HADIST MUTAWATIR DAN AHAD
BAB I
PENDAHULUAN
Eksistensi hadis sebagai sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an tidak dapat diragukan lagi. Namun
karena proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Qur’an, maka dalam
proses penerimaannya tentu mengalami berbagai persoalan serius yang
membedakannya dengan Al-Qur’an. Al-Qur’an tertransmisi kepada ummat Islam dengan cara mutawatir.
Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian hadist jauh lebih lama
setelah Nabi wafat dibandingkan dengan Al-Qur’an. Hadist dikodifikasi pada awal
abad kedua Hijriyah, sedangkan Al-Qur’an sudah dibukukan pada sekitar tahun 22
Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan sistematika Al-Qur’an
telah tersusun dengan bak. Kondisi ini sangat berbeda dengan apa yang dialami
hadist.
Untuk kepentingan netralisasi dan
sterelisasi hadist, dalam proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadist
melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist dengan menilai para
perawi hadist dari berbagai thabaqat secara ketat. Setelah proses ini pun
dilalui, hadist tidak secara otomatis selamat dan langsung dipakai atau
dijadikan rujukan dalam penetapan hukum Islam. Hadist terus dievaluasi sehingga
nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat kehati-hatiannya dalam
merujuk sumber, seteliti seperti yang dialami ilmu hadist. Para filosof
misalnya, sering merujuk pendapat Plato dan Aristoteles dalam berbagai
bentuknya. Tetapi sedikit yang dapat ditemukan dari berbagai pendapat itu yang
struktur transmisinya dapat dipertanggung jawabkan sehingga abash bahwa
pendapat itu betul bersumber dari Plato atau Aristoteles.
Kondisi demikian, sekali sangat
berbeda dengan struktur transmisi hadist. Ulama demikian ketat melakukan
seleksi terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang
menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai pencabangannya. Oleh
karena itu, dalam makalah ini penulis akan memaparkan tentang Hadist Mutawatir,
Masyhur dan Ahad.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadist Mutawatir
1. Pengertian
a. Menurut bahasa, kata al-mutawatir
adalah isim fa’il berasal dari mashdar ”al-tawatur´ semakna
dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut atau
beriring-iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang berarti
hujan turun berturut-turut.
b. Menurut istilah, hadis mutawatir
adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi pada semua thabaqat
(generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat
untuk berdusta.[1][1]
Dalam ilmu Hadist maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan
dengan banyak sanad yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat
berkumpul jadi satu untuk berdusta mengadakan hadist itu.
Pengertian di atas, kalau kita pecah-pecah akan terdapat
tiga syarat bagi Mutawatir yaitu:
a.
Mesti
banyak sanadnya.
b. Mesti sama banyak rawinya dari
permulaan sanad-sanad sampai akhir sanad-sanad, umpamanya: dipermulaan sanad
yang mencatat 50 orang, maka dipertengahan sanadnya, sedikitnya mesti 50 rawi
dan diakhir sanad sahabat yang mendengar dari Nabi SAW pun sedikitnya mesti 50
orang.
c.
Mesti
menurut pertimbangan akal bahwa tidak bias jadi rawi-rawi itu berkumpul
bersama-sama, lalu mereka berdusta mengatakan itu sabda Nabi kita, maupun
berkumpulnya itu dengan disengaja atau kebetulan.[2]
2. Syarat-syarat Hadist Mutawatir
Dengan definisi di atas, dipahami bahwa suatu hadist bias
dikatakan mutawatir apabila telah
memenuhi 4 syarat, yakni:
a.
Jumlah
perawinya harus banyak. Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan jumlah
minimalnya dan menurut pendapat yang terpilih minimal sepuluh perawi.
b. Perawi yang banyak ini harus
terdapat dalam semua thabaqat (generasi) sanad.
c.
Secara
rasional dan menurut kebasaan (adat), para perawi-perawi tersebut mustahil
sepakat untuk berdusta.
d. Sandaran beritanya adalah panca
indera dan itu ditandai dengan kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan
sebuah hadist, seperti kata: سمعنا (kami telah mendengar), رأينا (kami telah melihat), لمسنا (kami telah menyentuh) dan lain sebagainya.
Adapun jika sandaran beritanya adalah akal semata, seperti: pendapat tentang
alam semesta yang bersifat huduuts (baru), maka hadist tersebut tidak
dinamakan mutawatir.
3. Nilai Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir itu mengandung nilai “dlaruriy”. Yakni
suatu keharusan bagi manusia untuk mengakui kapasitas kebenaran suatu hadist,
seperti halnya seseorang yang telah menyaksikan suatu kejadian dengan mata
kepala sendiri. Bagaimana mungkin dia ragu-ragu atas kebenaran sesuatu yang
disaksikan itu? Demikian juga dengan nilai hadis mutawatir, semua hadist
mutawatir bernilai maqbul (dapat diterima sebagai dasar hukum) dan tidak
perlu lagi diselidiki keadaan perawinya.[3][3]
4. Hukum Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan
informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak
dibenarkan seseorang mengingkari hadist mutawatir, bahkan para ulama menghukumi
kufur bagi orang yang mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari hadist
mutawatir sama dengan mendustakan
informasi yang jelas dan pasti bersumber dari Rasulullah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa penerimaan hadist
mutawatir tidak membutuhkan proses
seperti hadist ahad. Cukup denga bersandar pada jumlah, yang dengan jumlah
tersebut dapat diyakini kebenaran khabar yang dibawa. Seperti buku sejarah yang
menginformasikan bahwa ada sahabat nabi yang bernama Umar bin Khattab,
sekalipun kita belum pernah melihatnya
namun kita tetap yakin bahwa info tersebut benar.
5. Keberadaan Hadist Mutawatir
Ibnu Shalah berpendapat bahwa hadist mutawatir jumlahnya
tidak banyak. Pendapat ini dibantah keras oleh Ibn Hajar, “orang yang
mengatakan bahwa hadist mutawatir
jumlahnya sedikit, berarti dia kurang serius mengkaji hadist”.
Para ulama kemudian berusaha mengakurkan dua pendapat ini.
Apabila yang dimaksud oleh Ibn Shalah adalah hadist mutawatir lafdzi, maka
pendapat itu ada benarnya, karena keberadaan hadist mutawatir lafdzi realitanya
memang tidak banyak. Ibn Hajar tatkala mengatakan bahwa hadist mutawatir
jumlahnya banyak, juga ada benarnya, jika yang dimaksud adalah hadist mutawatir
maknawi atau mutawatir secara umum.[4][4]
6. Macam-macam Hadist Mutawatir
Hadist mutawatir terdiri dari 2 macam, yakni :
a.
Mutawatir
Lafdzi
Lafdzi artinya secara lafadz. Jadi
Mutawatir Lafdzi itu ialah Mutawatir yang lafadz hadistnya sama atau hampir
bersamaan atau hadist mutawatir yang berkaitan dengan lafal perkataan Nabi.
Artinya perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak.
Contoh :
من كذب علي متعمدافليتبوأمقعده من النار
Artinya : Barang siapa berdusta
atas (nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari
neraka
Keterangan :
1) Hadist ini diriwayatkan orang dari
jalan seratus sahabat Nabi SAW.
2) Lafadz yang orang ceritakan hampir
semua bersamaan dengan contoh tersebut tersebut, diantaranya ada yang berbunyi
begini :
من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النار (ابن ماجه)
Artinya : Barang
siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah
katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka (Ibnu Majah)
Dan
ada lagi begini :
ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم)
Artinya
: Dan
barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah katakan,
maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka (Hakim)
Maknanya semua sama. Perbedaan
lafadz itu timbulnya boleh jadi karena Nabi mengucapkannya beberapa kali.
3) Dari ketiga contoh itu, tahulah kita
bahwa yang dinamakan Mutawatir Lafdzi tidak mesti lafadznya semua sama
betul-betul.
4) Hadist tersebut diriwayatkan oleh
berpuluh-puluh imam ahli hadist, diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimy, Abu
Dawud, Ibnu Majah, Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan Hakim.
Gambaran
sanadnya dari 10 imam yang tersebut, kalau kita susun akan terdapat begini :
AL-BUKHARI
(1)
Musa
Abu ‘Awanah
Abu Hushain
Abu Shalih
Abu
Hurairah
|
MUSLIM
(2)
‘Ali ibn Al-Hidjr
‘Ali ibn Musir
Muhammad ibn Qais
‘Ali ibn Rabi’ah Al-Mughirah
|
AD-DARIMY
(3)
Muhammad ibn Isa
Haitsam
Abu Zubair
Zabir
|
ABU DAWUD
(4)
‘Amr ibn ‘Aun
Musaddad
Wabrah
‘Amir
‘Abdullah ibn Az-Zubair
Az-Zubair
|
IBNU MAJAH
(5)
Muhammad ibn Ramh
Al-Laits
Ibnu Shihab
Anas
|
SABDA NABI : “Barang siapa
berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah menyediakan tempat
duduknya dari neraka
|
|
At-Tirmidzi
(6)
Abu Hisyam
Abu Bakar ibn Ajjaz
‘Ashim
Zirr
Ibnu Mas’ud
|
Ath-Thajalisy
(7)
Abdurrahman
Abi Zinad
Amir ibn Sa’ied
Utsman
|
Abu Hanifah
(8)
‘Athijah
Abi Sa’ied Al-Khudri
|
Ath-Thabarani
(9)
Abu Ishaq
Ibrahim
Nubaith ibn Syarieth
|
Al-Hakim
(10)
Abul Fad-l ibn Al-Husain
Muhammad ibn A. Wahhab
Ja’far ibn ‘Aun
Abu Hajjan
Jazid ibn Hajjan
Zaid ibn Arqam
|
5) Cobalah perhatikan 10 gambaran sanad
di atas, diantara rawi-rawinya tidak ada seorang pun yang sama, semua
berlainan.
6) Selain dari hadits tersebut, ada
banyak lagi yang temasuk dalam mutawatir lafdzi, sebagaimana kata imam Sayuti
Berikut ini disebutkan enam hadist :
نضر الله امرء سمع مقالتي فوعاها
وحفظها وبلغها (رواه الترميذي)
Artinya : Mudah-mudahan Allah akan
berbuat baik kepada orang yang mendengar sabdaku, lalu ia peliharanya dan
menjaganya serta menyampaikannya (kepada manusia). (HR. Turmudzi)
إ ن القرﺁن انزل علي سبعة احرف (رواه النسائ)
Artinya : Sesungguhnya Al-Qur’an
diturunkan dengan tujuh huruf (HR. Nasai)
من بني لله مسجدا بني الله له بيتا في
الجنة (رواه التبراني)
Artinya : Barang siapa mendirikan
sebuah mesjid karena Allah, maka Allah akan mendirikan baginya sebuah rumah di
surga (HR. Thabarani)
كل شراب اسكر فهو حرام (رواه البخاري)
Artinya : Tiap-tiap minuman yang
memabukkan , maka dia itu haram (HR. Bukhari)
إن الاٍسلام غريبا وسيعوده غريبا
(رواه الدارمي)
Artinya : Sesungguhnya agama Islam
itu timbul dengan keadaan asing dan akan kembali dengan asing (juga) (HR.
Darimi)
كل ميسر لما خلق له (رواه البخاري)
Artinya : Tiap-tiap orang dimudahkan
kepada apa yang sudah ditakdirkan baginya (HR. Bukhari)
7) Mutawatir Lafdzi ini sebenarnya
tidak termasuk dalam pembelajaran ilmu Hadist, karena rawi-rawi yang
menceritakan Hadist itu tidak perlu diperiksa dan dibahas lagi, sebab tida
syarat Mutawatir 37 sudah memadai untuk menetapkan keyakinan kita akan benarnya
dari Nabi SAW.
b. Mutawatir Ma’nawi
Ma’nawi
artinya secara ma’na. mutawatir ma’nawi ialah mutawatir pada ma’na, yaitu
beberapa riwayat yang berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau satu
perbuatan. Ringkasnya, beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu
ma’na atau tujuan atau hadist mutawatir ialah hadist yang menyangkut amal
perbuatan nabi, artinya perbuatan nabi
yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak lagi.
Contoh:
Sembahyang
maghrib tiga rakaat.
Keterangan :
1) Satu riwayat menerangkan, bahwa
dalam hadlar (negeri sendiri) nabi
sembahyang tiga rakaat.
2) Satu riwayat menunjukkan, bahwa
dalam safar nabi sembahyang maghrib tiga rakaat.
3) Satu riwayat membayangkan bahwa
di Mekkah nabi sembahyang maghrib tiga
rakaat.
4) Satu riwayat mengatakan nabi
sembahyang maghrib di Madinah tiga rakaat.
5) Satu riwayat mengabarkan, bahwa
sahabat sembahyang maghrib tiga rakaat., diketahui oleh nabi.
6) Dan lain-lain lagi.
Semua cerita tersebut ceritanya
berlainan, tetapi maksudnya satu yakni menunjukkan dan menetapkan bahwa
sembahyang maghrib itu tiga rakaat.[5][5]
Menurut para ulama, sebuah hadist
mutawatir diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi di setiap generasi sudah
cukup bukti sebagai riwayat yang
terpercaya atau shahih. Jadi, tawatur bukanlah bagian “ilm al-isnad” yang
menguji watak perawi dan cara periwayatan hadist, dan mendiskusikan keshahihan
hadist atau kelemahannya untuk diterima atau ditolak. Sebuah hadist mutawatir,
menurut para ulama, hanya untuk dipraktikkan, sedang historisasinya tidak perlu
didiskusikan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai
jumlah perawi pada setiap tingkatan yang harus dipenuhi oleh sebuah hadist
mutawatir. Beberapa ulama menentukan jumlah sampai tujuh puluh, ada yang empat
puluh, ada yang dua belas, dan bahkan ada ulama yang mengatakan cukup empat.
Tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan sarjana muslim tentang kehujahan (otoritas argumentasi) hadist mutawatir,
karena dianggap meghasilkan ilmu dan keyakinan dan bukan praduga (zhanni).[6][6]
B. Hadist Ahad
1. Pengertian
a.
Menurut
bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti: satu
(hadist wahid) berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi.
b. Menurut istilah, hadist ahad adalah:
هو
مالم يجمع شروط المتواتر
Artinya: Hadis yang tidak
memenuhi syarat-syarat untuk menjadi hadis mutawwatir.[7][7]
Yang dimaksud hadist ahad adalah
hadist yang diriwayatkan oleh beberapa perawi yang jumlahnya tidak mencapai
batasan hadist mutawwatir. Mayoritas hadist yang diriwayatkan dari Rasulullah
SAW dan terdapat dalam kitab-kitab referensi adalah jenis hadist ahad.[8][8]
2. Nilai Hadist Ahad
Hadist ahad memiliki nilai “nadhariy”.
Yakni ia masih merupakan ilmu yang masih memerlukan penyelidikan dan
pembuktian lebih lanjut.[9][9]
Menurut Ibn Ash-Shalah, riwayat perawi tunggal tsiqah
(Hadist gharib dan hadist fard) diklasifikasi ke dalam tiga
kategori:
Pertama, riwayat perawi tsiqah yang
bertentangan dengan riwayat yang lebih tsiqah. Riwayat seperti ini harus
ditolak dan dianggap syadzdz. Kedua, riwayat perawi yang
bertentangan dengan riwayat perawi tsiqah
lainnya. Riwayat jenis ini diterima. Ketiga, riwayat yang berada
diantara dua jenis kategori di atas. Contoh, menambah sebuah kata dalam hadist
yang tidak disebutkan oleh semua perawi lain yang turut meriwayatkan hadist
tersebut. Seperti hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu
Umar, “Anna rasul Allah faradha zakat al-fithr min ramadhan ala kulli hurrin
au ‘abdin dzakarin au untsa min al-muslimin”. Dilaporkan bahwa Malik adalah
satu-satunya perawi diantara para perawi yang menambah kata “min
al-muslimin”.
Ubaidillah Ibn Umar, Ayyub dan lain-lain meriwayatkan hadist
tersebut dari Nafi’ tanpa tambahan
tersebut. Untuk kategori ketiga ini, Ibn Ash-Shalah tidak memberikan penilaian
sama sekali. Al-Khathib Al-Baghdadi tidak keberatan dengan tambahan tersebut,
dengan syarat dilakukan oleh perawi yang tsiqah. Dalam hal ini, ia
bahkan mengklaim mengikuti pendapat mayoritas fukaha dan ahli hadist. Menurut
Ibn Katsir (701-774), tambahan yang dilakukan oleh perawi tsiqah diterima
oleh mayoritas fukaha dan ditolak oleh mayoritas para ahli hadist. Namun,
At-Tarmidzi dalam Al-‘Ilal menganggap shahih apabila tambahan tersebut
dilakukan oleh orang yang kuat hafalannya (dhabith).
Hadist gharib atau fard (tunggal) dapat
diketahui melalui tiga cara: 1) dari aspek lokalitas, hadist tersebut
diriwayatkan oleh perawi tunggal dari sebuah daerah; 2) perawi tunggal dari
seorang imam yang terkenal; 3) perawi dari sebuah daerah tertentu meriwayatkan
hadist dari orang Madinah. Al-Khitab Al-Baghdadi, Ibn Ash-Shaleh, As-Suyuthi,
dan Ibn Katsir mengikuti pendapat Asy-Syafi’I bahwa keshahihan sebuah riwayat
tunggal tergantung pada ke-tsiqah-an
perawinya. Dengan kata lain, untuk menilai ke-tsiqah-an hadis gharib tergantung
pada apakah hadist tersebut memenuhi syarat-syarat hadist shahih ataukah tidak.
Jadi, historitis riwayat pada dasarnya ditentukan oleh kualitas perawi. Jumlah
perawi dalam setiap tingkatan adalah penting, tetapi tidak menentukan
historisitas dan kepalsuan riwayat tersebut. Dengan kata lain, status
“ketunggalan” perawi tsiqah dalam setiap tingkatan tidak berarti bahwa
riwayatnya tertolak atau palsu.[10][10]
3. Sebab-sebab Hadist Ahad Dinyatakan
sebagai Zhanni Al-Wurud dan Menjadi Obyek Pembahasan Ilmu Hadist
Jumlah periwayat yang terlibat pada hadist ahad untuk setiap
(tsabaqah) sanadnya tidak sebanyak jumlah periwayat pada hadist mutawwatir.
Akibatnya, tingkat keakuratan riwayat hadist ahad tidak setinggi hadist
mutawwatir. Untuk hadist mutawatir tingkat keakuratan riwayatnya mencapai qath’i
(meyakinkan kebenaran beritanya), sedang untuk hadist ahad, tingkat
keakuratan riwayatnya hanya mencapai zhanni (dugaan keras). Karenanya,
untuk mengetahui apakah wurud (kedatangan) hadist ahad dapat dipercaya
ataukah tidak, maka terlebih dahulu sanad dan matannya harus diteliti. Untuk
hadist mutawatir, penelitian yang demikian itu tidak diperlukan karena sudah
pasti kebenaran wurud-nya.[11][11]
4. Macam-macam Hadist Ahad
Hadist ahad bila ditinjau dari segi jumlah perawi dalam
sanadnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu Hadist Masyhur, Hadist Aziz, dan Hadist
Gharib.
a.
Hadist
Masyhur
1) Pengertian Hadis tMasyhur
Hadist masyhur menurut bahasa yaitu
kata “Masyhur” berbentuk isim maf’ul dari kata “syaharats Al-Amru” yang
berarti sesuatu yang telah terkenal setelah disebarluaskan dan ditampakkan
dipermukaan.[12][12]
Hadist masyhur adalah hadist yang
diriwayatkan oleh lebih dari tiga perawi dan belum mencapai batasan mutawatir.
Apabila dalam salah satu thabaqahnya (jenjang) dari thabaqat sanad terdapat
tiga perawi maka hadist tersebut dikategorikan hadist masyhur, sekalipun pada thabaqah
sebelum atau sesudahnya terdapat banyak perawi.[13][13]
Hadist masyhur terbagi ke dalam dua
bagian. Pertama, hadist masyhur yang shahih, hasan, dan dha’if. Kedua,
hadist masyhur yang hanya dikenal dikalangan terbatas, seperti hadist yang
populer dikalangan ahli hadist atau hadist yang telah cukup populer dikalangan
masyarakat.
Di antara kelompok hadist masyhur
adalah hadist mutawatir yang hanya populer, misalnya dalam disiplin ilmu fiqih
dan ushul fiqih, di mana hadist itu tidak pernah disebutkan secara khusus oleh
ahli hadist. Hadist seperti ini sedikit sekali dan hampir tidak ditemukan pada
periwayatan-periwayatan ahli hadist. Hadist ini seperti pada hadist yang
dinukil oleh seseorang yang memperoleh ilmu dengan kejujuran, sesuai kebutuhan
dari orang-orang yang selevel dengannya, mulai dari awal sanadnya sampai akhir
sanadnya.
Karenanya hadist Man kadzaba
‘alayya muta’ammidan falyatabawwa maq’adahu min al-nar (Barangsiapa yang
berdusta pada ku secara sengaja, maka bersiaplah untuk menempati tempat
tinggalnya yang telah disiapkan untuknya nanti di neraka) adalah hadist
mutawatir. Dan hadist Innama al-a’malu bi al-niyyat (Sesungguhnya semua
amal perbuatan itu tergantung pada niatnya), menurut sudut pandang ini, adalah
bukan hadist mutawatir.[14][14] Hadis Nabi SAW:
إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد
Artinya: Sesungguhnya Allah tidak
akan menggenggam ilmu pengetahuan dengan mencabutnya dari para hamba.[15][15]
Istilah masyhur sering juga
digunakan untuk mengungkapkan hadist-hadist yang populer di masyarakat
atau komunitas tertentu. Namun istilah ini tidak berkaitan dengan definisi
masyhur di atas. Seperti misalnya hadis yang populer dikalangan ahli hadist المسلم اخو المسلم, populer di kalangan ahli fiqih لاضرر ولا ضرر, populer di kalangan ulama usul fiqih إذا حكم الحاكم ثم اجتحدفأصاب فله
اجران dan
lain sebagainya[16][16]
2) Hadist Mustafidl (nama lain
dari hadist masyhur)
Menurut bahasa kata “mustafidl” berbentuk isim fail dari kata “istifadla”,
kata pecahan dari kata “Faadla”. Artinya sesuatu yang tersebar.[17][17]
Menurut istilah, definisi hadist
mustafidl ada tiga pendapat. Pertama, hadist mustafidl searti dengan
hadist masyhur. Kedua, mustafidl lebih khusus daripada masyhur, karena
bagi mustafidl disyaratkan jumlah perawi pada dua ujung sanadnya sama, yakni
pada awal dan akhir sanad terdiri dari tiga perawi, sedang masyhur tidak. Ketiga,
mustafidl lebih umum dari pada masyhur, yakni kebalikan pendapat kedua.
3) Pengertian lain tentang hadist
masyhur, maksudnya yaitu hadist masyhur dipahami sebagai suatu hadist yang
telah dikenal dikalangan para ahli ilmu tertentu atau dikalangan masyarakat
umum tanpa memperhatikan ketentuan syarat di atas, yakni banyaknya perawi yang
meriwayatkannya, sehingga kemungkinannya hanya mempunyai satu jalur sanad saja
atau bahkan tidak berasal (bersanad) sekalipun.
4) Macam-macam hadist masyhur:
a) Masyhur menurut ahli hadist saja,
seperti hadist yang diriwayatkan Anas ra:
قنت
النبي صلي الله عليه وسلم بعد الركوع شهرا يدعو علي رعل وذكوان
Artinya: Bahwa Nabi saw pernah
membaca doa qunut setelah ruku’ selama satu bulan untuk mendoakan keluarga
Ri’il dan Dzakwan (HR. Bukhari
Muslim).
b) Masyhur menurut ahli hadist, ulama
lain, dan masyarakat umum, seperti hadist:
المسلم
من سلم المسلمون من لسانه ويده
Artinya: Seorang muslim adalah
orang yang menyelamatkan sesama orang muslim dari gangguan lisan dan tangannya (HR.
Muttafaq ‘alaih)
c) Masyhur menurut ulama fiqih, seperti
hadist:
أبغض الحلال إلي الله الطلاق
Artinya: Perbuatan halal yang
paling dibenci Allah adalah talaq
d) Masyhur menurut ulama ushul fiqih,
seperti hadist:
رفع عن أمتي الخطاء و النسيان وما استكرهوا عليه
Artinya: Terangkat (dosa) dari
umatku, kekeliruan, lupa, dan perbuatan yang mereka kerjakan karena terpaksa
e) Masyhur menurut ahli nahwu, seperti
hadist:
نعم العبد صهيب لولم يخف الله لم يعصه
Artinya: Sebaik-baik hamba Allah Shuhaib, walaupun dia
tidak takut Allah, dia tidak berbuat maksiat
f)
Masyhur
menurut masyarakat umum, seperti hadist:
العجلة من الشيطان
Artinya: Sikap (tindakan)
tergesa-gesa adalah sebagian dari (perbuatan) syaitan
5) Hukum Hadist Masyhur
Hukum hadist masyhur adakalanya
shahih, hasan, atau dha’if bahkan ada yang bernilai maudhu’. Akan tetapi hadist
masyhur yang berkualitas shahih memiliki kelebihan untuk ditarjih (diunggulkan)
bila ternyata bertentangan dengan hadist aziz dan hadist gharib.[18][18]
b. Hadist Aziz
Hadist aziz adalah hadist yang
diriwayatkan oleh dua atau tiga perawi dalam salah satu thabaqahnya. Ini
adalah definisi Ibn Shalah dan diikuti pula oleh Imam Nawawi. Hadist riwayat
dua atau tiga perawi dapat dikategorikan aziz. Ibn Hajar lebih condong pada
riwayat dua orang untuk definisi aziz dan tiga orang untuk definisi masyhur.
Contoh hadist yang dikategorikan
aziz, di antaranya:
لا
يؤمن احدكم حتي أكون أحب إليه من والده و الناس اجمعين
Artinya: Belum sempurna iman
seseorang jika ia belum mencintaiku melebihi cintanya kepada orang tuanya,
anaknya dan semua orang.
c.
Hadist
Gharib
Hadist gharib adalah hadist yang
hanya diriwayatkan oleh satu orang dalam salah satu thabaqahnya. Dinamakan
demikian karena ia nampak menyendiri, seakan-akan terasing dari yang lain atau
jauh dari tataran masyhur apalagi mutawatir. Ibarat orang yang pergi jauh
terasing dari sanak keluarganya. Para ulama membagi hadist gharib menjadi dua
berdasarkan letak keterasingannya:
1) Gharib Mutlak, dikatakan demikian
jika dalam salah satu tingkatan sanadnya terdapat hanya seorang perawi yang
meriwayatkan. Misalnya hadist shahih yang berbunyi:
كلمتان خفيفتان علي اللسان ثقيلتان في الميزان حبيبتان إلي
الرحمن سبحان الله العظيم سبحان الله
وبحمده
Artinya: Ada dua kalimat yang
ringan untuk diucapkan oleh lidah namun berat bobot timbangannya dan sangat
dicintai oleh Allah, kalimat itu adalah subhanallah wa bihamdih.
Hadist ini pada tingkatan sahabat
diriwayatkan hanya oleh Abu Hurairah, demikian pula pada tingkatan berikutnya
yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi.
2) Gharib Nisbi, yaitu hadist yang
dalam sanadnya terdapat perbedaan yang membedakan dengan kondisi mayoritas
sanad. Gharib nisbi tidak berkaitan dengan jumlah perawi, namun lebih pada
kondisi yang asing atau beda bila dibanding dengan kondisi sanad lain.
Perbedaan tersebut bisa berkaitan dengan tempat atau sifat perawi. Misalnya
dalam sebuah sanad hadist seluruh perawinya berasal dari kota yang sama,
Bashrah misalnya. Atau mereka memiliki predikat sifat yang sama, yaitu tsiqah.
Istilah lain yang sering
disepadankan dengan gharib adalah munfarid. Sebagian ulama membedakan dua
istilah tersebut seperti Al-Qoriy yang kemudian dianut oleh Nuruddin ‘Itr. ‘Itr
menilai ada sisi-sisi tertentu yang tidak bisa disepadankan, terutama yang
berkaitan dengan contoh pembagiannya.
Sebagian ulama lain justru
menyamakan dua istilah tersebut, baik secara etimologi maupun terminologi.
Mereka menilai bahwa perbedaan sebenarnya bukan pada masalah yang esensial, namun sebatas pengkategorian
kasus. Pendapat ini dianut oleh Muhammad Adib Sholeh.
5. Kehujjahan Hadist Ahad
Hadist ahad dengan pembagiannya terkadang dapat dihukumi
shahih, hasan, atau dha’if bergantung pada syarat-syarat penerimaan hadist.
Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat
dijadikan sebagai hujjah, selama hadis tersebut masuk kategori hadist maqbul,
atau memenuhi syarat diterimanya hadist.
Para ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadist
ahad. Di antara dalil-dalil yang mereka gunakan adalah:
a.
Sejarah
membuktikan bahwa Rasulullah SAW tatkala menyebarkan Islam kepada para pemimpin
negeri atau para raja, beliau menunjuk dan mengutus satu atau dua orang
sahabat. Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar
menemui dua belas pemimpin saat itu untuk diajak menganut Islam. Kasus ini
membuktikan bahwa khabar yang disampaikan atau dibawa oleh satu dua orang
sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya Rasulullah menilai jumlah sedikit
tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak dapat dijadikan
sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut.
Demikian kata Imam Syafi’i.
b. Dalam menyebarkan hukum syar’i, kita
dapatkan juga bahwa Rasulullah mengutus satu orang untuk mensosialisasikan
hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan.
Kasus pengalihan arah kiblat yang semula menghadap Baitul Maqdis di Palestina
kemudian dipindah ke arah kiblat (Ka’bah) di Mekkah. Info pengalihan seperti
ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama Nabi SAW kemudian
datang ke salah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan shalat subuh lalu
memberitahukan bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi seperti itu
spontan mereka berputar arah untuk menghadap ke Ka’bah padahal mereka tidak
mendengar sendiri ayat yang turun tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan,
seandainya khabar satu orang yang dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya
mereka tidak akan menggubris informasi pemindahan arah kiblat tersebut.
c.
Termasuk
dalil yang digunakan Imam Syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadist ahad
adalah hadist yang berbunyi:
نضر الله امرا سمع منا شيئا فبلغه كما سمع فرب مبلغ أوعي من
سامع
Artinya: Semoga Allah membaguskan
wajah orang yang mendengar dari kami sebuah hadis lalu ia menyampaikannya
sebagaimana ia dengar, bias jadi orang yang disampaikan lebih memahami dari
pada orang yang mendengar.
Anjuran Rasulullah SAW untuk
menghafal lalu menyampaikan pada orang lain menunjukkan bahwa khabar atau hadist
yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan sekaligus dapat dijadikan sebagai
dalil. Di sisi lain hadist yang
disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum halal haram atau juga berkaitan dengan
masalah aqidah. Dengan demikian hadist dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.[19][19]
Namun demikian, pembelaan kaum ahlu
sunnah wa al jama’ah terhadap hadist ahad, bukan berarti tanpa alasan. Mereka
yakin bahwa memanfaatkan hadist sekalipun ahad, jauh lebih bernilai dibandingkan
dengan ketiadaan rujukan dalam penetapan hukum.[20][20]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika
hadist ditinjau dari segi jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau sumber berita,
hadist dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak
rawi baik dari thabaqat pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir
(thabi’at thabi’un). Dengan demikian
penyebutan hadist dengan jenis ini akan sangat dipengaruhi oleh kualitas perawi
dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan. Dilihat dari cara periwayatannya,
hadist mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1. Hadist mutawatir lafdzi yaitu hadist
yang apabila dilihat dari sisi susunan kalimat dan maknanya memiliki kesamaan
antara satu periwayatan dengan periwayatan lainnya.
2. Hadist mutawatir ma’nawi adalah
hadist yang rawi-rawinya berlainan dalam susunan redaksinya, tetapi di antara
perbedaan itu, masih menyisakan persamaan dan persesuaian yakni pada
prinsipnya. Dengan kata lain hadist yang dalam susunan redaksi kalimatnya
menggunakan kata-kata yang berasal dari perawi itu sendiri.
Lawan dari hadits mutawatir adalah
hadist ahad yakni hadist yang dilihat dari
sisi penutur dan perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir atau terkadang mendekati jumlah hadist
mutawatir.. berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad mengalami pencabangan.
Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi dalam masing-masing thabaqat.
Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz, dan
hadist gharib.
1. Hadist masyhur adalah hadist yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih perawi hadist tetapi belum mencapai
tingkat mutawatir.
2. Hadist aziz adalah hadist yang
diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah dimaksud hanya terdapat dalam satu
thabaqat., kemudian setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
3. Hadist gharib adalah hadist yang
dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi hadist.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Nawawi,
Imam. Dasar-dasar Ilmu Hadist. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001).
Amin,
Kamaruddin. Metode Kritik Hadist. (Jakarta:Hikmah, 2009).
Hassan,
A. Qadir. Penerangan Ilmu Hadiest Juz 1-2. (Bangil:Al-Muslimun, 1966).
Ismail, M. Syuhudi. Ulumul Hadist I-IX.
(Jakarta: DITBINPERTA Islam, 1993).
Saefullah, Yusuf, dan Cecep Sumarna. Pengantar Ilmu
Hadist. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004).
Smeer, Zeid B. Ulumum Hadist Pengantar Studi
Hadist Praktis. (Malang, UIN- Malang Press).
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadist.
(Malang:UIN-Press, 2007).
[2] A.
Qadir Hassan. Penerangan Ilmu Hadiest Juz 1-2. (Bangil:Al-Muslimun,
1966). H 37
[4][4] Zeid B. Smeer. Ulumum
Hadist Pengantar Studi Hadist Praktis. (Malang, UIN- Malang Press). H. 42
[20][20] Drs. Yusuf
Saefullah, M. Ag dan Drs. Cecep Sumarna, M. Ag. Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004). H. 68
No comments:
Post a Comment