PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al Quran
merupakan wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat jibril, AlQuran juga dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan kita
sehari-hari, didalamnya terkandung berbagai ilmu pengetahuan, hikmah, dan
pengajaran tersirat maupun yang tersurat.
Kemurnian kitab
suci Al Quran juga dijamin langsung oleh Allah yang termaktub dalam firman Nya
yaitu Al Quran surah Al-Hijr ayat 9 yang artinya “Sesungguhnya kami-lah yang
menurunkan Al Quran dan sesungguhna kami benar-benar memeliharannya”.
Al Quran tidak
turun sekaligus melainkan turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan
22 hari. Pada perjalanannya penulisan Al Quran sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad berlanjut sampai zaman pemerintahannya Abu Bakar dan pada zaman
pemerintahan Utsman bin Affan.
Pada masa pemerintahan selain Abu Bakar dan Utsman bin Affan tidak terjadi
perkembangan yang signifikan terkait dengan kodifikasi Al Quran. Kodifikasi
yang terjadi pada masa Abu Bakar dan Utsman bin Affan terdapat perbedaan
penyebab adanya kodifikasi dan hasil
dari kodifikasi yang nanti akan dibahas perbandingan antara kedua Khalifah
tersebut .
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kodifikasi Al Quran?
2. Bagaimana kodifikasi Al Quran pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kodifikasi Al Quran
Yang dimaksud
dengan pengumpulan Qur’an (jam’ul Qur’an) oleh para ulama adalah dalam
firman salah satu dari dua pengertian berikut:
Pertama:
pengumpulan dalam arti hifzuhu (menghafalnya dalam hati). Jumma’ul
Qur’an artinya huffazuhu (penghafal-penghafalnya, orang yang
menghafalkannya di dalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman
Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya
untuk membaca Al Qur’an ketika Al Qur’an itu turun kepadanya sebelum jibril
selesai membacakannya, karena ingin menghafalnya:
لاَتُحَرِّكْ
بِهِ لِساَنكَ لِتَعْجَلَ بِهِ, إِنَّ عَلَيْناَ جَمْعَهُ وَقُرْانَهُ, فَاءِذَا
قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْانَهُ, ثُمَّ إِنَّ عَلَيْناَ بَياَنَهُ.
“Janganlah
kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Qur’an karena hendak cepat-cepat
menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu)
dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya
maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, atas tanggungan Kamilah penjelasannya.”
(al-Qiyamah [75]:16-19[1]).
Ibn Abbas mengatakan: “Rasulullah sangat
ingin segera menguasai Al Qur’an yang diturunkan. Ia menggerakkan lidah dan
kedua bibirnya karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin
segera menghafalnya. Maka Allah menurunkan: Janganlah kamu gerakkan lidahmu
untuk membaca Al Qur’an karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya; maksudnya,
‘Kami yang mengumpulkannya di dadamu,
kemudian Kami membacakannya.’ Apabila Kami telah selesai membacakannya; maksudnya,
‘apabila Kami telah menurunkannya kepadamu’ maka ikutilah bacaan itu; maksudnya.
‘dengarkan dan perhatikanlah ia.’ Kemudian, atas tanggungan Kamilah
penjelasannya, yakni ‘ menjelaskannya dengan lidahmu.‘ Dalam lafal
yang lain dikatakan: ‘Atas tanggungan Kamilah membacakannya.’ Maka setelah ayat
ini turun bila jibril datang, Rasulullah diam. Dalam lafal lain: ‘ia
mendengarkan. ‘Dan bila jibril telah pergi, barulah ia membacanya sebagaimana
diperintahkan Allah’’.
Kedua:pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi
(penulisan Al Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan
surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis
dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan
surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua
surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain[2].
B. Kodifikasi Al-Qur’an Pada Masa Rasulullah SAW dan
Khulafaur Rasyidin.
Pengumpulan Al Quran
dalam Arti Menghafalnya pada Masa Nabi.
Rasulullah amat
menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu
menghafal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah: Sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya (al-Qiyamah [75]:17). Oleh sebab itu, ia adalah hafiz
(penghafal) Al Quran pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat
dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan
sumber risalah. Al Quran diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses
penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh
ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam
hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat.
Hal itu karena umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan
berita-berita, syai-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan dihati
mereka[3].
Pengumpulan Al Quran
dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi.
Rasulullah telah
mengangkat para penulis wahyu Al Quran dari sahabat-sahabat terkmuka, seperti
Ali, Mu’awiyah, Ubaid bin Ka’ab dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, ia
memerintahkan mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam
surah, sehingga penulisan pada lembaran itu membantu penghafal di dalam hati.
Di samping itu sebagian sahabat pun menuliskan Qur’an yang turun di atas
kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi. mereka menuliskannya pada
pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana,
potongan tulang belulang binantang. Zaid bin Sabit berkata:”Kami menyusun Quran
dihadapan Rasulullaalan pada kulit binatang.”
Ini menunjukkan betapa
besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan Quran. Alat-alat
tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selai sarana-sarana tersebut. Dan
dengan demikian, penulisan Quran ini semakin menambah hafalan mereka.
Jibril membacakan Qu’an
kepada Rasululah pada malam-malam bulan Ramadhan setiap tahunnya. Abdullah bin Abbas
berkata:
“Rasulullah adalah
orang paling pemurah, dan puncak kemurahannya pada bulan Ramadhan ketika ia
ditemui oleh Jibril. Ia ditemui Jibril pada setiap malam bulan Ramadhan; Jibril
membacakan Qur’an kepadanya ,dan ketika Rasulullah ditemui oleh Jibril ia
sangat pemurah sekali.”
Tulisan-tulisan Al
Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf.rasulullah berpulang ke
rahmatullah disaat Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan
susunan ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan
ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah dan dalam tujuh huruf, [4]tetapi
Al Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh (lengkap)[5], sebab
Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Disamping itu
terkadang terdapat ayat yang me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun
sebelumya. Susunan penulisan Al Qur’an tidak menurut tertib nuzulnya,tetapi
setiap ayat yang turun dituliskan di tempat penulisan sesuai dengan petunjuk
Nabi. Andai kata (pada masa Nabi) Al Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan diantara
dua sampul dalam satu mushaf, hal yang
demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi.
Pengumpulan Al Quran
pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar menjalankan
urusan islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar
berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab. Karena itu ia segera
menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad
itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun dua belas Hijriah melibatkan
sejumlah besar sahabat yang hafal Quran.
Dalam peperangan ini tujuh puluh qari
dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sangat khawatir melihat
kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar
mengumpulkan dan membukukan Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab
peperangan Yamamah talah banyak membunuh para qari[6].
Di segi lain Umar
merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan di tempat-tempat lain akan membunuh
banyak qari pula sehingga Qur’an akan hilang dan musnah. Abu Bakar menolak
usulan ini dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu
Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut. Kemudian Abu Bakar memerintahkan
Zaid bin Sabit, mengingat keudukannya dalam qira’at, penulisan, pemahaman dan
kecerdasannya serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar
menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak
seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai
akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu.
Zain bin Sabit memulai tugasnya yang berat ini dengan bersandar pada hafalan
yang ada dalam hati para qurra dan cacatan yang ada pada para penulis. Kemudian
lembaran-lembaran (kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. Setelah ia wafat
pada tahun tiga belas Hijri, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan
tetap berada di tangannya hingga ia wafat. Kemudia mushaf itu berpindah ke
tangan Hafsah, putri Umar. Pada permulaan kekhalifahan Usman, Usman memintahnya
dari tangan Hafsah[7].
Zaib bin Sabit berkata:
“Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang
Yamamah. Ternyata Umar sudah ada di sana. Abu Bakar berkata: ‘Umar telah datang
kepadaku dan mengatakan, bahwa perang di Yamamah telah menelan banyak korban
dari kalangan qurra dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra itu juga
akan terjadi di tempat-tempat lain, sehingga sebagian besar Qur’an akan musnah.
Ia menganjurkan agar aku memerintahkan seseorang untuk mengumpulkan Quran. Maka
aku katakan kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah? Tetapi Umar menjawab dan bersumpah, Demi
allah, perbuatan tersebut baik. Ia terus menerus membujukku sehingga Allah
membukakan hatiku untuk menerima usulnya, dan akhirnya aku sependapat dengan
Umar.”Zaid berkata lagi:”Abu Bakar kepadaku Engkau seorang pemuda yang cerdas
dan kami tidak meragukan kemampuanmu.
Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah Qur’an
dan kumpulkanlah.’’’ ‘’Demi Allah’’, kata Zaid lebih lanjut, “sekiranya mereka
memintaku memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku daripada
menggumpulkan Qur’an. Karena itu aku menjawab: ‘Mengapa anda berdua inggin
melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Rasulullah?’ Abu Bakar menjawab:
‘Demi Allah, itu baik.’ Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan
hatiku sebagaimana Ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka aku pun
mulai mencari Qur’an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, kepingan-kepingan batu
dan hapalan para penghapal, sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah Taubah
berada pada Abu Khuzaimah al-Ansari, yang tidak kudapatkan pada orang lain, Sesungguhnya telah datang kepadamu
seseorang rasul dari kaummu sendiri... hingga akhir surah.
Lembaran-lembaran (hasil kerjaanku) tersebut kemudian disimpan ditangan Abu
Bakar hingga wafatnya. Sesudah itu pindah ketangan Umar sewaktu masih hidup,
dan selanjutnya berada di tangan Hafsah binti Umar.”
Zaid bin Sabit
bertindak sangat teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata
tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan di atas: “Dan
aku dapatkan akhir dari surah Taubah pada Abu Kuzaimah al-Ansari, yang tidakaku
dapatkan pada orang lain” tidak menghilangkan arti keberhati-hatian tersebut
dan tidak pula berarti akhir surah Taubah itu tidak mutawatir[8].
Ibn Abu Daud
meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang meriwayatkan: “Umar
datang lalu berkata: ‘Barang siapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari
Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya.’ Mereka menuliskan Qur’an itu pada
lembaran kertas, papan kayu dan pelepah kurma, dan Zaid tidak mau menerima dari
seseorang mengenai Qur’an sebelum disaksikan oleh dua orang saksi.” Ini
menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata
sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran
(langsung dari Rasul), sekalipun Zaid sendiri hafal. Ia bersikap demikian ini
karena sangat berhati- hati. Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui
Hasyim bin ‘Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata kepada umar dan Zaid:
“ Duduklah kamu berdua di pintu mesjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa
dua orang saksi atas semua dari Kitab Allah, maka tulislah.” Pada perawi hadis
ini orang-orang terpercaya, sekalipun hadist munqati’ (terputus). Ibn Hajar
mengatakan: “Yang dimaksudkan dengan dua orang saksi adalah hafalan dan
catatan.”
Pengumpulan Qur’an pada Masa Usman
Penyebaran Islam
bertambah luas dan para qurra tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk di
setiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada
mereka. Cara-cara pembacaan (qira’at) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda
sejalan dengan perbedaan “huruf” yang dengannya Qur’an diturunkan. Apa bila
mereka berkumpul di suatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebagian mereka merasa
heran akan adanya perbedaan qira’at ini. Ketika terjadi perang Armenia dan
Azarbaijan dengan penduduk Irak, di antara orang yang ikut menyerbu kedua
tempat iu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam
cara-cara membaca Qur’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan;
tetapi masing-masing mempertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta
menentang setiap orang yang menyalahi bacaanyan dan bahkan mereka saling
mengkafirkan. Melihat kenyataannya demikian Huzaifah segera menghadap Usman dan
melaporkan kepadanya apa yang telah di lihatnya.
Usman kemudian
mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada
padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Hafsah
mengirimkan kepada Usman, dan Usman memerintahkan Zaid bin Sabit, Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.
Mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf[9].
Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman
Pengumpulan (mushaf
oleh) Abu Bakar berbeda dengan pengumpulan yang dilakukan Usman dalam motif dan
caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an
karena banyaknya para hafiz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan
korban dari para qari. Sedang motif Usaman untuk mengumpulkan Quran adalah
karena banyaknya perbrdaan dalam cara-cara membaca Qur’an yang disaksikannya
sendiri di daerah-daerah dan mereka saling menyalahkan satu terhadap yang lain.
Pengumpulan Qur’an yang
dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan semua tulisan atau catatan Qur’an yang
semula bertebaran di kulit-kulit binatang, tulang belulang dan pelepah kurma,
kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya
yang tersusun serta terbatas pada bacaan yang tidak dimasukkan dan mencakup
ketujuh huruf sebagaimana ketika Qur’an itu diturunkan.sedangkan pengumpulan
yang dilakukan Usman adalah menyalinnya dalam satu huruf diantara ketujuh huruf
itu, untuk mempersatukan kaum Muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang
mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Usman hanyalah berusaha menyatukan umat
pada satu macam (wajah) qiraat. Itu pun atas dasar kesepakatan antara dia
dengan kaum Muhajirin dan Ansar yang hadir di hadapannya, setelah ada
kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi antara penduduk
Irak dengan Syam dalam cara qiraat.
Dengan usahanya itu
Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengkikis sumber
perselisihan serta menjaga Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang
zaman. para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan Usman
ke berbagai daerah[10]:
A. Ada yang mengatakan bahwa
jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirimkan ke Mekah, Syam, Basrah, Kufah,
Yaman, Bahrain dan Madinah. Ibn Abu Daud mengataan: “aku mendengar Abu Hatim
as-Sijistani berkata: ‘telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke
Mekah, Syam, Yaman, Bahrain, Basrah, Kufah dan sebuah ditahanan di Madinah.”’
B. Dikatakan bahwa jumlahnya ada empat buah, masing-masing
dikirimkan ke Irak, Syam, Mesir dan Mushaf Imam; atau dikirimkan ke Kufah,
Basrah, Syam Mushaf Imam. Berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni: “ sebagian
besar ulama berpendapat bahwa ketika Usman menulis Mushaf, ia membuatnya
sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan ke setiap daerah masing-masing satu
buah: ke Kufah, Basrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
C. Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada
lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang mansyur. Adapun
lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap berada di tangannya
hingga ia wafat. Stelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan, dan
dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam
lalu dibakar[11].
Keraguan yang Harus Ditolak
Ada beberapa keraguan
yang ditiupkan oleh pengumbara hawa nafsu untuk melemahkan kepercayaan terhadap
Qur’an dan kecermatan pengumpulannya. Disini kami akan kemukakan beberapa hal
yang penting di antaranya dan kemudian menjawabnya.
1. Mereka berkata, sumber-sumber lama (asar) menunjukkan bahwa ada beberapa
bangian Qur’an yang tidak dituliskan dalam mushaf-mushaf yang ada di tangan
kita ini. Sebagai bukti (dalil) dikemukakannya:
A. “ Aisyah berkata: ‘Rasulullah pernah mendengar seseorang membaca Al Quran
dimasjid, lalu berkata: ‘Semoga Alah mengasihinya. Ia telah mengingatkan aku
akan ayat (.anu.) dan ayat (.anu.) dari surah (.anu.).’(.ini.) dan (.ini.).’
Dan ada lagi riwayat yang mengatakan ‘ Aku telah dibuat lupa terhadapnya.’’’
B.
Allah
berfirman dalam Surah A’la :
“ Kami akan
membacakan (Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa, kecuali
kalau Allah menghendaki.” (al-A’la [87]:6-7). Pengecualian dalam ayat ini
menunjukkan bahwa ada beberapa ayat yang terlupakan oleh Rasulullah.
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
a) Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua Al-Qur’an itu
telah dituliskan dan telah tersusun berdasarkan petunjuk Rasul, walaupun
sutat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dilihat sekarang ini dan tulisan-tulisannya
belum terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang beragam.
b) Pengumpulan Al-Qur’an di masa Abu Bakar ini ialah bahwa Al-Qur’an itu
terkumpul di dalam satu mushaf yang terbuat dari lembaran-lembaran yang
beragam, baik bahannya maupun ukurannya, dan ayat-ayatnya tetap tersusun sesuai
yang telah ditunjukkan Rasulullah.
c) Pengumpulan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan adalah menyeragamkan bacaan
Al-Qur’an dengan jalan menyeragamkan penulisannya kemudian membukukannya dengan
menyalinkan kembali ayat-ayat Al-Qur’an yang sudah ditulis pada masa Abu
Bakar, sehingga menjadi mushaf yang lebih sempurna yang akan dijadikan standar
bagi seluruh kaum muslimin sebagai sumber bacaan dan hafalan lalu diperbanyak
dan dikirimkan ke daerah-daerah.
B. Saran
a) Kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW
harus lebih menghargai dengan kerja keras Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya
yang berjuang mati-matian untuk mengumpulkan ayat-ayat alqur’an yang
terpisah-pisah dari penghafalnya lalu di kumpulkan di kitabkan yang disusun
begitu rapi dan tersusun
b) Kita harus membacanya, mengamalkan, menyakininya, lebih baiknya mengetahui
maknanya. Karna itu alquran sebagai pedoman hidup kita
c) Kita minta maaf apabila ada kesalahan di makalah kita, karna hanya ini yang
kita bisa curahkan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan,Munna Kholil.1973. studo ilmu-ilmu al-Qur’an.JAKARTA:
PT Pustaka Litera Antarnusa.
[1] Manna Kholil al-Qottan,studi ilmu-ilmu
al-Qur’an.(jakarta: PT Pustaka Litera Antarnusa,1973),178
[2] Ibid.175
[3]
Ibid.179-180
[5]
Ibid.185-187
[6] Ibid.188
[7]
Ibid.189.
[8]
Ibid.191.
[9]
Ibid.193.
[10]
Ibid.196-199.
[11]
Ibid.200.
No comments:
Post a Comment