fiqh al-Akbar dengan pendapat Abu Hilal al-‘Askari? Bagaimana cara mengompromikan kedua pendapat yang nampak bertentangan antara satu dengan lainnya? Terlebih pendapat Abu Ḥanifah tentang kemakhlukan al-Qur’an sesuai dengan pendapat madzhab Ḥanafi dalam bidang fikih dalam masalah sumpah (yamin). ‘Ali Sami al-Nasysyar menawarkan ada tiga macam cara menyelesaikan masalah di atas yaitu:[6]
Pertama, kita menolak bahwa kitab al-Fiqh al-Akbar sebagai karangan tangan dari Abu Ḥanifah tetapi karangan yang dinisbatkan kepadanya (yang ditulis oleh murid-muridnya).
Kedua, persoalan tentang kemakhlukan al-Qur’an memang sudah menjadi concern Abu Ḥanifah dan pada awalnya ia berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Kemudian para muridnya mengganti pendapat gurunya tersebut dan menetapkan keqadiman al-Qur’an.
Ketiga, Abu Ḥanifah dalam persoalan kemakhlukan al-Qur’an membagi kalam menjadi dua macam, yaitu kalam nafsi yang bersifat qadim dan kalam lafẓi yang bersifat baru. 
Ada juga yang berpendapat tuduhan kepada Abu Ḥanifah bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebaiknya dibiarkan saja karena tidak mencederai diri (muru’ah) Abu Ḥanifah sendiri, itu merupakan bagian dari siasat politik. Bukan hanya Abu Ḥanifah yang dituduh mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, tetapi banyak dari ulama-ulama salaf lainnya yang dituduh demikian seperi al-Bukhari pengarang kitab al-Ṣaḥiḥ dan Dawud bin ‘Ali pendiri madzhab ẓahiri.[7]
Tetapi banyak juga ulama terdahulu (al-salaf al-ṣaliḥin) yang melakukan pembelaan dan klarifikasi terkait persoalan ini. Salah satunya adalah statemen yang dikemukakan oleh ‘Abdullah bin al-Mubarak bahwa tidaklah Abu Ḥanifah meninggal dunia dengan meyakini al-Qur’an adalah makhluk. Nampaknya pendapat kemakhlukan al-Qur’an yang dialamatkan kepada Abu Ḥanifah berasal dari pendapat Sufyan al-Tsawri (w.161 H) ketika mengatakan Abu Ḥanifah pernah diminta bertaubat karena menganggap al-Qur’an adalah makhluk. Sontak pendapat Sufyan ini mendapat reaksi keras dari ‘Abdullah bin Dāwud dengan mengatakan, ‘Demi Allah ucapan ini adalah dusta’. Ibn Dawud meneruskan, bagaimana tidak, pada saat itu di Kufah ada ‘Ali dan al-Ḥasan bin Ṣaliḥ yang keduanya wara‘ di tempat tersebut, tetapi mereka tidak mengkritisi pendapat Abu Ḥanifah. Terlebih saya (Ibn Dawud) sudah lama tinggal di Kufah dan tidak pernah mendengar Abu Ḥanifah mengatakan demikian (al-Qur’an adalah makhluk).[8]
Kalau kita merujuk langsung kepada pendapat Abu Ḥanifah yang terdapat di dalam al-Waṣiyyah, maka akan didapati pendapatnya yang membagi kalam menjadi dua macam yaitu kalam nafsī dan kalam lafzi.

Kalam nafsi yang bersifat qadim adalah termasuk sifat Allah yang terdahulu (al-azaliyyah al-qadimah). Sedangkan kalam lafẓi yang bersifat baru adalah yang tertulis di dalam surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an. Yaitu al-Qur’an yang ditulis di dalam muṣḥaf dengan tangan-tangan kita, yang hurufnya dapat dibaca, terjaga di dalam hati kita sehingga dimungkinkan menghadirkan ayat tersebut ketika membayangkannya dengan bentuk lafaẓ-lafaẓ yang abstrak, dan dapat dibaca dengan lisan kita dengan huruf-hurufnya yang terjaga dan diperdengarkan, inilah yang dimaksud dengan al-Qur’an sebagai makhluk yang tidak bisa dijadikan sebagai sumpah. Selain Abu Ḥanifah yang berpendapat al-Qur’an adalah bukan makhluk, mayoritas ulama salaf juga berpendapat demikian. Banyak karya-karya dari mereka yang mengindikasikan bahwa al-Qur’an adalah bukan makhluk. Hal ini dapat di lihat dari karya-karya yang mereka tulis di antaranya seperti Aḥmad bin Ḥanbal dalam al-Rad ‘Ala al-Zanadiqah Wa al-Jahmiyyah, al-Bukhari dalam Khalq Af‘al al-‘Ibad, Ibn Qutaybah dalam al-Ikhtilaf fī Lafẓ Wa al-Rad ‘Ala al-Jahmiyyah Wa al-Musyabbihah, ‘Utsman bin Sa‘id al-Darimi dalam al-Rad ‘Ala al-Jahmiyyah dan dalam al-Rad al-Imam al-Darimi ‘Ala al-Marisi, dan lain sebagainya.


C.     Pemikiran Kalam Imam Maliki
Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW. Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah : Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Imam Malik belajar pada ulama-ulama Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush’ab bin Abdullah bin az-Zubairi, katanya, Imam Malik pernah berkata:
“Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik diam saja”[9]
Imam Abu Nu’aim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi, katanya, saya mendengar Imam Malik berkata:
“Seandainya ada orang melakukan dosa besar seluruhnya kecuali menjadi musyrik. kemudian dia melepaskan diri dari bid’ah-bid’ah Ilmu Kalam ini, dia akan masuk surga.”[10]
Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik berkata,
“Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi kafir zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa yang mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan berdusta.”[11]
Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, saya mende-ngar Imam Malik berkata:
“Berdebat dalam agama itu aib (cacat).”
Beliau juga berkata:
“Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam?”[12]
Imam al-Harawi meriwayatkan dari ‘Aisyah bin Abdul Aziz, katanya, saya mendengar Imam Malaik berkata:
“Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”.
Imam Malik menjawab:
“Penganut bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah. Mereka tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para Sahabat dan Tabi’in tidak membicarakannya.”[13]

















BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Pemikiran kalam Abu Ḥanifah muncul sebagai respon atas perkembangan aliran-aliran  kalam  yang  berkembang  pada  masa  itu  dari  kelompok  Khawarij, Murji’ah, Mu‘tazilah, Syi‘ah dan lain-lain. Secara umum dalam menolak pendapat-pendapat kelompok di atas, Abu Ḥanifah menggunakan dalil naqliyyah dan ‘aqliyy-ah untuk memperkuat setiap argumentasi yang dibangunnya.

Pemikiran  kalam  yang  termuat  di  dalam  karya-karyanya  dan  yang  dikutip oleh para pengikutnya menunjukkan bahwa ia memiliki kapasitas  yang mumpuni dalam bidang kalam khususnya dalam mempertahankan akidah yang moderat. Dari pendapatnya tersebut ada yang dapat dikategorikan lebih condong kepada pemikiran Mu‘tazilah dan ada yang dapat dikategorikan lebih condong kepada pemikiran
Murji’ah. Walaupun demikian, ada perbedaan prinsip iil antara pendapat Abu Ḥanifah dan kelompok di atas. Hal inilah yang menjadikan pemikirannya dikategorikan sebagai ahl al-sunnah wa al-jama‘ah oleh sebagian peneliti, di mana ia berusaha bersikap tengah-tengah (wasaṭ) di antara ekstrimis Mu‘tazilah, Murji’ah dan kelompok lainnya.





















Daftar Pustaka
Akmal al-Din al-Babarti, Syarḥ Waṣiyyah al-Imam Abi Ḥanifah (‘Amman: Dar al-Fatḥ, 2009), h. 93., ‘Ali al-Qari, Syarḥ al-Fiqh al-Akbar, h. 40.
Al-Qaḍi Abd Al-Jabbar, Syarḥ Uṣul al-Khamsah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1988), h. 531.
Ahmad Ismakun Ilyas, Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturidi, disertasi (Jakarta: Pasca Sarjana UIN, 2009), h. 138.
Al-‘Askari, al-Awa’il, h.115
Al-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi, Jld. 1, h. 238.
Ibn Qutaybah, Al-Ikhtilaf Fi al-Lafẓ, h. 49.
Jami’ Bayan al-’Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415
Al-Hilyah, VI/325
Dzamm Al-Kalam, lembar 173-B
Syaraf Ash-hab Al-Hadits, hal. 5
Dzan Al-Kalam, lembar 173


[1] Akmal al-Din al-Babarti, Syarḥ Waṣiyyah al-Imam Abi Ḥanifah (‘Amman: Dar al-Fatḥ, 2009), h. 93., ‘Ali al-Qari,
Syarḥ al-Fiqh al-Akbar, h. 40.
[2] Al-Qaḍi Abd Al-Jabbar, Syarḥ Uṣul al-Khamsah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1988), h. 531.
[3] Ahmad Ismakun Ilyas, Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturidi, disertasi (Jakarta: Pasca Sarjana UIN, 2009), h. 138.
[4] Al-‘Askari, al-Awa’il, h.115
[5]  Al-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi, Jld. 1, h. 238
[6]   Al-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi, Jld. 1, h. 238.
[7] Al-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi, Jld. 1, h. 238.
[8]  Ibn Qutaybah, Al-Ikhtilaf Fi al-Lafẓ, h. 49.
[9] Jami’ Bayan al-’Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415
[10] Al-Hilyah, VI/325
[11] Dzamm Al-Kalam, lembar 173-B
[12] Syaraf Ash-hab Al-Hadits, hal. 5
[13] Dzan Al-Kalam, lembar 173

No comments:

Post a Comment