BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pada umumnya pendapat Abu Ḥanifah tentang kalam sangat dipengaruhi
oleh nilai-nilai yang terkandung di dalam al-Qur’an dan Ḥadīts. Karena
menurutnya al-Qur’an dan Ḥadits
adalah dua sumber
primer di dalam
Islam yang wajib
diikuti. Selain berpegang kepada al-Qur’an dan Ḥadits, ia juga banyak
menggunakan dalil-dalil ‘aqliyyah sehingga
banyak ulama yang
menyebutnya sebagai ahl al-ra’y (orang-orang yang
menempatkan rasio pada
posisi tertinggi). Perpaduan antara
ketiganya (al-Qur’an, Ḥadits dan rasio) inilah yang membuat setiap argumennya
sulit untuk dibantah oleh setiap lawannya sehingga pendapatnya banyak diikuti
oleh generasi setelahnya. Selain itu, pendapat Abu Ḥanifah juga memiliki banyak
persamaan dengan pendapat-pendapat imam ahl al-sunnah wa al-jama‘ah dan bahkan
menurut ‘Ali Sami al-Nasysyar, Abu Ḥanifah beserta ulama
salafdari golongan ahl al-ḥadīts adalah penabur benih paham ahl
al-sunnah wa al-jamā‘ah sebelum
di-bentuk formulasi yang
baku oleh Abu al-Ḥasan
al-Asy‘ari dan Abu Manṣur al-Maturidi.Pendapat
Abu Ḥanifah yang paling terkenal adalah pendapatnya tentang sifat Tuhan. Di
saat dunia Islam dihebohkan dengan pendapat Mu‘tazilah bahwa Allah tidak
mempunyai sifat (ta‘ṭil al-ṣifat), dilain pihak ada kolompok yang mengatakan
bahwa sifat Allah identik dengan makhluk-Nya (tasybih).
Abu Ḥanifah membuat sintesis dengan mengambil sikap di antara paham
ta‘ṭil dan tasybih. Paham ta‘ṭil menurutnya telah mengingkari sifat Tuhan yang
ter-dapat di dalam ẓahir ayat al-Qur’an, sementara paham tasybih telah
mempersama-kan sifat Tuhan yang terdapat di dalam al-Qur’an dengan sifat
makhluk. Menurut-nya kedua paham ini telah menyalahi naṣ dan bertentangan
dengan akal sehat (al-‘aql al-salīm).
Sikap yang diambil dalam masalah ini adalah menetapkan sifat Tuhan
seperti wajah (wajh), tangan (yad), mata (‘ayn) dan lain-lain. Sebagaimana yang
terdapat di dalam al-Qur’an (khabar al-ṣadiq), dan tidak dipersepsikan dengan
bentuk (ṣurah) yang sama dengan makhluk.
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana sejarah kemunculan Ilmu Kalam
?
2.
Apa pendapat Imam Hanafi mengenai Kalam
?
3.
Apa pendapat Imam Maliki mengenai Kalam
?
C.
Tujuan
penulisan
1.
Dapat mengetahui sejarah munculnya
Ilmu Kalam
2.
Mengerti Ilmu Kalam dari pandangan Imam
Hanafi dan Imam Maliki
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Munculnya Ilmu Kalam
Adapun yang
melatar belakangi sejarah munculnya persoalan-persoalan kalam adalah disebabkan
faktor-faktor politik pada awalnya setelah khalifah Ustman terbunuh kemudian
digantikan oleh Ali menjadi khalifah. Peristiwa menyedihkan dalam sejarah Islam
yang sering dinamakan al-Fitnat al-Kubra (Fitnah Besar), sebagaimana telah
banyak dibahas, merupakan pangkal pertumbuhan masyarakat (dan agama) Islam di
berbagai bidang, khususnya bidang-bidang politik, sosial dan paham keagamaan.
Maka Ilmu Kalam sebagai suatu bentuk pengungkapan dan penalaran paham keagamaan
juga hampir secara langsung tumbuh dengan bertitik tolak dari Fitnah Besar itu.
Pada zaman khalifah Abu Bakar ( 632-634 M ) dan Umar bin Khattab (
634-644 ) problema keagamaan juga masih relative kecil termasuk masalah aqidah.
Tapi setelah Umar wafat dan Ustman bin Affan naik tahta ( 644-656 ) fitnah pun
timbul. Abdullah bin Saba’, seorang Yahudi asal Yaman yang mengaku Muslim,
salah seorang penyulut pergolakan. Meskipun itu ditiupkan, Abdullah bin Saba’ pada
masa pemerintahan Ustman namun kemelut yang serius justru terjadi di kalangan
Umat Islam setelah Ustman mati terbunuh ( 656 ).
Perselisihan di kalangan Umat islam terus berlanjut di zaman
pemerintahan Ali bin Abi Thalib ( 656-661 ) dengan terjadinya perang saudara,
pertama, perang Ali dengan Zubair, Thalhah dan Aisyah yang dikenal dengan
perang jamal, kedua, perang antara Ali dan Muawiyah yang dikenal dengan perang
Shiffin. Pertempuran dengan Zubair dan kawan-kawan dimenangkan oleh Ali,
sedangkan dengan Muawiyah berakhir dengan tahkim ( Arbritrase ).
Para pembunuh 'Utsman itu, menurut beberapa petunjuk kesejarahan,
menjadi pendukung kekhalifahan 'Ali Ibn
Abi Thalib, Khalifah IV. Tetapi mereka kemudian sangat kecewa kepada ‘Ali,
karena Khalifah ini menerima usul perdamaian dengan musuh mereka, Mu’awiyah ibn
Abu Sufyan, dalam “Peristiwa Shiffin” di situ ‘Ali mengalami kekalahan di
plomatis dan kehilangan kekuasaan “de jure”-nya. Karena itu mereka memisahkan
diri dengan membentuk kelompok baru yang kelak terkenal dengan sebutan kaum
Khawarij (al-Kahwarij, kaum Pembelot atau Pemberontak). Karena sikap-sikap
mereka yang sangat ekstrem dan eksklusifistik, kaum Khawarij akhirnya boleh
dikatakan binasa. Tetapi dalam perjalanan sejarah pemikiran Islam, pengaruh mereka
tetap saja menjadi pokok problematika pemikiran Islam. Yang paling banyak
mewarisi tradisi pemikiran Khawarij ialah kaum Mu’tazilah. Mereka inilah
sebenarnya kelompok Islam yang paling banyak mengembangkan Ilmu Kalam seperti
yang kita kenal sekarang.
Karena itu ditegaskan oleh Ibn Taymiyyah bahwa Ilmu Kalam adalah
keahlian khusus kaum Mu’tazilah. Maka salah satu ciri pemikiran Mu’tazili ialah
rasionalitas dan paham Qadariyyah. Namun sangat menarik bahwa yang pertama kali
benar-benar menggunakan unsur-unsur Yunani dalam penalaran keagamaan ialah
seseorang bernama Jahm ibn Shafwan yang justru penganut paham Jabariyyah, yaitu
pandangan bahwa manusia tidak berdaya sedikit pun juga berhadapan dengan
kehendak dan ketentuan Tuhan. Jahm mendapatkan bahan untuk penalaran
Jabariyyahnya dari Aristotelianisme, yaitu bagian dari paham Aristoteles yang
mengatakan bahwa Tuhan adalah suatu kekuatan yang serupa dengan kekuatan alam,
yang hanya mengenal keadaan-keadaan umum (universal) tanpa mengenal
keadaan-keadaan khusus (partikular). Maka Tuhan tidak mungkin memberi pahala
dan dosa, dan segala sesuatu yang terjadi, termasuk pada manusia, adalah
seperti perjalanan hukum alam. Kaum Mu’tazilah menolak paham Jabiriyyah-nya
kaum Jahmi. Kaum Mu’tazilah justru menjadi pembela paham Qadariyyah seperti
halnya kaum Khawarij. Maka kaum Mu’tazilah disebut sebagai “titisan” doktrinal
(namun tanpa gerakan politik) kaum Khawarij. Tetapi kaum Mu’tazilah banyak
mengambil alih sikap kaum Jahmi yang mengingkari sifat-sifat Tuhan itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi menjadi
monopoli kaum Mu’tazilah. Adalah seorang sarjana dari kota Basrah di Irak,
bernama Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-324 H/873-935 M) yang terdidik dalam alam
pikiran Mu’tazilah (dan kota Basrah memang pusat pemikiran Mu’tazili). Tetapi
kemudian pada usia 40 tahun ia meninggalkan paham Mu’tazilinya, dan justru
mempelopori suatu jenis Ilmu Kalam yang anti Mu’tazilah. Ilmu Kalam al-Asy’ar’i
itu, yang juga sering disebut sebagai paham Asy’ariyyah, kemudian tumbuh dan
berkembang untuk menjadi Ilmu Kalam yang paling berpengaruh dalam Islam sampai
sekarang, karena dianggap paling sah menurut pandangan sebagian besar kaum
Sunni.
Ilmu Kalam, termasuk yang dikembangkan oleh al-Asy’ari, juga
dikecam kaum Hanbali dari segi metodologinya. Persoalan yang juga menjadi bahan
kontroversi dalam Ilmu Kalam khususnya dan pemahaman Islam umumnya ialah
kedudukan penalaran rasional (‘aql, akal) terhadap keterangan tekstual (naql,
“salinan” atau “kutipan”), baik dari Kitab Suci maupun Sunnah Nabi. Kaum
“liberal”, seperti golongan Mut’azilah,cenderung mendahulukan akal, dan kaum
“konservatif” khususnya kaum Hanbali, cenderung mendahulukan naql. Terkait
dengan persoalan ini ialah masalah interprestasi (ta’wil), sebagaimana telah kita
bahas.[16] Berkenaan dengan masalah ini, metode al-Asy’ari cenderung
mendahulukan naql dengan membolehkan interprestasi dalam hal-hal yang memang
tidak menyediakan jalan lain. Atau mengunci dengan ungkapan “bi la kayfa”
(tanpa bagaimana) untuk pensifatan Tuhan yang bernada antropomorfis (tajsim)
–menggambarkan Tuhan seperti manusia, misalnya, bertangan, wajah, dan
lain-lain. Metode al-Asy’ari ini sangat dihargai, dan merupakan unsur
kesuksesan sistemnya.Tetapi bagian-bagian lain dari metodologi al-Asy’ari, juga
epistemologinya, banyak dikecam oleh kaum Hanbali. Di mata mereka, seperti
halnya dengan Ilmu Kalam kaum Mu’tazilah, Ilmu Kalam al-Asy’ari pun banyak
menggunakan unsur-unsur filsafat Yunani, khususnya logika (manthiq)
Aristoteles. Dalam penglihatan Ibn Taymiyyah, logika Aritoteles bertolak dari
premis yang salah, yaitu premis tentang kulliyyat (universals) atau
al-musytarak al-muthlaq (pengertian umum mutlak), yang bagi Ibn Taymiyyah tidak
ada dalam kenyataan, hanya ada dalam pikiran manusia saja karena tidak lebih
daripada hasil ta’aqqul (intelektualisasi).
B.
Pemikira Kalam Imam Hanafi
Pada pembahasan
tentang kalam Allah setidaknya ada tiga macam diskursus yang diangkat dalam
pemikiran kalam Abu Ḥanifah. Pertama, menurutnya kalam Allah berdiri pada dzat-Nya
yang berarti ia bersifat qadim. Kedua, di lain pihak banyak juga pendapat yang
mengatakan bahwa menurut Abu Ḥanifah al-Qur’an adalah makhluk. Ketiga, ada
indikasi Abu Ḥanifah membuat diferensiasi antara kalam nafsi dan kalam lafẓi.
Berikut penjelasannya:
1.
Kalam Allah Berdiri Pada Dzat-Nya
Pandangan Abu Ḥanifah
tentang kalam Allah tidak terlepas dari pandangan-nya tentang sifat Tuhan.
Menurutnya semua sifat Tuhan (baik sifat dzat atau sifat fi‘l) adalah qadim
(terdahulu) yang mempunyai pengertian tidak diciptakan (ghayr mujid) dari suatu
ketiadaan (‘adam). Salah satu sifat
Tuhan adalah berbicara (kalam) yang bersifat qadim seperti dzat Tuhan. Dengan
gaya bahasa yang sangat filosofis ia menyebutkan bahwa kalam Allah berdiri pada
dzat-Nya (kalam Allāh qa’im bi dzatihi)[1].
Karena kalam Allah berdiri pada dzat-Nya yang qadam dan tidak terpisah (la
yanfakku) dari-Nya maka hal ini menjadikan kalam Allah bersifat qadam seperti
dzat-Nya.
Abū Ḥanifah
membedakan antara kalam Allah yang qadim dengan kalam manusia yang baru (muḥdats).
Adapun kalam Allah yang qadimyang berdiri pada dzat-Nya tidak
bisa didengar dengan
telinga, tidak bisa dilihat
dengan mata, dan wujudnya
abstrak (immaterial). Berbeda dengan kalam manusia yang serba bisa
diindra (material).
Pendapat Abu Ḥanifah
tentang kalam Allah yang berdiri pada dza-Nya yang bersifat qadim, tidak
terlepas dari bantahannya kepada kelompok Mu‘tazilah yang berkembang pesat pada
masa itu yang dimotori oleh Waṣil bin ‘Aṭa’. Menurut kelompok Mu‘tazilah kalam
Allah bukanlah sifat-Nya, melainkan perbuatannya. Bagi mereka kalam Allah
adalah baru (muḥdats) dan diciptakan (makhluq). Dengan disertai dengan argumentasi
rasional, ‘Abd al-Jabbar menjelaskan tentang kebaruan kalam Allah bahwa kalam
Allah (al Qur’ān) terdiri dari huruf, ayat dan surat. Huruf yang satu
mendahului huruf yang lain, ayat yang satu mendahului ayat yang lain,
surat yang satu
mendahului surat yang
lain, dan sebagainya.
Adanya sifat saling mendahului di antara huruf, ayat, dan surat
mengindikasikan bahwa kalam Allah adalah baru (muḥdats).[2]
Abu Ḥanifah sendiri
memandang bahwa kalam Allah yang majazi sebagai baru sebagaimana layaknya
argumentasi yang dikemukakan oleh kelompok Mu‘tazilah. Tetapi di samping ada
kalam Allah yang majazi juga ada kalam Allah yang ḥaqiqi. Kalam Allah yang ḥaqiqi
yang berada di lawḥmaḥfu ẓadalah qadim karena berdiri pada dzat-Nya yang qadim,
sedangkan kalam Allah yang majazi yang dapat diindera dan berbentuk muṣḥaf
adalah baru (muḥdats). Pernyataan tersebut menjadi dasar bagi Abu Ḥanifa untuk
membuat diferensiasi antara kalam Allah yang ḥaqiqi sebagai kalam nafsi, dan
kalam Allah yang majazi sebagai kalam lafẓi. Kalam nafsiadalah qadim, sedangkan
kalam lafẓiadalah baru (muḥdats).
Kelompok Mu‘tazilah menolakadanya kalam nafsi karena faktor:
Pertama, batasan kalam menurut mereka adalah huruf yang tersusun
dan mengandung suara.
Sesuatu yang bukan huruf dan suara tidak dapat dikatakan sebagai
kalam.
Kedua, sesuai dengan salah satu ajaran mereka yaitu al-tawḥid,
mereka menolak adanya yang qadim selain dzat Allah (la qadima illa Allah).
Seandainya kalam Allāh qadim, akan terjadi banyak yang qadim (ta‘addud
al-qudama’), hal ini mustahil.
Ketiga, kalam Allah dalam
pandangan mereka bukan termasuk sifat Allah, melainkan perbuatan-Nya (fi‘l Allāh)
karena ada keterkaitannya dengan
makhluk (manusia) yang baru.
Sehubungan dengan itu maka mutakallim (pembicara) menurut mereka adalah subjek
yang berbicara (fā‘il al-kalam), oleh karena itu, kalam sebagai perbuatan Allāh
tergolong kepada baru, karena ia tidak ada, kecuali ketika Allah menghendaki
berbuat kalam.[3]
2.
Problematika Kemakhlukan Al-Qur’an
Aba Hilal
al-‘Askari (w.395 H) mengatakan di dalam al-Awa’il bahwa perdebatan seputar
kemakhlukan al-Qur’an mulai muncul pada masa Abu Ḥanifah. Adapun orang pertama
yang mengatakan al-Qur’an makhluk adalah al-Ja‘d bin Dirham (w.124 H) yang
kemudian diikuti oleh Jahm bin Ṣafwan (w.132 H). Ada satu riwayat yang
dituduhkan kepada Abu Ḥanifah ketika ia ditanya apakah al-Qur’an itu makhluk
atau bukan, Ia menjawab bahwa al-Qur’an adalah makhluk. Ia beralasan bahwa
orang yang bersumpah dengan mengatakan, ‘Demi al-Qur’an, saya tidak melakukan
(perbuatan) ini’, maka ia telah bersumpah dengan nama selain Allāh. Sedangkan
sesuatu selain Allāh adalah makhluk.[4]
Abu Ḥanifah seperti yang diduga oleh Abu Hilal al-‘Askarī menyamakan
masalah kemakhlukan al-Qur’an dengan memakai pendekatan fikih dalam masalah
sumpah (yamin). Jika sumpah dengan nama selain Allah maka sumpahnya tidak sah.
Dalam hal ini al-Qur’an bukan termasuk nama Allah, maka sumpah
dengan nama al-Qur’an (seperti wa al-Qur’an, demi al-Qur’an) tidak sah. Karena
segala sesuatu selain Allah adalah makhluk. Al-Qur’an bukan Allah, maka ia
makhluk.[5]
Pendapat Abu Ḥanifah
tentang al-Qur’an sebagaimana disebut di atas sangat jelas menyatakan bahwa al-Qur’an
adalah qadim bukan makhluk (baru). Apakah ada pertentangan antara perkataan di
dalam al-Fiqh al-Akbar dengan pendapat Abu Hilal al-‘Askari? Bagaimana cara
mengompromikan kedua pendapat yang nampak bertentangan antara satu dengan
lainnya? Terlebih pendapat Abu Ḥanifah tentang kemakhlukan al-Qur’an sesuai
dengan pendapat madzhab Ḥanafi dalam bidang fikih dalam masalah sumpah (yamin).
‘Ali Sami al-Nasysyar menawarkan ada tiga macam cara menyelesaikan masalah di
atas yaitu:[6]
Pertama, kita menolak bahwa kitab al-Fiqh al-Akbar sebagai karangan
tangan dari Abu Ḥanifah tetapi karangan yang dinisbatkan kepadanya (yang
ditulis oleh murid-muridnya).
Kedua, persoalan tentang kemakhlukan al-Qur’an memang sudah menjadi
concern Abu Ḥanifah dan pada awalnya ia berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk.
Kemudian para muridnya mengganti pendapat gurunya tersebut dan menetapkan
keqadiman al-Qur’an.
Ketiga, Abu Ḥanifah dalam persoalan kemakhlukan al-Qur’an membagi
kalam menjadi dua macam, yaitu kalam nafsi yang bersifat qadim dan kalam lafẓi yang
bersifat baru.
Ada juga yang
berpendapat tuduhan kepada Abu Ḥanifah bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebaiknya
dibiarkan saja karena tidak mencederai diri (muru’ah) Abu Ḥanifah sendiri, itu
merupakan bagian dari siasat politik. Bukan hanya Abu Ḥanifah yang dituduh
mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, tetapi banyak dari ulama-ulama salaf
lainnya yang dituduh demikian seperi al-Bukhari pengarang kitab al-Ṣaḥiḥ dan
Dawud bin ‘Ali pendiri madzhab ẓahiri.[7]
Tetapi banyak juga
ulama terdahulu (al-salaf al-ṣaliḥin) yang melakukan pembelaan dan klarifikasi
terkait persoalan ini. Salah satunya adalah statemen yang dikemukakan oleh ‘Abdullah
bin al-Mubarak bahwa tidaklah Abu Ḥanifah meninggal dunia dengan meyakini al-Qur’an
adalah makhluk. Nampaknya pendapat kemakhlukan al-Qur’an yang dialamatkan
kepada Abu Ḥanifah berasal dari pendapat Sufyan al-Tsawri (w.161 H) ketika
mengatakan Abu Ḥanifah pernah diminta bertaubat karena menganggap al-Qur’an
adalah makhluk. Sontak pendapat Sufyan ini mendapat reaksi keras dari ‘Abdullah
bin Dāwud dengan mengatakan, ‘Demi Allah ucapan ini adalah dusta’. Ibn Dawud
meneruskan, bagaimana tidak, pada saat itu di Kufah ada ‘Ali dan al-Ḥasan bin Ṣaliḥ
yang keduanya wara‘ di tempat tersebut, tetapi mereka tidak mengkritisi
pendapat Abu Ḥanifah. Terlebih saya (Ibn Dawud) sudah lama tinggal di Kufah dan
tidak pernah mendengar Abu Ḥanifah mengatakan demikian (al-Qur’an adalah
makhluk).[8]
Kalau kita merujuk langsung kepada pendapat Abu Ḥanifah yang
terdapat di dalam al-Waṣiyyah, maka akan didapati pendapatnya yang membagi
kalam menjadi dua macam yaitu kalam nafsī dan kalam lafzi.
Kalam nafsi yang
bersifat qadim adalah termasuk sifat Allah yang terdahulu (al-azaliyyah al-qadimah).
Sedangkan kalam lafẓi yang bersifat baru adalah yang tertulis di dalam surat-surat
dan ayat-ayat al-Qur’an. Yaitu al-Qur’an yang ditulis di dalam muṣḥaf dengan
tangan-tangan kita, yang hurufnya dapat dibaca, terjaga di dalam hati kita
sehingga dimungkinkan menghadirkan ayat tersebut ketika membayangkannya dengan
bentuk lafaẓ-lafaẓ yang abstrak, dan dapat dibaca dengan lisan kita dengan
huruf-hurufnya yang terjaga dan diperdengarkan, inilah yang dimaksud dengan
al-Qur’an sebagai makhluk yang tidak bisa dijadikan sebagai sumpah. Selain Abu Ḥanifah
yang berpendapat al-Qur’an adalah bukan makhluk, mayoritas ulama salaf juga
berpendapat demikian. Banyak karya-karya dari mereka yang mengindikasikan bahwa
al-Qur’an adalah bukan makhluk. Hal ini dapat di lihat dari karya-karya yang
mereka tulis di antaranya seperti Aḥmad bin Ḥanbal dalam al-Rad ‘Ala al-Zanadiqah
Wa al-Jahmiyyah, al-Bukhari dalam Khalq Af‘al al-‘Ibad, Ibn Qutaybah dalam
al-Ikhtilaf fī Lafẓ Wa al-Rad ‘Ala al-Jahmiyyah Wa al-Musyabbihah, ‘Utsman bin
Sa‘id al-Darimi dalam al-Rad ‘Ala al-Jahmiyyah dan dalam al-Rad al-Imam
al-Darimi ‘Ala al-Marisi, dan lain sebagainya.
C.
Pemikiran Kalam Imam Maliki
Imam Malik terkenal dengan imam dalam bidang hadis Rasulullah SAW.
Nama lengkap dari pendiri mazhab ini ialah : Malik bin Anas bin Abu Amir. Lahir
pada tahun 93 M = 712 M di Madinah. Imam Malik belajar pada ulama-ulama
Madinah. Yang menjadi guru pertamanya ialah Abdur Rahman bin Hurmuz. Beliau
juga belajar kepada Nafi’ Maula Ibnu Umar dan Ibnu Syihab Az Zuhri. Adapun yang
menjadi gurunya dalam bidang fiqh ialah Rabi’ah bin Abdur Rahman. Imam Malik
adalah imam (tokoh) negeri Hijaz, bahkan tokohnya semua bidang fiqh dan hadits.
Imam Ibn ‘Abdil Bar meriwayatkan dari Mush’ab bin Abdullah bin
az-Zubairi, katanya, Imam Malik pernah berkata:
“Saya tidak menyukai Ilmu Kalam dalam masalah agama, warga negeri
ini juga tidak menyukainya, dan melarangnya, seperti membicarakan pendapat Jahm
bin Shafwan, masalah qadar dan sebagainya. Mereka tidak menyukai Kalam kecuali
di dalam terkandung amal. Adapun Kalam di dalam agama, bagi saya lebih baik
diam saja”[9]
Imam Abu Nu’aim juga meriwayatkan dari Abdullah bin Nafi, katanya, saya
mendengar Imam Malik berkata:
“Seandainya ada orang melakukan dosa besar seluruhnya kecuali
menjadi musyrik. kemudian dia melepaskan diri dari bid’ah-bid’ah Ilmu Kalam
ini, dia akan masuk surga.”[10]
Imam al-Harawi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya, Imam Malik
berkata,
“Barangsiapa yang mencari agama lewat Ilmu Kalam ia akan menjadi
kafir zindiq, siapa yang mencari harta lewat Kimia, ia akan bangkrut, dan siapa
yang mencari bahasa-bahasa yang langka dalam Hadits (gharib al-Hadits) ia akan
berdusta.”[11]
Imam al-Katib al-Baghdadi meriwayatkan dari Ishaq bin Isa, katanya,
saya mende-ngar Imam Malik berkata:
“Berdebat dalam agama itu aib (cacat).”
Beliau juga berkata:
“Setiap ada orang datang kepada kita, ia ingin berdebat. Apakah ia
bermaksud agar kita ini menolak apa yang telah dibawa oleh Malaikat Jibril
kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam?”[12]
Imam al-Harawi meriwayatkan dari ‘Aisyah bin Abdul Aziz, katanya,
saya mendengar Imam Malaik berkata:
“Hindarilah bid’ah”. Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah
bid’ah itu, wahai Abu Abdillah?”.
Imam Malik menjawab:
“Penganut bid’ah itu adalah orang-orang yang membicarakan masalah
nama-nama Allah, sifat-sifat Allah, kalam Allah, ilmu Allah, dan qudrah Allah.
Mereka tidak mau bersikap diam (tidak memperdebatkan) hal-hal yang justru para
Sahabat dan Tabi’in tidak membicarakannya.”[13]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pemikiran kalam
Abu Ḥanifah muncul sebagai respon atas perkembangan aliran-aliran kalam
yang berkembang pada masa itu
dari kelompok Khawarij, Murji’ah, Mu‘tazilah, Syi‘ah dan
lain-lain. Secara umum dalam menolak pendapat-pendapat kelompok di atas, Abu Ḥanifah
menggunakan dalil naqliyyah dan ‘aqliyy-ah untuk memperkuat setiap argumentasi
yang dibangunnya.
Pemikiran kalam
yang termuat di
dalam karya-karyanya dan
yang dikutip oleh para
pengikutnya menunjukkan bahwa ia memiliki kapasitas yang mumpuni dalam bidang kalam khususnya
dalam mempertahankan akidah yang moderat. Dari pendapatnya tersebut ada yang
dapat dikategorikan lebih condong kepada pemikiran Mu‘tazilah dan ada yang
dapat dikategorikan lebih condong kepada pemikiran
Murji’ah. Walaupun demikian, ada perbedaan prinsip iil antara
pendapat Abu Ḥanifah dan kelompok di atas. Hal inilah yang menjadikan
pemikirannya dikategorikan sebagai ahl al-sunnah wa al-jama‘ah oleh sebagian
peneliti, di mana ia berusaha bersikap tengah-tengah (wasaṭ) di antara
ekstrimis Mu‘tazilah, Murji’ah dan kelompok lainnya.
Daftar Pustaka
Akmal al-Din al-Babarti, Syarḥ Waṣiyyah al-Imam Abi Ḥanifah
(‘Amman: Dar al-Fatḥ, 2009), h. 93., ‘Ali al-Qari, Syarḥ al-Fiqh al-Akbar, h.
40.
Al-Qaḍi Abd Al-Jabbar, Syarḥ Uṣul al-Khamsah (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1988), h. 531.
Ahmad Ismakun Ilyas, Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturidi,
disertasi (Jakarta: Pasca Sarjana UIN, 2009), h. 138.
Al-‘Askari, al-Awa’il, h.115
Al-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi, Jld. 1, h. 238.
Ibn Qutaybah, Al-Ikhtilaf Fi al-Lafẓ, h. 49.
Jami’ Bayan al-’Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415
Al-Hilyah, VI/325
Dzamm Al-Kalam, lembar 173-B
Syaraf Ash-hab Al-Hadits, hal. 5
Dzan Al-Kalam, lembar 173
[1]
Akmal al-Din al-Babarti, Syarḥ Waṣiyyah al-Imam Abi Ḥanifah (‘Amman: Dar al-Fatḥ,
2009), h. 93., ‘Ali al-Qari,
Syarḥ al-Fiqh al-Akbar, h. 40.
[2]
Al-Qaḍi Abd Al-Jabbar, Syarḥ Uṣul al-Khamsah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1988), h.
531.
[3]
Ahmad Ismakun Ilyas, Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturidi, disertasi
(Jakarta: Pasca Sarjana UIN, 2009), h. 138.
[4]
Al-‘Askari, al-Awa’il, h.115
[5] Al-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi, Jld.
1, h. 238
[6] Al-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi,
Jld. 1, h. 238.
[7]
Al-Nasysyar, Nasy’at al-Fikr al-Falsafi, Jld. 1, h. 238.
[8] Ibn Qutaybah, Al-Ikhtilaf Fi al-Lafẓ, h. 49.
[9] Jami’
Bayan al-’Ilm wa Al-Fadhilah, hal. 415
[10] Al-Hilyah,
VI/325
[11] Dzamm
Al-Kalam, lembar 173-B
[12] Syaraf
Ash-hab Al-Hadits, hal. 5
[13] Dzan
Al-Kalam, lembar 173
No comments:
Post a Comment